Mohon tunggu...
Widya Granawati
Widya Granawati Mohon Tunggu... Administrasi - I Love Freedom

Tertarik pada isu pendidikan, wanita, sosial dan hukum.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pasal Karet RKUHP, Salah Interpretasi Hukum Progresif?

29 September 2019   18:50 Diperbarui: 29 September 2019   18:54 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari yang cerah ketika saya sedang nunggu dosen pembimbing yang tak kunjung datang dari pagi, untuk membunuh waktu saya memutuskan untuk membaur dan sok asik pada gerombolan anak laki-laki yang sedang mengobrol di bawah pohon. Dengan sok asik, saya membuka obrolan dengan pertanyaan basa basi supaya ada topik "Eh Mr. X tuh ambil skripsi apa sih?", tanya saya.

"Perjanjian tentang apa gitu, lupa", jawab teman saya ini.

"Oh perjanjian, itu hukum perdata International ya masuknya berarti?", tanya saya polos karena saya kurang ngerti tentang hukum Internasional.

Teman saya ini tiba-tiba nyeletuk, "aduh Widya, jadi mahasiswa hukum kaku banget sih? Hukum Internasional itu lebih mengacu ke common law, jadi gausah lah dibatasin jelas perbedaan hukum publik dan hukum privat, kamu dan Indonesia itu terlalu positivis, yang progresif dong"

Karena saya ini pecinta produk lokal garis keras, saya merasa tidak begitu memahami alur-alur hukum Internasional (ngeles). Tapi tuduhan bahwa positivisme atau normatif adalah kaku, saya jadi mikir, "ini maksudnya gimana sih? Jadi mengategorikan hukum dalam ranah privat dan publik itu adalah suatu bentuk hal yang kuno? Atau temen saya ini memang gak paham makna hukum itu gimana?"

Sebenarnya di lingkungan kampus, perdebatan antara "tunduk aturan" dan "tunduk pada keadaan sosial masyarakat"  memang sering terjadi. Kalo bahasa kerennya, Normatif versus Empirik. 

Normatif itu beradasarkan rasionalitas, empirik berdasarkan indrawi fakta lapangan. Banyak dari mahasiswa hukum menganggap bahwa aturan dianggap tidak adil karena tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah kenyataan yang ada di masyarakat yang mana tindakannya tidak diatur dalam Undang-Undang atau hukum tertulis. Padahal masyarakat merasa tindakan seperti itu adalah tindakan tidak baik.

Jadi memang sistem hukum yang dianut Indonesia sendiri  adalah civil law yang diadopsi dari sistem hukum eropa yang dahulu pernah menjajah kita. Sementara common law adalah sistem hukum yang berasal dari anglo saxon yang diterapakan pada negara Amerika dan Inggris. 

Singkatnya, perbedaan yang mencolok keduanya adalah civil law mengenal adanya pembedaan antara hukum privat dan publik. Sementara common law tidak.

Doktrin normatif-rasional yang terpaku pada aturan hukum tetulis yang menjunjung tinggi kepastian hukum sering dituduh memperkosa keadilan karena bertumpu pada kepastian. 

Sementara sosiolegal/empirik dianggap jadi solusi terbaik, karena bisa menemukan hukum baru. Dan penafsiran hukum dengan pendekatan empirik sedang trend-nya di Indonesia. Skeptis masyarakat pun menunjukan bahwa sosiolegal adalah aliran paling adil karena bisa menabrak aturan "hukum positif atau hukum tertulis". 

Ya setidaknya itulah yang kira-kira terjadi sebelum RKUHP diwacana untuk sah yang akhirnya memicu keributan sana sini mengadopsi "pasal tindak pidana living law atau nilai yang hidup" dan memasukan ranah privat menjadi hukum publik yang diurusi negara.

RKUHP akhirnya dituduh sebagai himpunan hukum pasal karet karena tidak memberikan kepastian hukum. Ricuh sana-sini karena takut dipenjara karena penjaringan salah satu pasal "living law" yang kebablasan luasnya. 

Memang mayoritas masyarakat itu berteriak karena takut masuk penjara karena suatu nilai dalam masyarakat adat atau agama yang tidak mereka pahami. Tapi sayangnya orang belajar hukum yang agak sombong dan merasa sok pintar karena ada dari mereka yang sebagian mendukung RKUHP dengan tameng mereka sudah belajar hukum  "RKUHP itu sudah disusun baik oleh para ahli hukum. Mana mungkin ahli hukum menjerumuskan kita semua?"

Iya benar memang dianut oleh ahli. Namun ahli empirik-indrawi yang memiliki pemikiran condong ke aspek sosiologis, bukan normatif-rasional yang berdasarkan logika hak kewajiban harus dilakukan. Sehingga saya bisa bilang, orang sosiolegal yang bertumpu pada empirik-indrawi lah yang membuat RKUHP ini. 

Sementara orang normatif? Apa ada yang ditanyai pendapatnya? Menurut hemat saya, kalo Prof Moelyatno dan Prof Soedarto (Ahli Hukum Pidana) masih hidup saya yakin pasti akan menangis tersedu-sedu melihat pasal-pasal lucu dalam RKUHP kita.

Lalu apakah tuduhan bahwa normatif-rasional itu benar bahwa hukum yang terpaku pada metode normatif-rasional itu menerabas keadilan?

Ada yang salah dari masyarakat kita, menganggap bahwa hukum harus disesuaikan dengan mood masyarakat atau kondisi lapangan masyarakat. Tapi keadaan empirik masyarakat yang bisa dirasakan dengan indrawi tidak pernah membuktikan causa atau sebab langsung. Sebagai contoh begini, ketika pilpres kemarin masyarakat bergejolak menuduh Jokowi-Maruf curang. 

Sebagian masyarakat kita melakukan serangan ke Bawaslu. Kericuhan memang terjadi, tapi tidak bisa dibuktikan bahwa dengan ada kericuhan itu maka Jokowi-Maruf curang. Maka haruslah dibuktikan kecurangan tersebut, dengan data-data yang terverifikasi.

Nah begitu juga dengan logika yang sama, ketika masyarakat adat atau agama tertentu menganggap suatu tindakan itu salah. 

Maka harus juga dibuktikan dengan data yang berdasarkan fakta, sains, yang terverifikasi bahwa tindakan itu memang hal itu salah atau jangan-jangan aturan itu hanya sebuah skeptis turun temurun yang membentuk nilai semu yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi. 

Jadi ketika mayoritas menganggap suatu hal salah, belum tentu hal itu salah berdasarkan. Apalagi ini hanya sebagian saja masyarakat. Dan mungkin akan memicu baku hantam antar masyarakat karena terjadi perbedaan pandangan terhadap suatu nilai.

Lalu apakah kita tidak mengakui suatu nilai yang dianut pada masyarakat?

Nilai sifatnya bergerak dinamis, nilai yang baik masa lalu belum tentu menjadi nilai yang baik pada era sekarang. Apa yang membedakan?

Yang membuat nilai ini berbeda ialah, karena terjadi kemajuan jaman yang membuat kita lebih mudah menemukan informasi-informasi tertentu yang kita butuhkan yang pada jaman dulu belum ada. 

Contoh simplenya saja, laki-laki boleh mempunyai beberapa istri, karena anak yang dilahirkan oleh para istri tersebut bisa dipastikan berasal dari ayah yang sama. 

Sedangkan seorang istri yang memiliki beberapa suami, akan kesulitan menentukan ayahnya. Sehingga pernikahan antara satu suami dengan banyak wanita diperbolehkan, daripada pernikahan satu wanita dengan banyak suami.Tapi apabila dibandingkan dengan jaman sekarang apakah masih nyambung? 

Bukankah sekarang ada teknologi bernama tes DNA? Makanya pembagian waris tanpa pernikahan bisa diajukan dengan bukti tes DNA. Karena seorang anak bisa diketahui siapa ayah ibunya, walau ditukar-tukar.

Nah oleh sebab itu mempertahankan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat, tanpa mengolahnya apakah itu masih relevan pada masa kini adalah hal yang salah. Karena jaman berubah, teknologi berubah, data semakin lengkap, segala tindakan bisa diselidiki dengan science. 

Bahkan dalam acara pidana dikenal pembuktian negatif secara Undang-Undang, pembuktian ini mewajibkan hakim menjatuhkan putusan berdasarkan dua alat bukti dan keyakinan hakim. Walaupun judulnya hanya "keyakinan", namun keyakinan ini berdasarkan rasionalitas, jadi tidak asal baper aja. Dalam bukunya yang berjudul Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, keyakinan hakim terbagi menjadi tiga tingkatan:

  • Keyakinan hakim yang pertama, yaitu keyakinan telah terjadinya tindak pidana yang terlah didakwaan.
  • Keyakinan yang kedua, yaitu keyakinan terdakwa yang melakukan tindak pidana tersebut.
  • Keyakinan yang ketiga, yaitu keyakinan terdakwa bersalah dalam hal tindak pidana.

Keyakinan hakim masing-masing keyakinan hakim ini juga diperoleh dari fakta. Keyakinan yang pertama, yaitu keyakinan telah terjadinya tindak pidana didapatkan berdasar dua alat bukti yang sah. Sehingga keyakinan hakim yang pertama ini adalah keyakinan hakim yang bersifat objektif berupa fakta-fakta yang telah diajukan di pengadilan. 

Selanjutnya keyakinan hakim yang kedua, yaitu keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya. Keyakinan hakim semacam ini tetaplah bersifat keyakinan yang dibentuk berdasarkan fakta objektif, namun perbedaannya keyakinan hakim yang kedua ini disubjektifkan atau dihubungkan dengan personalnya (pelaku). Sementara keyakinan hakim yang ketiga ialah keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. 

Keyakinan hakim yang ketiga ini dibentuk melalui dua unsur sifat sekaligus yaitu sifat objektif dan sifat subjektif. Keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah yang berhubungan dengan sifat objektif adalah keyakinan bahwa terdakwa tidak memiliki alasan pembenar dalam melakukan tindak pidana. Sementara keyakinan tentang hal yang subjektif adalah bahwa tidak adanya alasan pemaaf (fait d'execuse) yaitu tentang fakta yang menyangkut keadaan jiwa atau sikap batin terdakwa ketika melakukan tindak pidana tersebut.

Tiga macam keyakinan hakim ini sifatnya imperatif atau berkomando. Jadi apabila salah satu keyakinan hakim dari tiga tingkatan tidak terpenuhi, ya tidak bisa dijatuhkan suatu putusan pidana. Jadi adanya keyakinan hakim tidak melulu digambarkan sebagai suatu bentuk subjektif dari hakim, tapi keyakinan hakim ini juga punya aturan dasar dalam pembentukannya.

Oleh sebab itu hukum tidak bisa diterapkan dengan asas keadilan membabi buta. Keadilan harus tetap berdasarkan rasionalitas yang bisa dipertanggung jawabkan. 

Agar ketika masyarakat mulai baku hantam karena persepsi yang berbeda-beda, hukum bisa memberikan jawaban yang bisa dipertanggung jawabkan bersama. Karena saya percaya, Indonesia masih belum siap dengan argumen adil tanpa rasionalitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun