Cuma tulisan anak kemarin sore... ngelantur ke mana-mana, padahal terjerembab dan belum ke mana-mana...Â
Pada masanya, saya begitu keras soal amplop, kepada siapa pun... Bukan berarti tidak pernah menerima. Karena satu dan lain hal, saya harus terima dan tidak pernah dengan senang hati. Tidak juga dengan rasa bersyukur, pun ketika beberapa tagihan belum lunas. Setelah 2015, saya masih keras, tetapi hanya untuk diri sendiri.
"Sekali elo terima Rp 300.000, seumur-umur segitu juga harga elo!" begitu pesan almarhum Pandapotan Simorangkir kepada saya dan beberapa kawan lain ketika masih di Suara Pembaruan era PT Sinar Kasih.
Saya harus tutup mata, karena kenyataannya banyak rekan-rekan jurnalis yang menerima remunerasi hanya sebatas UMR dan mereka punya batasan sendiri-sendiri, soal amplop. Ada beberapa teman yang kemudian menyerah karena kebutuhan. Bagi beberapa orang, tuntutan kerja juga tidak memungkinkan mereka mencari pekerjaan sampingan, sementara hasil pekerjaan pokok tidak memadai.
Betul, ada sejumlah media bernama besar yang mampu menggaji jurnalis-nya dengan pantas atau di atas rata-rata. Namun, jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan media lain yang bahkan kesulitan untuk memberikan kenaikan gaji tahunan di atas tiga persen, dari gaji pokok.
Pada masanya, untuk membentuk perusahaan pers dibutuhkan sejumlah persyaratan, selain uang. Persyaratan itu membuat tidak sembarang orang atau institusi bisa membuat media dan di sisi lain, persaingan usaha menjadi relatif terukur.Â
Pemasukan dari iklan masih bisa diharapkan menutup biaya operasional dll. Dalam iklim yang terukur itu pun, tidak semua media memberikan remunerasi memadai bagi jurnalisnya... Sekarang?
Sekarang, semua orang bisa membuat konten tanpa terikat dengan kode etik jurnalistik dan undang-undang pers dan mendapatkan penghasilan dari konten yang mereka buat. Dengan standar masing-masing, semua orang menyajikan informasi melalui media sosial, yang gratis.Â
Dengan standar berbeda-beda, orang menyajikan informasi mengacu pada perspektif dan opini, bukan fakta dan analisis. Saya bisa menghina atau memuji orang lain di media sosial dan itu dikonsumsi masyarakat. Bahkan, berita palsu pun juga menyita waktu orang. Masalah lainnya, dan ini paling serius, informasi berstandar rendah dan subyektif itu dipercaya dan menjadi referensi pembaca.Â
Kemudian, karena semua orang hanya punya 24 jam sehari, ketika informasi di media sosial juga menarik minat pembaca, jadilah media "konvensional" mengalami penurunan pembaca dan kemudian mengalami penurunan dari aspek bisnis. Kue yang tadinya dibagi lima dibagi menjadi sepuluh, atau bahkan lebih.
Sejumlah perusahaan pers melakukan transformasi dengan tujuan bertahan di era digital. Transformasi itu tidak hanya soal mengubah format, kemasan, dan jalur distribusi konten, tetapi juga soal nilai. Setelah perubahan itu pun, aspek bisnis relatif tidak berkembang sesuai harapan. Jika dibiarkan, bukan cuma media konvensional yang kandas, tetapi profesi jurnalis itu sendiri.
Beberapa perusahaan pers berpengaruh dimiliki oleh orang-orang luar biasa kaya. Namun, ketimbang mencari usaha lain untuk menghidupi dan mempertahankan produk jurnalistiknya, mereka lebih memilih untuk mengubah redaksi menjadi divisi kreatif. Ruang redaksi yang seharusnya menjadi mesin penyeimbang perusahaan pers, kini berubah menjadi lokomotif bisnis.
Terus, gimana?
Kecuali masyarakat mau menyisihkan uang untuk membaca berita pada platform digital, media berstandar jurnalistik perlu dibentuk dan dimodali orang gila. Orang yang mau menyisihkan keuntungan bisnis manufacturing atau jasa untuk menjalankan media berstandar jurnalistik tanpa mengharapkan profit. Fungsi media pertama-tama mendidik, bukan menghibur.
Menurut saya, perusahaan pers pada era digital harus dimiliki oleh orang atau institusi yang menilai profit sebagai konsekuensi bukan tujuan dari aktivitas perusahaan itu, seperti Barcelona era pelatih Pep Guardiola, yaitu menang itu konsekuensi dari cara bermain, bukan tujuan. Jika sudah bermain bagus dan kalah, itu apes namanya.Â
Atau seperti cerita Musashi, yaitu bahwa hasil pertarungan ditentukan oleh latihan yang konsisten dan terus-menerus, di mana kalah bukan akhir dan menang tidak menjadi alasan berhenti.
Jadi, kecuali masyarakat mau membayar untuk berita yang mereka baca di platform digital atau ada orang kaya yang konsisten mengamalkan keuntungan usahanya untuk menghidupi dan menghidupkan redaksi, amplop akan terus menjadi dilema yang bukan tidak mungkin menjadi standar etika yang suatu saat dilenturkan. Jika itu yang terjadi, hancurlah fondasi negeri ini... Kepercayaan (trust).
Apa pun, selamat Hari Pers untuk teman-teman yang masih terjebak antara karya jurnalistik dan konten pragmatis, seperti saya wkwkwkwkwkÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H