Bagaimana di Indonesia? Ya kurang lebih sama. Saya pernah membaca penelitian di Jakarta yang memotret pola makan anak-anak sekolah. Hasilnya begini.
Delapan puluh lima persen anak-anak SD yang disurvai, membawa bekal makanan ke sekolah. Namun hanya separuhnya yang membawa setiap hari. Bekal yang dibawa didominasi oleh produk olahan seperti sosis/nugget, biskuit dan makanan ringan (snacks)
Anak-anak yang disurvai tadi 93 persennya biasa mengonsumsi makanan instan di rumah. Bahkan separuhnya mengonsumsi dengan frekuensi 2-3 kali seminggu. Jenis yang dominan dikonsumsi adalah mi instan serta produk olahan hewan seperti sosis dan nugget.
Terigu…terigu…terigu lagi! Masih ditambah sejumlah bahan aditif. Dari mana asal terigu tadi? Konon Indonesia memang punya juga sih ladang gandum, tapi jangan lupa impornya. Tahun lalu impor gandum Indonesia capai 10,09 juta ton. Wow! Membaca angkanya kok rasa-rasanya kedaulatan pangan masih jauh.
Bagi saya ini cukup aneh dan membuat prihatin. Bukankah kita tidak terlahir sebagai bangsa pemakan roti? Kita bukan pula bangsa pemakan mie? Alam memberikan Mbah-Mbah saya karbohidrat yang lain, yakni dari beras (beraneka jenis beras), umbi-umbian seperti singkong, ketela rambat, talas, dan lainnya.
Ini belum lagi keprihatinan ketika kita coba melongok sejumlah risiko kesehatan dari terlalu banyak mengkonsumsi terigu yang mengandung gluten. Dan… ingat, ini baru terigu. Belum sejumlah produk pangan impor lainnya!
Jadi, tidakkah ini semua menggerakkan kita untuk lebih berpihak pada pangan lokal yang lebih sehat?
Dibuat untuk Estafet Bersama:
Widyanti Yuliandari