Beberapa perusahaan pers berpengaruh dimiliki oleh orang-orang luar biasa kaya. Namun, ketimbang mencari usaha lain untuk menghidupi dan mempertahankan produk jurnalistiknya, mereka lebih memilih untuk mengubah redaksi menjadi divisi kreatif. Ruang redaksi yang seharusnya menjadi mesin penyeimbang perusahaan pers, kini berubah menjadi lokomotif bisnis.
Terus, gimana?
Kecuali masyarakat mau menyisihkan uang untuk membaca berita pada platform digital, media berstandar jurnalistik perlu dibentuk dan dimodali orang gila. Orang yang mau menyisihkan keuntungan bisnis manufacturing atau jasa untuk menjalankan media berstandar jurnalistik tanpa mengharapkan profit. Fungsi media pertama-tama mendidik, bukan menghibur.
Menurut saya, perusahaan pers pada era digital harus dimiliki oleh orang atau institusi yang menilai profit sebagai konsekuensi bukan tujuan dari aktivitas perusahaan itu, seperti Barcelona era pelatih Pep Guardiola, yaitu menang itu konsekuensi dari cara bermain, bukan tujuan. Jika sudah bermain bagus dan kalah, itu apes namanya.Â
Atau seperti cerita Musashi, yaitu bahwa hasil pertarungan ditentukan oleh latihan yang konsisten dan terus-menerus, di mana kalah bukan akhir dan menang tidak menjadi alasan berhenti.
Jadi, kecuali masyarakat mau membayar untuk berita yang mereka baca di platform digital atau ada orang kaya yang konsisten mengamalkan keuntungan usahanya untuk menghidupi dan menghidupkan redaksi, amplop akan terus menjadi dilema yang bukan tidak mungkin menjadi standar etika yang suatu saat dilenturkan. Jika itu yang terjadi, hancurlah fondasi negeri ini... Kepercayaan (trust).
Apa pun, selamat Hari Pers untuk teman-teman yang masih terjebak antara karya jurnalistik dan konten pragmatis, seperti saya wkwkwkwkwkÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H