Dengan tergesa, Gilang menaiki tangga rumahnya menuju kamar.  Ada dokumen penting yang tertinggal, sehingga jam istirahat dia manfaatkan untuk pulang mengambil dokumen yang tadi malam dia pelajari. Ketika masuk kamar mata Gilang terbelalak  ketika ada seorang gadis sedang asyik menata kamarnya yang berantakan.
      "Hai apa yang kamu lakukan di sini?' tanya Gilang dengan suara keras, mengagetkan gadis itu.
      "Ma ... maaf, saya sedang  membersihkan kamar."
      "Siapa yang suruh?" gertak Gilang, membuat gadis yang di depannya ketakutan.
      "M ... mak Atun," jawab gadis itu terbata-bata.
      "Dengar ya! Jangan sekali kali kamu masuk lagi ke kamarku, paham?" ucap Gilang masih dengan suara keras, gadis itu mengangguk.
      Melihat wajah gadis cantik yang kelihatan ketakutan tidak membuat Gilang iba, tetapi malah membuatnya semakin jengkel dan muak.
      "Sekarang, keluar!" usirnya.
Mendengar kata-kata kasar dari Gilang, gadis itu terperangah, dan langsung melangkahkan kaki keluar dari kamar dengan kepala menunduk. Gilang segara masuk kamar dan membanting pintu dengan penuh emosi.
Sejak putus dengan Yolana, Gilang menjadi sangat benci dengan yang namanya wanita. Gadis yang sangat dicintainya itu menghianatinya, berpaling pada pria lain. Semakin menguatkan dugaannya bahwa setiap perempuan cantik itu "matre".Â
Dia ingat almahum mamanya yang menjadi sakit-sakitan, ketika mengetahui papanya selingkuh dengan perempuan cantik. Mamanya sudah berusaha menyadarkan papanya, tetapi tidak digubris. Demi perempuan cantik, papanya meninggalkan keluarga. Papa tidak peduli lagi pada sang mama yang sakit keras dan akhirnya meninggal. Inilah yang membuat Gilang sangat membenci  perempuan  cantik, seperti yang tadi dia lihat di kamarnya.
Latifa dengan tergesa-gesa turun dari tangga, dadanya sangat sesak. Baru kali ini dia digertak  oleh seorang lelaki, ayahnya saja tidak pernah berkata kasar padanya, tapi Gilang? Kakak dari Gendhis, gadis kelas tujuh yang menjadi murid les bahasa Inggris dan mengaji ini mengapa begitu kasar?
Atas permintaan ayah Gendhis, Pak Harjita yang dia kenal ketika tanpa sengaja mobilnya  menyerempetnya saat dia naik motor berangkat mengajar sebagai guru honorer  di MTs. Mengetahui rumah Latifa yang jauh, Pak Harjita menawarinya untuk tinggal di rumahnya yang dekat dengan sekolah tempat dia mengajar. Pak Harjita meminta dia untuk menemani dan memberi les pada putrinya. Latifa menyetujui, dan dia tinggal di rumah yang besar dengan halaman yang luas bersama Mak Atun, Gendhis dan Gilang . Mak Atun dan Gendhis menyambut gembira kedatangannya. Dalam waktu singkat mereka sangat akrab. Namun Gilang sangat cuek  dan menampakkan sikap yang tidak bersahabat. Meski satu rumah, Gilang tidak pernah bergabung dengan ketiga wanita itu, dia lebih banyak menghabiskan waktu di lantai dua. Bahkan untuk makan saja dia minta Mak Atun membawakan ke atas.
Hari ini Latifa mengajar hanya sampai jam 11, karena sudah tidak ada pekerjaan dia pulang ke rumah Pak Harjita. Sore nanti dia sudah mulai mengajar TPA di masjid dekat rumah. Seusai membantu Mak Atun memasak, makan siang dan salat dhuhur latifa meminta pekerjaan pada Mak Atun.
      "Apa yang harus saya kerjakan lagi, Mak?" tanya Latifa.
      "Sudah enggak ada kerjaan lagi Non, sudah mak selesain semua, tinggal menyiram bunga tapi nanti sore, tapi ...."
      "Gimana Mak? Atau saya seterikakan pakaiannya?" kata Latifa yang masih menunggu Mak Atun yang sedang menyeterika pakaian.
      "Nggak usah Non, ow ya mungkin bisa menata kamar Mas Gilang, tadi pagi mak lupa merapikan."
      "Oke Mak, siaap."
 Latifa  langsung menapakkan kaki menuju lantai dua dan menata kamar Gilang yang cukup besar dan bagus, interiornya bertema industrial. Dindingnya berwarna gelap dan dipenuhi furniture dari logam dan kayu dengan berbagai dekorasi dan tampilannya maskulin. Sayangnya sangat berantakan. Latifa merapikan bedcover, bantal guling dan sprei, pakaian-pakain yang berserakan di lantai dan tempat tidur. Kaos kaki serta sepatu yang berserakanpun dia rapikan. Latifa menemukan mushaf Al-Qur'an yang terjepit antara meja dan dinding. Diambilnya benda suci itu kemudian dia letakkan di atas meja yang penuh dengan kertas-kertas. Namun dia tidak berani merapikan kertas-kertas itu, karena kemungkinan dokumen penting. Ketika Latifa membersihkan kolong tempat tidur, dia menemukan pigura. Diambilnya benda itu,  ada foto gadis cantik yang berambut pendek . Gadis cantik itu tersenyum sangat menawan, matanya indah, hidungnya bangir dan bibirnya sensual,
"Tentu pacar Gilang," pikirnya  tersenyum  "sungguh serasi, Gilang pria yang ganteng dan pasangannya cantik sekali". Ketika baru mengagumi wajah cantik itu, tiba-tiba Gilang muncul dan marah-marah bahkan mengusirnya!
Alangkah sakit hatinya, dia seperti wanita yang sama  sangat rendah di mata Gilang. Betapa sombong laki-laki itu, apakah karena kaya sehingga dengan seenaknya dia berkata kasar? Butiran bening  meleleh membasahi pipi kuning lasatnya. Dengan gontai dia turun dari tangga. Mak Atun yang memperhatikan Latifa keheranan.
      "Ada apa, Non?" Suara Mak Atun,  mengagetkan Latifa, segera dia menyeka air mata dengan hijab warna birunya.
      "Ada Mas Gilang Mak, dia tiba-tiba masuk dan marah-marah lalu mengusir saya," ucap Latifa.
      "Maafkan Mas Gilang ya Non, sebetulnya dia  baik, hanya akhir-akhir ini dia agak kasar dan suka menyendiri," kata Mak Atun sambil memeluk Latifa.
      "yang sabar ya non, jangan diambil hati," lanjutnya
Gilang berdiri terpaku, dia melihat seluruh kamarnya tampak rapi, pigura yang berisi foto Yolana yang dia buang , kini ada di atas tempat tidur. Hanya dokumen yang ada di meja yang tidak ditata, dan di atas meja itu ada mushaf Al-Qur'an peninggalan mamanya! Mushaf itu sudah lama tidak ada,  tiba-tiba ada di atas mejanya. Gilang menjadi ingat nasehat mamanya, untuk menjaga adik perempuannya dan jangan sekali-kali menyakiti wanita! Dadanya menjadi sesak, teringat dengan apa yang baru saja dia lakukan. Dengan kasar dia memarahi dan mengusir gadis yang  menata kamarnya! Siapakah gadis cantik tadi?
Perlahan dia mengambil mushaf Al-Qur'an yang ada di samping dokumennya. Kemudian dia buka benda suci itu yang merupakan hadiah mamanya ketika dia khitan. Ada tulisan tangan yang rapi dari mamanya " Jangan lupa sholat dan luangkan waktumu untuk membaca Al-Qur'an".
 Dadanya berdegub, sudah berapa lamakah dia melupakan salat dan membaca Al-Qur'an? Dia terlalu larut dengan pekerjaan dan kesenangan sendiri  bersama Yolana. Gadis itu  berhasil mengusir kesedihanya sepeninggal ibunya. Tanpa disadarinya dia telah jauh dari salat dan Al-Qur'an.
 Ketika  mendengar suara azan dari masjid, hatinya  tiba-tiba bergetar. Segera dia menuju ke kamar mandi dan membasuh wajahnya untuk berwudhu, kemudian dia salat, bersujud mohon ampunan pada Allah.
Ketika Gilang akan kembali ke kantor, dari mobil dia melihat gadis yang dia marahi tadi sedang keluar dari pintu gerbang menuju masjid. Apa yang akan dilakukan gadis itu? Pikirnya. Perlahan dia melajukan mobil keluar  gerbang, dan gadis berhijab biru itu sudah tidak kelihatan karena sudah memasuki masjid.
Sepulang dari kantor, Gilang langsung mandi kemudian berjalan menuju masjid. Senja ini tiba-tiba dia ingin menjadi tamu Allah di masjid, tempat dia mengaji, salat tarawih dan sallat wajib setiap subuh, magrib dan isya, ketika mamanya masih hidup. Dengan khusuk dia menghadap padaNya, hatinya yang selama ini diliputi rasa benci dan dendam perlahan mencair, kegundahan dan kegalauan hatinya menjadi sedikit lebih tenang. Alangkah nikmatnya apabila semua masalah yang menimpa diadukan kepada Allah.
 Sehabis sallat maghrib, dia lanjutkan salat sunah dan berdzikir, kebiasaan  yang diajarkan ibunya  dan sudah lama tidak dijalani. Selama ini dia  larut pada kesenangan dunia yang membawanya menderita meskipun semua yang diingikannya ada.
"Assalamualaikum," sapa Gilang sepulang salat isya di masjid.
"Waalaikum salam," jawab mak Atun, Gendhis dan Latifa bersamaan. Ketiganya tampak heran dengan sikap Gilang, yang ramah, memakai sarung dan baju koko pulang dari masjid, sungguh di luar kebiasaanya. Apalagi dia mendekat ke arah mereka.
      "Sudah pada makan belum? Yuk kita makan bareng-bareng," ajak Gilang yang membuat ketiga wanita itu semakin keheranan.
      "Beneran kak? Kok tumben."
      "Emangnya enggak boleh kakak gabung," ucap Gilang
      "Boleh banget, Malah seneng kak, apalagi setiap hari!" seru remaja cantik itu sembari menuju meja makan.
      "Ayo, Mak Atun sekalian makan bareng!"  Gilang  melirik gadis berkerudung  yang sedang menunduk. Entah mengapa tiba-tiba jantungnya berdesir.
      "Kak  Tifa juga, ayo Kak," kata Gendhis bersemangat.
      "Maaf Gendhis, perut kakak sakit, kakak ke kamar dulu ya?" kata Latifa sembari berdiri berjalan menuju kamarnya.
      "Ya ... Kakak, tapi nanti tetep bisa ngajarin bahasa Inggris 'kan?"
      "Tentu," jawab Latifa. Gilang termangu, "Tentu gadis itu sakit hati . Bagaimana cara meminta maaf ya?" pikirnya.
      "Mak Atun, nanti jam 8, ke atas ya? Aku pengin dipijit," kata Gilang pada Mak Atun, sesudah selesai makan.
      "Siap Mas Gilang" jawab Mak Atun.
Meski sudah tua pijitan Mak Atun masih mantap. Mak Atunlah yang mengurusi semua kebutuhan ibu, Gilang dan Gendhis ketika ibunya sakit. Ayahnya hanya datang memberi uang, Gilang tidak pernah mempedulikan ayahnya yang tega menyakiti ibunya. Apalagi kini dia sudah bekerja di perusahaan yang memberi gaji besar, membuatnya merasa tidak butuh pada sang ayah.
      "Mak, siapakah gadis yang tinggal di rumah kita?" tanya Gilang.
      "Maksud Mas Gilang, Non Latifa?"
      "Namanya Latifa Mak? Dia itu siapa?"
"Dia guru MTs dan TPA Mas, guru les bahasa Inggris dan ngaji Mbak Gendhis. Pak Harjito yang membawa Mbak Latifa. Mbak Gendhis cocok sekali dengan dia, sejak ada Mbak Latifa, Mbak Gendhis ceria dan rajin belajar," cerita Mak Atun.
"Tadi dia saya usir dari kamar, entah mengapa saya paling benci sama cewek cantik, jadi ingat Yolana. Apakah dia marah padaku? Aku menyesal, pengin minta maaf."
      "Mbak Latifa anaknya baik kok Mas, dia enggak bakalan marah."
      "Betul mbok?" tanya Gilang sesak di dadanya perlahan mereda.
***
Dengan langkah ringan Gilang memasuki rumahnya sesudah salat subuh  berjamaah di masjid. Dia menghentikan langkah ketika sayup-sayup terdengar lantunan  merdu ayat suci Al-Qur'an.
"Tentu suara Latifa," pikirnya. Gadis yang telah menyadarkannya itu kembali membuat dadanya seperti disiram air sejuk. Tiba-tiba dia berkeinginan untuk berolahraga, tidak tidur lagi seperti kebiasaanya apabila libur.
Gilang berlari kecil menyusuri jalan yang masih sepi.Udara terasa segar, sesegar hati dan tubuhnya pagi ini. Dengan ringan kakinya terus berlari, hingga peluh membasahi wajah dan tubuhnya yang tegap dan atletis. Meski sejak putus dari Yolana hobinya olah raga sempat berhenti. Matahari mulai menyingsing ketika di memasuki pintu gerbang. Matanya tertuju pada bunga-bunga adenium yang bermekaran indah beraneka warna. Dan di tengah bunga itu, ada seorang gadis cantik dengan kerudung warna coral, wajah kuning langsat tanpa polesan bedak tampak bercahaya.
"Selamat pagi Latifa," sapa Gilang ragu. Gadis yang disapa tercengang tapi senyumnya mengembang membalas senyum cowok ganteng yang tiba-tiba ada di depannya.
      "Se ... selamat pagi Mas Gilang"
      "Bunganya cantik-cantik banget seperti yang merawat," ucap Gilang membuat Latifa tersipu. Benarkah ini Gilang yang kemarin mengusir? Pikirnya.
"Latifa, terima kasih kamu telah menolongku untuk kembali pada Allah. Mushaf yang kamu temukan itu, dari almahum mama, ada pesan mama yg sudah lama aku tinggalkan," kata Gilang.
      "Alhamdulillah," ucap Latifa.
      "Maukah kamu memaafkan aku atas sikapku kemarin?" tanya Gilang.
      "Iya, Mas. Mak Atun cerita, bahwa sebetulya Mas Gilang itu baik."
      "Terima kasih Latifa," kata Gilang sambil menatap wajah ayu latifa yang tertunduk, membuat Gilang semakin terpesona.
Gadis ini seperti bidadari surga yang diturunkan untuknya, yang menolongnya untuk kembali bersujud padaNya. Suara merdunya ketika melantunkan Al-Qur'an seperti air segar yang menyiram hatinya yang kering kerontang. Perilakunya serta pakaiannya yang sopan menggambarkan dia gadis Shaliha, sungguh jauh dibandingkan dengan Yolana. Tiba-tiba dia merasa bersyukur, Yolana telah meninggalkannya. Luka yang tergores dalam, seolah terobati dengan datangnya Latifa. Tentu dia tidak akan tergesa- gesa menyatakan cinta pada gadis itu. Dia harus banyak belajar tentang agama dan  memperbaiki dirinya sebelum melamar. Yang jelas hatinya sudah tidak galau lagi, ternyata dibalik putus cintanya dengan Yolana, ada hikmah yang sunguh  indah.
TAMAT
                                         Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H