Mohon tunggu...
Bunda Widya
Bunda Widya Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan

Pensiunan. Bergabung di Kompasiana 10 Mei 2013. Nenek seorang Cucu, penggemar setia Timnas Garuda dan Manchester United.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dilarang Bakar Sampah

28 Juni 2023   16:17 Diperbarui: 30 Juni 2023   16:32 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sampah organik dan anorganik (Sumber Foto Kompas.com/Vanya Karunia Mulia Putri). 

Satria Purnama adalah sosok suami yang sabar penuh perhatian. Sejak menikah dulu hingga sekarang sudah purna tugas pada usia 60 tahun, aku selalu memanggilnya dengan panggilan Ayah dan dia memanggilku Bunda. 

Sebenarnya kami sudah kakek dan nenek karena kami sudah punya cucu, tapi biar awet muda kami sengaja tidak memanggil satu sama lain dengan panggilan Eyang Kakung atau Eyang Putri. 

Hampir sepuluh tahun lalu kami purna tugas dari sebuah lembaga penelitian pertanian. Kebetulan suamiku satu kantor pada saat bertugas dulu hanya berbeda bidang. 

Seperti setiap Minggu pagi, kami usai berolah raga jalan santai mengelilingi komplek perumahan, biasanya kami langsung menuju Pasar Tradisional melewati jalan tembus perkampungan di seberang jalan. 

Jalan setapak dengan lebar hanya satu meteran itu kami lewati dengan beberapa belokan, akhirnya keluar dan langsung hanya tinggal menyebrang jalan besar menuju Pasar Tradsional. 

Itu adalah hiburan setiap akhir pekan. Maklum kami saat ini di rumah hanya tinggal berdua saja. 

Dua anak kami semuanya sudah berkeluarga dan merantau ke Kota lain. 

Sebelum memasuki pasar, persis beberapa puluh meter di samping pasar ada sebuah lahan tempat pembuangan sampah sementara. 

Sebagian besar sampah-sampah rumah tangga  yang berasal dari komplek perumahan atau rumah-rumah di sekitanya. 

Juga dari area pertokoan. Semuanya dibuang di situ. Namun tidak dibakar dan tidak boleh dibakar. 

Pada saat hujan turun tempat pembuangan sementara itu walaupun tertutup atap, tapi air hujan masih bisa masuk ke dalam tumpukan sampah. 

Akibatnya dari tumpukan sampah basah itu menimbulkan bau busuk yang menyengat. Setiap orang yang lewat menuju pasar itu jadi tidak nyaman. 

Seperti pada pagi itu ketika kami melewati Tempat Pembuangan Sementara tersebut, harus menutup hidung rapat-rapat karena bau yang tidak nyaman. 

"Bunda sampah seperti ini bagusnya diapakan nih?" Tanya suamiku. 

"Dibuat pupuk organik menggunakan mikroba dekomposer." 

"Iya dari dulu sebenarnya sangat sederhana mengelola sampah ini. Dipilah dulu sampah organik dan pisahkan dari yang anorganik. Lakukan proses kompos dengan mikroba." 

"Betul Ayah. Namun pada prakteknya di lapangan tetap saja susah." 

"Atau bisa saja dibiarkan hingga ratio Nitrogen dan Karbonnya menurun." Pendapat suamiku. 

"Tapi tanpa dekomposer terlalu lama menjadi komposnya dan cenderung prosesnya anaerob yang menimbulkan bau."

"Lalu sebenarnya dimana kendalanya?" 

"Ya mungkin salah satunya adalah biaya."

"Seharusnya biaya tidak boleh jadi kendala jika pemerintah memiliki niat untuk mengatasi masalah sampah." Ujar suamiku memprotes. 

"Sssst jangan ngegas Bos!" Kataku sambil tertawa. 

Melihat fakta yang ada sebenarnya pembuatan pupuk rabuk dari buangan limbah pertanian masih jauh dari segi bisnis yang menguntungkan. 

Sampai saat ini penggunaan pupuk kimia masih mendominasi seluruh lahan pertanian untuk berbagai komoditas. Sangat jarang mereka menggunakan pupuk rabuk yang justru sangat ramah lingkungan.  

Mungkin saja sudah ada beberapa regulasi yang mengarah pada penggunaan sampah sebagai bahan baku pupuk rabuk. Kebetulan aku bukan bidang yang menggeluti tentang regulasi persampahan. 

Namun demikian sudah seharusnya pemerintah saat ini mulai melakukan aksi yang berpihak kepada program pengelolaan sampah secara terpadu demi pelestarian lingkungan. 

"Sudah Bunda. Ayo kita belanja saja bahan sayur lodeh dari pada pusing mikirin sampah!" Ajak suamiku sambil menarik tanganku. Aku hanya tertawa. Aduh Satria Purnama kalau sudah ngambek pingin dibuatkan sayur lodeh. 

@Bunda Widya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun