Ada 3 kata dalam yang ditelisik dalam istilah Batara Windu Sakti Buana. Telaah filologi menunjukkan istilah "batara" merujuk pada pada nama-nama dewa dalam teologi Hindu seperti Bathara Guru, Vishnu, dan Bathara Brahma. Bathara juga merujuk pada sebutan gelar raja dan pembesar  (Mardiwarsito, 1979). Pada masa kekuasaan Majapahit istilah bathara bisa digunakan pada raja-raja lokal / daerah yang bisa disebut Paduka Bhatara (Hasan Djafar, 2009).Â
Sementara windu menunjukkan beberapa pengertian. Pertama, bisa bermakna siklus kalender 8 tahunan yang meliputi tahun-tahun Alip, Ehe,Jimawal, J, Dal, Be, Wawu dan Jimakir (Sugeng Priyadi, 2009). Kedua, windu bisa bermakna pada konsep ketuhanan yang merujuk penempatan 8 dewa sesuai arah mata angin seperti Indra (timur), Agni (tenggara), Yama (selatan), Surya (barat daya), Varuna (barat), Vayu (barat laut), Kuvera (utara) dan Candra / Soma.Â
Adapun buwana berasal dari bahasa Sansekerta, bhuwana yang berarti dunia atau bumi. Kedelapan itulah yang kemudian melahirkan gagasan soal ajaran Asta Brata. Asta Brata merupakan ajaran perilaku 8 dewa yang dijadikan rujukan bagi seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya (lihat Soemarsaid Moertono, 1985). Konotasi soal Batara Windu Sakti Buwana yang familiar di kalangan masyarakat di kaki Gunung Kumbang dan Sagara mengalami pribumisasi istilah dari bahasa Sansekerta menjadi bahasa Jawa Modern, yang peristilahan tersebut ditujukan sebagai keyakinan purba masyarakat Jalawastu yang dipengaruhi unsur Hinduisme dan setempat.
B. Pelaksanaan Ngasa
Upacara Ngasa berlangsung di Gedong Pesarean. Namun 3 hari sebelumnya masyarakat dukuh Jalawastu sudah mempersiapkannya. Dimulai dari membersihkan Gedong Pesarean, ritual memetik daun rendeu, batang tepus serta menumbuk jagung yang akan dipersiapkan sebagai kuliner utama. Nasi jagung dan lauknya akan dimakan bersama.Â
Namun jangan harap menemui lauk macam telor apalagi yang berasal dari protein hewani. Pamali bagi masyarakat dukuh Jalawastu. Sekaligus menyambut tamu-tamu yang datang. Dari dukuh Garogol, Selagading dan Ciseureuh bahkan tetangga kecamatan, pejabat Kabupaten hingga tamu-tamu komunitas seni dan budaya, tum.
Sejarah mewartakan temuan upacara Ngasa saat tournee Bupati Brebes Raden Adipati Aria Tjandranegara ke wilayah Salem tahun 1882. pah ruahPelaksanaan upacara Ngasa tidak hanya dilaksanakan di wilayah Salem saja. Terdapat sembilan wilayah yang melaksanakan Ngasa sebelumnya dengan dipimpin 9 kuncen, masing-masing Marenggeng (kecamatan Bantarkawung), Gandoang, Kadumanis, Kurungciung (kecamatan Salem), Selagading, Garogol, Jalawastu, Permana (kecamatan Ketanggungan) serta Blandongan (kecamatan Banjarharja).Â
Khusus untuk penyelenggaraan Ngasa di Jalawastu merupakan penggabungan pelaksanaan Ngasa di Selagading. Atas inisiatif Kepala Desa Ciseureuh, Rusdi Ganda Kusuma tahun 1997 disatukan upacara Ngasa bertempat di Jalawastu, tepatnya di Gedong Pesarean (Sudarno, 2016).
Ngasa disebut juga sedekah gunung. Dalam kebudayaan agraris, representase gunung menjadi penting dalam keyakinan masyarakat. Di Jalawastu merupakan pedukuhan yang berada di kaki gunung Kumbang. Gunung Kumbang merupakan salah satu puncak dari rangkaian pegunungan Kendeng Utara, tepatnya zona Serayu Utara. Studi van Bammelen (1949) mengidentifikasi zona Serayu Utara mencakup wilayah Banyumas Utara, Banjarnegara Utara, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan dan Batang.Â
Di Kabupaten Brebes, zona Serayu Utara meliputi puncak gunung Sagara (1109 meter di bawah permukaan laut / mdpl), Kumbang (1211 mdpl), dan Pojok Tilu (1129 mdpl). Ketiga puncak itu berada di kecamatan Ketanggungan, Banjarharjo, Bantarkawung, Salem hingga berbatasan dengan Kabupaten Kuningan. Pada puncak itu mengalir beberapa sungai seperti sungai Cibentar, Cibatu, Cikamuning, Cikumbang, Cirambeng dan Ciseureuh. Eksistensi gunung bagi masyarakat Nusantara menempati posisi penting, seperti pandangan masyarakat Jawa soal Mahameru. Atau konsep kosmologi gunung Merapi sebagai penjaga kekuasaan trah Mataram selain laut Kidul (lihat Peter Carey, 2014).Â
Demikian pula dengan masyarakat Jalawastu memandang Gunung Kumbang. Mitos Gunung Kumbang berkaitan tempat bersemayamnya para dewata (para hyang) serta cerita Ki Kolot dan Nyai Kolot yang hidup bersama namun tidak pernah menikah hingga keduanya melanggar adat dan kena azab. Konon menurut masyarakat setempat, jika melihat dari sebelah utara pada musim kemarau, tampak hutan terbakar (yang sebetulnya tidak), itu pertanda penampakan Ki Kolot dan Nyai Kolot yang tengah menghangatkan diri.