Mohon tunggu...
Riskiana Widya Putri
Riskiana Widya Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Mercu Buana

Nama : Riskiana Widya Putri Nim : 43222010033 Kampus : Universitas Mercu Buana Prodi : Akuntansi Jurusan : Fakultas Ekonomi dan Bisnis Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Behavioral Conditioning Ivan Pavlov dan Fenomena Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   18:02 Diperbarui: 14 Desember 2023   18:35 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dibuat oleh penulis

Pencucian uang merupakan upaya untuk menyembunyikan asal usul uang yang diperoleh secara ilegal melalui  transaksi keuangan yang kompleks. Hal ini sering dikaitkan dengan kejahatan korupsi untuk memastikan bahwa manfaat korupsi sulit diidentifikasi.

Kejahatan korupsi mempunyai akibat yang merugikan, seperti melemahnya kepercayaan terhadap lembaga negara, menghambat pembangunan ekonomi, dan menciptakan kesenjangan. Pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi memerlukan kerja sama antara pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang bersih, transparan, dan akuntabel.

Contoh Korupsi di Indonesia 

  • Korupsi BLBI

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerbitkan SP3 atau surat pemberitahuan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan konglomerat Sjamsul Nursalim. Komisi Pemberantasan Korupsi mengklaim SP3 diterbitkan untuk menjamin kepastian hukum. Selain itu, salah satu terdakwa Syafruddin Temenggung juga didakwa dengan kasus yang sama dalam perkara kasasi Mahkamah Agung (KKK). Pemberian SP3 dalam kasus Sjamsul Nursalim disebut sesuai Pasal 40 UU Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Kasus BLBI sendiri merupakan kasus korupsi yang sudah cukup lama mengudara namun hingga saat ini belum terselesaikan. Sebelumnya, Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya Itjih Samsul Nursalim (ISN) ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi BLBI. Sjamsul Nursalim merupakan pemegang saham mayoritas debitur BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Saat itu, ia dan beberapa pemilik bank diduga bersekongkol dengan pejabat Bank Indonesia (BI) untuk mencuri dana pemerintah melalui BLBI.

Dalam kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim, kerugiannya mencapai Rp4,58 triliun. Saat kasus ini dilimpahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi, Sjamsul Nursalim dan suaminya ditetapkan sebagai orang yang dicari  (DPO). Mereka diketahui bersembunyi di Singapura. KPK juga beberapa kali mengundang keduanya. Namun sang suami tidak pernah menanggapi panggilan KPK sebagai saksi maupun tersangka. Menurut Forbes, kekayaan Sjamsul Nursalim tahun lalu sebesar 755 juta dollar AS atau sekitar Rp 11,25 triliun.

Selain memiliki properti yang sangat kaya di Singapura, ia juga diketahui pernah berinvestasi di beberapa perusahaan besar Indonesia. Kepemilikan terbesarnya adalah di bidang ritel, real estat, dan batu bara. Menurut laporan Forbes, perusahaan terkait Sjamsul Nursalim di Indonesia adalah PT Mitra Adiperkasa Tbk dan PT Gajah Tunggal Tbk. Kronologis Kasus Mengutip laporan Harian Kompas (1998), pada saat krisis keuangan tahun 1998, banyak bank di Indonesia yang mengalami kesulitan likuiditas. Pemerintah kemudian menyalurkan uang pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) kepada bank-bank tersebut sebagai pinjaman, dan pinjaman tersebut kemudian disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BI menyalurkan BLBI senilai Rp147,7 triliun kepada 48 bank. Sjamsul Nursalim Bank Umum Nasional Indonesia (BDNI) merupakan salah satu bank yang mendapat pembiayaan dari uang rakyat yakni Rp 47 triliun. 

Dana tersebut dikucurkan melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA) dimana BPPN mengambil alih saham dan pengendalian BDNI. Dalam MSAA, total utang BDNI ke pemerintah sebesar Rp47,2 triliun, dikurangi aset BDNI sebesar Rp18,85 triliun, termasuk pinjaman (klaim) BDNI kepada petambak udang Dipasena Lampung senilai Rp4,8 triliun. Sjamsul Nursalim berdalih, dana BDNI dalam bentuk tagihan petambak udang Dipasena merupakan dana cair yang tampaknya tidak bermasalah. Hasil investigasi BPPN menyimpulkan dana yang diterima petani Dipasena merupakan kredit macet dan Sjamsul Nursalim  membuat pernyataan palsu. 

BPPN kemudian mengirimkan surat yang menyatakan Sjamsul Nursalim memberikan keterangan palsu dan memintanya menggantinya dengan cara lain untuk membayar utang BLBI, namun Sjamsul Nursalim menolak. Selain itu, BDNI menyalahgunakan uang BLBI sedemikian rupa sehingga BPPN menggolongkannya sebagai bank yang melanggar hukum atau melakukan transaksi tidak wajar yang menguntungkan pemegang saham. 2003 Mengutip Antara, BPPN kemudian melakukan pertemuan dengan Sjamsul Nursalim yang diwakili istrinya Itjih Nursalim untuk menyelesaikan persoalan tuntutan petani Dipasena.  

Meski demikian, Itjih Nursalim memastikan tidak ada masalah pada properti tersebut dan pihaknya tidak memberikan informasi palsu. Pada tahun 2004, isu BDNI menjadi kontroversial dan kemudian menjadi penyidikan kasus korupsi, setelah itu pemerintah menerbitkan surat keterangan (SKL) kepada Sjamsul Nursalim. Selaku Presiden, Megawati Soekarnoputri menyetujui penerbitan Surat Keterangan Pembayaran (SKL) kepada debitur penerima BLBI.  Direktur Jenderal BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani surat SKL SKL-22/PKPS-BPPN/0404 tentang pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI yang mengakibatkan hilangnya hak panen petambak udang Dipasena.

Syafruddin kemudian divonis 15 tahun penjara oleh Mahkamah Agung DKI Jakarta karena menerbitkan SKL. Berdasarkan putusan pengadilan tipikor, hukumannya diperberat menjadi 13 tahun penjara. Tahun 2004 BPPN yang masih meminjam dari Antara mengalihkan tanggung jawab premi Dipasena kepada Kementerian Keuangan yang dialihkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). PPA menjual hak tagih Dipasena sebesar 220 miliar koleksi padahal kewajiban atau utang Sjamsul Nursalim yang seharusnya terutang kepada pemerintah adalah 4,8 triliun koleksi. Kekurangan ini  merugikan pemerintah sekitar Rp 4,58 triliun.   Dalam putusan Mahkamah Agung (MA) tahun 2019, Syafruddin kemudian dibebaskan sebagai penerbit SKL.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun