Diliriknya alroji yang melingkar di pergelangan tangannya yang halus dan putih. Pukul 4.30. Ah.. apalagi ini. Wajah manisnya terlihat bertambah resah. Dilayangkannnya pandangan ke ujung jalan . Lengang. Pohon pohon tertiup angin , cukup keras. Ombak terdengar menderu deru mewakili hatinya.
Kadang tegak menatap ujung jalan, kadang menunduk seperti menikmati detak jantungnya sendiri. Sudah sejam dia menunggu, lelaki yang menaburi mimpinya tak kunjung muncul juga. Belakangan ini , ia sudah terbiasa menunggu, tapi tak pernah selama ini. Dan membuatnya begitu bosan. Dulu lelaki itulah yang selalu setia menunggunya. Di tempat kuliahnya, mengantarnya berjam jam memilih buku atau pakaian di mall. Atau mengantarnya sekedar jalan jalan. Tapi sekarang lelaki itu, yang dikenalnya tiga tahun lalu, begitu sibuknya, bisnisnya maju pesat, sebab ketekunannya menjalankan usaha. Belakangan lelaki itu mulai sibuk di dunia politik.
“Maklumlah, pacarmu sekarang adalah anggota dewan yang terhormat dan kaya raya , hahahaa…”ujar Suhartini sambil tertawa, entah apanya yang lucu. Dan setiap kali sahabatnya mulai menyinggung hal itu ada ketakutan yang menyelinap di hatinya. Ada jurang yang semakin lebar. Sekalipun ia selalu mencoba mengabaikannya.
“Ahh… aku cerita bukan untuk diejek. Kalau begitu aku pulang saja” Harini cemberut sambil menggendong tasnya.
“Ho ho hoo… ngambek ni yeee…” sahabatnya mulai memeluknya
“emmmmm… “
“Okeee.. sori, aku cuma bercanda, sekarang ceritakan lagi, sejak kapan dia jarang membalas smsmu ?”
“Masih mau mendengar ?”
“Tentu…”
Semua keluh kesahnya dia tumpahkan pada sahabatnya itu, dan akhirnya, “Tegaslah .. berikan dia pilihan, hubungan kalian seperti kayu kering di tengah lautan luas”
Tiap kali dia mendengar saran itu, Harini menghela nafas, mampukah aku, tanya hatinya. Memberi pilihan pada lelaki itu, berarti memberi pilihan pada hatinya juga. Itu yang dia belum yakin , apakah dia sanggup.