Wohh.... Telo!
Dasar, mental tempe!
Jujur, masih sering mendengar dua ucapan di atas. Tadinya biasa aja, makin lama, saya jadi merasa tidak enak mendengarnya. Telo atau ubi, pangan lokal yang mengandung banyak nutrisi, sumber karbohidrat yang baik, kenapa justru diucapkan sebagai ungkapan melecehkan atau merendahkan?
Demikian juga tempe. Ketika banyak penganut vegetarianism atau pola makan sehat lain di luar sana mengagumi kelezatan dan limpahan nutrisi dari tempe, mengapa kita justru mengesankannya seolah sesuatu yang lemah, buruk dan hina? Dugaan saya, ada rasa kurang bangga dan percaya, bahwa kekayaan pangan lokal tersebut justru amat berharga.
Lain waktu, anak saya yang perempuan bercerita, “aku dibilang ndeso sama temanku”. “Mengapa, Dik? Tanya saya mulai waspada dan menebak ke mana arahnya. “Karena bekalku cuma tahu, tempe, sayur. “Temanmu emang bekal apa? “Nugget, sosis, roti …”, dia menyebut sederet makanan siap saji yang amat populer.
Well, sebenarnya saya tidak sangat kaku sehingga anak saya tak pernah mengkonsumsi makanan yang disebut tadi. Tapi, kami memang amat membatasi konsumsinya.
“Kamu malu?” Tanya saya memastikan.
“Enggak”, jawabnya setengah cuek. Oh…sip! Ndeso itu sehat dan enak kok, Dik” kata saya memberi dukungan.
Pangan Lokal, Antara Keperpihakan dan Kesehatan
Bagi saya pribadi, keberpihakan pada pangan lokal sebenarnya didasari atas hal-hal sederhana saja. Bahwa Tuhan pasti dengan kasih sayangnya telah menciptakan sumber-sumber makanan sedekat mungkin dengan kita. Namun setelah sekeluarga menjalani pola makan sehat sekian lama, ternyata memang amat banyak kelebihan pangan lokal seperti:
Lebih Segar
Oh, ya jelas! Dibanding pangan impor, pangan lokal menempuh jarak yang lebih dekat dan waktu lebih singkat untuk sampai ke meja makan kita, bukan?
Jeruk yang dipanen kemarin dari kebun-kebun di Semboro, Jember, besok pagi sudah bisa menjadi santapan sarapan kami sekeluarga di Bondowoso. Buah Naga dan Jeruk Kristal yang dipanen kemarin dari Banyuwangi, esok telah bisa kami nikmati. Artinya, kami mendapatkan versi yang sangat segar. Dalam kondisi segar, nutrisi yang didapat juga lebih optimal.
Lebih Aman dari Bahan Pengawet Kimiawi
Dapatkah kita bayangkan buah-buahan menempuh jarak ribuan mil dalam waktu lebih seminggu, dari kebunnya nun jauh di sana? Tidakkah kita curiga, bahan apa yang menyelamatkan dari kebusukan? Yakin aman? Hmm… saya sih tidak begitu yakin
Lebih Murah
Konon ini tak selalu benar. Tapi untuk buah dan sayuran, makanan utama kami, jelas yang lokal masih lebih murah. Di Bondowoso sini, buah naga kalau lagi musim, sekilo hanya 5 ribu saja. Atau bahkan 10 ribu bisa dapat 3 kilogram. Itu bisa jadi sarapan kami sekeluarga selama 2-3 hari.
Sesuai Musim dan Kebutuhan
Banyak ahli pola makan sehat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan buah sesuai musim, untuk mencukupi kebutuhan manusia. Semua disesuaikan dengan kondisi alam dan kebutuhan manusia di saat tertentu.
Lebih Sesuai dengan Tubuh
Saya pernah membaca status yang ditulis seorang ahli nutrisi, bahwa pangan lokal, yang ditumbuhkan di tanah yang kita pijak, memiliki kesesuaian susunan kimiawi dengan tubuh kita sendiri, sehingga lebih mudah diserap tubuh dan lebih sesuai. Sayangnya saya belum menemukan landasan ilmiahnya, meski telah berupa mencari. Namun secara logika, menurut saya ini masuk di nalar.
Mendukung Kedaulatan Pangan dan Keberpihakan Pada Petani Lokal
Membeli beras merah organik, produk dari Desa Lombok Bondowoso, tak jauh dari tempat tinggal saya, rasanya adalah bentuk dukungan yang sederhana namun berarti. Tidak perlu teori berbusa-busa, beli saja dan konsumsi produk mereka. Itu salah satu bentuk dukungan sebagai masyarakat biasa.
Demikian juga dengan kedaulatan pangan, memilih produk lokal sebisa-bisanya, adalah salah satu bentuk dukungan saya. Jika saya mengurangi makan produk terigu, artinya saya mengurangi jumlah gandum yang harus diimpor ke Indonesia.
Nah, hal-hal di atas menguatkan keyakinan untuk makin cinta pangan lokal. Apalagi sejalan dengan ketertarikan saya dan suami untuk mempelajari pola hidup sehat, sejak sepuluh tahun lalu.
Tanoker: Kegembiraan dan Kedaulatan Pangan Dibangun dari Desa
Tanoker. Bagi kami yang tidak familiar dengan daerah Jember bagian utara, cukup butuh upaya juga menemukannya. Setelah berputar-putar disasarkan oleh aplikasi pemandu, berkombinasi dengan membingungkannya keterangan penduduk setempat yang kami tanyai, lega rasanya menemukan tempat ini.
Tanoker, dalam bahasa setempat dilafalkan sebagai ker tenoker, yang dalam Bahasa Madura artinya adalah kupu-kupu, terletak di Ledokombo, Kabupaten Jember. Saya datang ke mari dalam rangka memenuhi undangan untuk mengisi materi pada Training Jurnalistik Pangan Sehat. Training ini diperuntukkan bagi pengelola web desa, organisasi jurnalisme di kampus juga para relawan Tanoker. Tujuannya adalah meningkatkan kapasitas dalam melakukan kampanye pangan sehat. Sungguh saya bahagia bisa berada dalam lingkaran sevisi.
Saya mendengarkan dengan saksama sambutan Ibu Ciciek pagi itu dalam pembukaan acara. Kata demi kata saya sima, dan … yeah! Saya menemukan banyak kesamaan pandangan dengan beliau. Menyitir pemikiran Bung Karno bahwa pangan adalah hal yang tak main-main bagi sebuah bangsa. Pangan membentuk raga, dari sinilah sebuah bangsa akan menemukan kekuatan.
Saya berbincang dengan Ibu Farha Ciciek, direktur Tanoker dan sesudah acara kami beberapa kali masih berkontak via pesan WA. Kebetulan juga, beliau adalah penganut pola makan food combining, sama dengan saya.
Kesadaran untuk mengangkat kebanggaan akan pangan lokal yang lebih sehat, sebenarnya bermula dari keprihatinan akan makanan populer zaman now. Sebut saja: makanan berbahan gluten, makanan berlelehan gula, minuman penuh bahan aditif, dan masih banyak lagi makanan minuman yang minim gizi. Sebenarnya saya hampir tega mengatakan kosong gizi, tapi sebenarnya demikanlah kenyataannya. Lalu sel macam apa yang dibentuk oleh makanan demikian? Otot semacam apa? Otak seperti apakah yang dibangun dari bahan baku demikian?
Aneka Makanan Lokal Diolah Tangan Kreatif Warga Desa
Usai pembukaan digelarlah rehat kopi. Berbagai hidangan lokal disajikan kepada kami. Karena saya menganut food combining, dan masih kurang siang untuk menyantapnya, maka aneka kudapan itu baru saya santap setelah agak siang.
Ada puding buah naga, lalu rengginang yang diolah dari tepung mocaf (terbuat dari singkong) juga yang menjadi favorit saya, yakni ketan yang diolah bersama jagung manis dan dibungkus seperti lemper. Hmmm…. Gurih dan manis! Saya suka!
Sebulan sekali, di minggu terakhir, datanglah ke Ledokombo. Ada kegembiraan besar yang ditawarkan kawan-kawan Tanoker yang diberi nama Pasar Lumpur. Jika Anda suka keseruan, turutlah bergabung dalam permainan-permainan berlokasi di lapangan lumpur. Usai bermain, ketika perut Anda menagih penawar lapar, santaplah aneka pangan olahan warga desa yang diolah secara kreatif dari bahan-bahan lokal yang tersedia. Sebut saja:
- Tape ketan daun awar-awar (Foto paling atas dari tulisan ini)
- Kue Srabi Buah Naga
- Lemper Ketan Hitam
- Lemet Pisang
Itu hanya sebagian dari pangan lokal yang tercipta dari tangan kreatif warga desa Ledokombo bersama Tanoker. Setiap bulannya, di Pasar Lumpur, Anda akan temui jenis makanan yang berbeda-beda. Luar biasa kreatif dan sungguh-sungguhnya mereka dalam mengolah pangan lokal menjadi sajian yang sehat dan mengundang selera.
Tanoker bukan hanya menguarkan keriaan bermain lumpur. Namun, Tanoker juga giat mengajak warga belajar mengolah aneka pangan lokal. Bukan Cuma ibu-ibu, lo yang belajar. Anak-anak juga ada kegiatan memasak. Bahkan ada juga sekolah yang disebut sekolah Eyang. Soal pangan sehat memang menjadi perhatian Tanoker.
Indonesia Sebenarnya Tak Sendirian
Keprihatinan akan kualitas makanan manusia modern saat ini, sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Hwang Sung Joo, seorang dokter Korea selatan, dalam bukunya menyebutkan mirisnya kondisi nutrisi masyarakat dunia termasuk di negaranya sendiri.
- 8 dari 10 anak di Korea Selatan mengalami kekurangan vitamin juga serat
- Lebih dari 69 persen anak di Korea Selatan mengkonsumsi mie instan dan minuman berkarbonasi lebih dari 2 kali dalam seminggu
- Bahkan 1 dari 10 anak Korea makan mie instan lebih dari sekali dalam dua hari.
Bagaimana di Indonesia? Ya kurang lebih sama. Saya pernah membaca penelitian di Jakarta yang memotret pola makan anak-anak sekolah. Hasilnya begini.
Delapan puluh lima persen anak-anak SD yang disurvai, membawa bekal makanan ke sekolah. Namun hanya separuhnya yang membawa setiap hari. Bekal yang dibawa didominasi oleh produk olahan seperti sosis/nugget, biskuit dan makanan ringan (snacks)
Anak-anak yang disurvai tadi 93 persennya biasa mengonsumsi makanan instan di rumah. Bahkan separuhnya mengonsumsi dengan frekuensi 2-3 kali seminggu. Jenis yang dominan dikonsumsi adalah mi instan serta produk olahan hewan seperti sosis dan nugget.
Terigu…terigu…terigu lagi! Masih ditambah sejumlah bahan aditif. Dari mana asal terigu tadi? Konon Indonesia memang punya juga sih ladang gandum, tapi jangan lupa impornya. Tahun lalu impor gandum Indonesia capai 10,09 juta ton. Wow! Membaca angkanya kok rasa-rasanya kedaulatan pangan masih jauh.
Bagi saya ini cukup aneh dan membuat prihatin. Bukankah kita tidak terlahir sebagai bangsa pemakan roti? Kita bukan pula bangsa pemakan mie? Alam memberikan Mbah-Mbah saya karbohidrat yang lain, yakni dari beras (beraneka jenis beras), umbi-umbian seperti singkong, ketela rambat, talas, dan lainnya.
Ini belum lagi keprihatinan ketika kita coba melongok sejumlah risiko kesehatan dari terlalu banyak mengkonsumsi terigu yang mengandung gluten. Dan… ingat, ini baru terigu. Belum sejumlah produk pangan impor lainnya!
Jadi, tidakkah ini semua menggerakkan kita untuk lebih berpihak pada pangan lokal yang lebih sehat?
Dibuat untuk Estafet Bersama:
Widyanti Yuliandari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H