Mohon tunggu...
Widya Prasetyawati Septiani
Widya Prasetyawati Septiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UPI

KKN TEMATIK MDBPE-MBKM UPI 2021

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Defisiensi Vitamin D: Perlukah Memperhatikan Asupan Vitamin D?

10 Januari 2023   09:23 Diperbarui: 10 Januari 2023   10:02 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Jalur metabolisme vitamin D (Gambar dok. pribadi)

Manusia membutuhkan asupan mikronutrien (vitamin dan mineral) di samping makronutrien (karbohidrat, protein, dan lemak) untuk keberlangsungnya hidupnya. Mikronutrien adalah zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah sedikit, tetapi berperan penting dalam pembentukkan hormon, aktivitas enzim, serta pengaturan fungsi sistem imun dan reproduksi. Vitamin D merupakan salah satu mikronutrien yang diperlukan tubuh. Vitamin D bertanggung jawab terhadap metabolisme kalsium dan fosfat serta mineralisasi tulang yang sehat. Vitamin D juga dikenal sebagai hormon imunomodulator, yaitu hormon yang mengatur sistem kekebalan tubuh.

Manusia memperoleh vitamin D dari sinar matahari, makanan, dan suplemen. Sinar matahari, khususnya radiasi ultraviolet B (UVB) (290--320 nm), merupakan sumber utama vitamin D, sedangkan makanan dan suplemen berperan sebagai pendukung ketika paparan sinar matahari terbatas atau tidak efektif untuk produksi vitamin D. Perlu dicatat bahwa sinar matahari tidak secara langsung menghasilkan vitamin D, melainkan sinar matahari berperan aktif dalam mengubah provitamin D (7-dehidrokolesterol) di kulit menjadi vitamin D. Vitamin D memiliki dua bentuk utama, yaitu vitamin D2 dan vitamin D3. Vitamin D2 disintesis dari ergosterol dan ditemukan dalam ragi, jamur kering, dan tanaman. Vitamin D3 disintesis secara endogen dari 7-dehidrokolesterol dalam kulit dan ditemukan secara alami dalam minyak ikan dan ikan berlemak.

Vitamin D dimetabolisme oleh vitamin D-25-hidroksilase (CYP2R1) di hati menjadi 25-hidroksivitamin D [25(OH)D], kemudian 25(OH)D dimetabolisme lebih lanjut di ginjal oleh enzim 25-hidroksivitamin D-1-hidroksilase (CYP27B1) menjadi bentuk aktif 1,25-dihidroksivitamin D [1,25(OH)2D]. 1,25(OH)2D ini memberikan aktivitas imunologis pada berbagai komponen sistem imun serta mengatur homeostasis kalsium dan fosfat dengan bekerja pada usus halus, ginjal, dan tulang. Jalur metabolisme vitamin D dapat dilihat pada Gambar 1.

Konsentrasi serum 25-hidroksivitamin D (25(OH)D) menjadi penanda status vitamin D. Kadar serum 25-hidroksivitamin D yang optimal masih diperdebatkan, tetapi telah disarankan untuk mempertahankan serum 25-hidroksivitamin D setidaknya 30 ng/mL (75 nmol/L) dan sebaiknya 40-60 ng/mL (100-150 nmol/L) agar memperoleh manfaat kesehatan yang optimal dari vitamin D. Seseorang membutuhkan konsumsi vitamin D 4000-6000 IU setiap hari untuk mempertahankan kadar serum vitamin D dalam kisaran 20-40 ng/mL (50-100 nmol/L) dan kadar serum 25(OH)D dalam kisaran 40-60 ng/mL (50-100 nmol/L).

Ketika konsentrasi serum 25(OH)D kurang dari 30 nmol/L, maka dikatakan sebagai kondisi kekurangan vitamin D atau defisiensi vitamin D. Defisiensi vitamin D dapat disebabkan oleh kurangnya paparan sinar matahari (UVB), sebagai stimulan sintesis vitamin D endogen, akibat lokasi geografis dan/atau musim serta faktor sosial seperti kebiasaan pembatasan paparan sinar matahari. Defisiensi vitamin D menyebabkan penyakit tulang, termasuk rakhitis pada anak-anak dan osteoprosis pada orang dewasa, serta dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit pernapasan dan risiko kondisi kehamilan.

Rakhitis

Rakhitis merupakan salah satu penyakit akibat kurangnya asupan vitamin D dan atau kalsium pada anak-anak. Penyakit rakhitis ditunjukkan dengan pertumbuhan yang terganggu, patah tulang, nyeri tulang, kelainan bentuk kaki, dan keterlambatan perkembangan kemampuan motorik. Apabila dibiarkan terus-menerus dapat menyebabkan kejang dan serangan jantung.  Diagnosis rakhitis aktif dapat diperoleh dari radiografi pergelangan lutut untuk menilai tingkat keparahan dan mengukur perbaikan atau respons terhadap pengobatan secara objektif.

Gambar 2. Radiografi lutut normal (kiri) dan lutut rakhitis (kanan). Panah menunjukkan daerah dengan pelebaran lempeng pertumbuhan (Gambar dok. pribadi)
Gambar 2. Radiografi lutut normal (kiri) dan lutut rakhitis (kanan). Panah menunjukkan daerah dengan pelebaran lempeng pertumbuhan (Gambar dok. pribadi)

Osteoporosis

Osteoporosis adalah penyakit tulang pada orang dewasa akibat kekurangan vitamin D yang parah. Osteoporosis dapat diatasi dengan suplementasi vitamin D. Salah satu penelitian menemukan bahwa efek suplementasi vitamin D terhadap kekuatan otot dirasakan oleh orang yang berusia di atas 65 tahun, meskipun ukuran efek keseluruhannya kecil. Penelitian lain menyatakan bahwa suplementasi vitamin D tidak konsisten dalam pencegahan patah tulang pada orang dewasa yang lebih tua.

Penyakit pernapasan

Baru-baru ini kekurangan vitamin D dikaitkan dengan penyakit pernapasan, terutama eksaserbasi asma (serangan asma akut) dan tuberkulosis (TB) yang berpotensi mematikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D dapat menurunkan frekuensi infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan eksaserbasi asma. Hal ini disebabkan oleh respon imun dari vitamin D terhadap virus pernapasan yang biasanya memicu penyakit tersebut. Vitamin D juga dapat berperan dalam pencegahan infeksi Mycobacterium tuberculosis, pencegahan TB aktif, atau sebagai terapi tambahan untuk meningkatkan respons terhadap pengobatan antimikroba pada penyakit TB aktif.

Kehamilan

Ibu yang kekurangan vitamin D melahirkan bayi yang juga kekurangan vitamin D sehingga berisiko hipokalsemia dan rakhitis kongenital. Oleh karena itu diperlukan konsumsi suplemen vitamin D yang rutin pada ibu hamil selama kehamilan untuk memastikan total minimum asupan vitamin D 400-600 IU/hari. Beberapa penelitian telah menyelidiki efek potensial kekurangan vitamin D pada ibu hamil terhadap komplikasi kehamilan, seperti kelahiran prematur dan stunting pada tahun pertama. Penelitian lain telah menemukan bukti bahwa suplementasi vitamin D selama kehamilan dapat mengurangi risiko kelahiran prematur dan stunting. Di samping itu, suplementasi vitamin D juga diperlukan oleh ibu menyusui. Vitamin D disekresikan ke dalam ASI yang konsentrasinya tergantung pada asupan vitamin D rutin ibu menyusui. Suplementasi dosis tinggi (4000 IU/hari atau lebih) mungkin diperlukan untuk meningkatkan kandungan vitamin D dalam ASI. Dosis tinggi tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa vitamin D yang ditransfer ke ASI setara dengan 200-400 IU/hari.

Endocrine Society Clinical Practice menganjurkan dosis asupan vitamin D untuk pengobatan dan pencegahan defisiensi vitamin D ditunjukkan pada Tabel 1. Adapun beberapa bahan pangan yang berpotensi sebagai sumber vitamin D tersedia pada Tabel 2.

Tabel 1. Dosis asupan vitamin D yang dianjurkan untuk individu yang berisiko kekurangan vitamin D dan dosis pengobatan terapi vitamin untuk pasien dengan kekurangan vitamin D

tabel-1-63bcc30e08a8b57e4463f622.png
tabel-1-63bcc30e08a8b57e4463f622.png

Tabel 2. Beberapa bahan pangan sumber vitamin D (Gambar dok. pribadi)

(Gambar dok. pribadi)
(Gambar dok. pribadi)

Selain bersumber dari bahan pangan yang secara alami mengandung vitamin D, defisiensi vitamin D dapat diatasi dengan suplementasi vitamin D seperti yang disinggung sebelumnya. Suplemen vitamin D kini tersedia dalam bentuk tablet, kapsul, dan tetes (tersedia sebagai sediaan vitamin tunggal atau dikombinasikan dengan zat gizi mikro lainnya). Vitamin D3 banyak digunakan dalam suplemen komersial dibandingkan vitamin D2. Dosis harian vitamin D2 atau D3 sama efektifnya, tetapi vitamin D3 mungkin lebih disukai untuk dosis besar tunggal karena waktu paruhnya yang lebih panjang. Suplemen vitamin D dapat diberikan setiap hari, mingguan, dan bulanan dengan dosis sebagai berikut: 600 IU/hari; 4200 IU/minggu; 18.000 IU/bulan untuk orang dewasa. Adapun urutan kemanjuran dari penggunaan suplemen vitamin D yaitu harian > mingguan > bulanan.

Cara lain untuk mengatasi defisiensi vitamin D yaitu melalui fortifikasi dengan pola konsumsi pangan lokal. Dalam pemilihan bahan makanan untuk fortifikasi harus dipastikan bahwa sebagian besar penduduk memperoleh dan mengkonsumsi makanan yang akan difortifikasi. Selain itu, stabilitas vitamin D selama pemrosesan, pemasakan, dan penyimpanan makanan fortifikasi harus dipertimbangan. Salah satu penelitian telah menunjukkan fortifikasi produk susu dengan tingkat fortifikasi 100 dan 250 IU vitamin D per sajian 2% lemak susu UHT dan produk hasil fortifikasi stabil selama 60 hari masa simpan. Penelitian lain melaporkan vitamin D yang larut dalam air telah dikembangkan dan digunakan di Amerika Utara untuk fortifikasi jus buah yang juga dikofortifikasi dengan kalsium. Bahan makanan lainnya yang difortifikasi dengan vitamin D yaitu tepung (gandum, beras, dan jagung). Vitamin D dalam bentuk cair diubah menjadi bentuk bubuk menggunakan spray-dryer, kemudian ditambahkan ke tepung yang akan difortifikasi. Hasil penelitian menunjukkan tepung jagung yang diperkaya vitamin D dapat mengurangi risiko kekurangan vitamin D. Penelitian lain menunjukkan biskuit dari tepung terigu yang diperkaya vitamin D, yang diberikan kepada anak-anak sekolah di Bangladesh, secara signifikan mengurangi risiko kekurangan vitamin D.

Perlu dicatat bahwa asupan vitamin D yang berlebih, baik karena asupan vitamin D yang berkepanjangan atau dosis tambahan yang berlebihan, dapat menyebabkan hiperkalsemia dan/atau hiperkalsiuria. Studi kasus menunjukkan bahwa suplemen vitamin D 50.000-300.000 IU/hari dapat menyebabkan hiperkalsemia dalam beberapa minggu.  

Referensi

Cashman, K. D. (2020). Vitamin D Deficiency: Defining, Prevalence, Causes, and Strategies of Addressing. In Calcified Tissue International (Vol. 106, Issue 1, pp. 14--29). Springer. https://doi.org/10.1007/s00223-019-00559-4

Charoenngam, N., & Holick, M. F. (2020). Immunologic effects of vitamin d on human health and disease. In Nutrients (Vol. 12, Issue 7, pp. 1--28). MDPI AG. https://doi.org/10.3390/nu12072097

K. Coussens, A. (2011). Immunomodulatory Actions of Vitamin D Metabolites and their Potential Relevance to Human Lung Disease. Current Respiratory Medicine Reviews, 7(6), 444--453. https://doi.org/10.2174/157339811798072577

Remelli, F., Vitali, A., Zurlo, A., & Volpato, S. (2019). Vitamin D deficiency and sarcopenia in older persons. In Nutrients (Vol. 11, Issue 12). MDPI AG. https://doi.org/10.3390/nu11122861

Roth, D. E., Abrams, S. A., Aloia, J., Bergeron, G., Bourassa, M. W., Brown, K. H., Calvo, M. S., Cashman, K. D., Combs, G., De-Regil, L. M., Jefferds, M. E., Jones, K. S., Kapner, H., Martineau, A. R., Neufeld, L. M., Schleicher, R. L., Thacher, T. D., & Whiting, S. J. (2018). Global prevalence and disease burden of vitamin D deficiency: a roadmap for action in low-and middle-income countries. Annals of the New York Academy of Sciences, 1430(1), 44--79. https://doi.org/10.1111/nyas.13968

Wimalawansa, S. J. (2019). Vitamin D deficiency: Effects on oxidative stress, epigenetics, gene regulation, and aging. In Biology (Vol. 8, Issue 2). MDPI AG. https://doi.org/10.3390/biology8020030

Zhou, Y. F., Luo, B. A., Qin, L. L., & Shidoji, Y. (2019). The association between Vitamin D deficiency and community-acquired pneumonia: A meta-analysis of observational studies. Medicine (United States), 98(38). https://doi.org/10.1097/MD.0000000000017252

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun