Mohon tunggu...
Widya Granawati
Widya Granawati Mohon Tunggu... Administrasi - I Love Freedom

Tertarik pada isu pendidikan, wanita, sosial dan hukum.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Masturbasi Intelektual, Puas (Pintar) Sendirian?

19 Juni 2018   10:55 Diperbarui: 19 Juni 2018   12:20 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Menyambung dari tulisan yang lalu, sebenernya tulisan saya sebelumnya yang menggunakan kata "Ejakulasi Intelektual" itu Cuma iseng di blog jadi saya ngetik 10 menit langsung di kolom kompasiana, dan upload deh supaya gak kosong abis buat akun. Ternyata diluar prediksi, saya merasa agak terbang, viewers saya cukup banyak dengan tulisan asal kebut dan banyak typo itu, lalu banyak teman-teman saya suka tulisan receh itu dan mulai menanyakan apasih ejakulasi Intelektual dan mengajak diskusi soal tema yang saya ambil. Tentu juga pada akhirnya banyak pro kontra tulisan saya.

Ketika ditanya "kamu baca buku dimana?" saya agak kewalahan menjawab, bukannya tidak ingat tapi sebenarnya saya gak baca buku langsung tentang "Ejakulasi Intelektual" wkwkwkwk dan bukan Widya namanya kalo gak tahu sesuatu hal karena kejadian gak penting. Kita flashback dikit ke azab paling mengerikan di dunia yaitu "terkubur dalam kenangan". Waktu itu saya sedang mabuk asmara. 

Pengennya buka instagram mulu 1000x sehari tanpa perduli kuota semahal apa dan stalking mantan 'anjing' saya atau sebut saja peliharaannya peliharaan saya, nah si anjing ini dia upload foto buku dengan mencantumkan kata "masturbasi intelektual" pada bulan Mei 2017 sambil memasang emoji monyet menutup mata di instastorynya (mungkin karena dia merasa dirinya monyet dan dia sedang menutup mata). 

Saya tahu betul fokus dia tentunya tidak sedang membicarakan ideologi "intelektual", tapi otaknya itu lagi ngeres fokus pada kata yang dia ilhami dalam hidupnya, yaitu kata "masturbasi". Saya pun saya tetap agak heran dengan dua kata itu, tapi karena pada dasarnya saya gak begitu suka membicarakan hal berbau "porn", otak sudah terlalu skeptis negatif, jadi saya gak ambil pusing dan men-skip statusnya itu.

Dilain waktu, ada acara dari organisasi atau komunitas nasional yang sedang saya jalani dalam dunia tulis menulis(mungkin yang kenal saya tau ini organisasi apa). Salah satu pengacara yang bekerja sama dengan kami itu nyeletuk "aku gatau komunitas ini fungsinya apa? 

Selama ini kalian bukannya plagiarsme juga ya dalam menulis, gak jelas kalian menulis buat apa? Saya membacanya kalian Cuma 'Ejakulasi intelektual' Kalian Cuma lagi pamer kan kalian bisa nulis tanpa tahu siapa sasarannya dan manfaatnya?" Tentu saja itu jadi hinaan dan koreksi besar buat kami. Saya suka cara ngomongnya yang ceplas ceplos tapi obyektif. Menjadi perbaikan sekali.

Dia gak menjelaskan panjang lebar tentang apa itu "ejakulasi intelektual" yang dalam instastory si kampret disebut masturbasi Intelektual. Tapi kita semua terdiam dan paham maksudnya.

Iya Ejakulasi Intelektual atau Masturbasi Intelektual adalah suatu keadaan kita menikmati kecerdasan hanya untuk diri kita sendiri, tidak ada unsur mencintai orang lain dalam proses kita menimba ilmu. Mencintai orang lain maksudnya ialah, tidak tahu apa yang dilakukannya bermanfaat atau tidak namun semata-mata hanya untuk mendapat predikat bahwa ia cerdas. 

Mirip Feodalisme modern. Tuan tanah sudah berubah jadi tuan cerdas yang egois. Bagus sih, tapi cerdas itu kan artinya menguasai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan punya manfaat untuk membantu hidup orang lain, dari cara menghitung kembalian cimol, sampai tahu bahwa boraks itu bahaya untuk kesehatan. Bukannya ilmu harus seperti itu?

Saya sih bukan ahli dibidang ini, jadi mungkin saya akan menyebutkan tipe-tipe orang masturbasi intelektual yang pernah saya temui dan kalo kalian punya pendapat lain boleh komen dikolom komentar,

  • Orang pengejar IPK tinggi. Target Ipnya semester ini 4, tapi pas ditanya aplikasinya. Dia termenung. Dia gak begitu paham yang dia pelajarin. Saya males temenan ama anak-anak gini, kalo diajak omong apa-apa gak nyambung.Tapi daya ingatnya kuat. Dia bersaing sama mesin fotokopi dan komputer. Se-Text book mungkin. Saya gak tau universitas lain modelnya gimana, tapi kalo dikampus saya sangat text book. Orang-orang model gini hidup paling bahaya di masa depan, karena dia menyaingi fungsi komputer dalam menghafal. Artinya dia sama dengan mesin, suatu saat fungsinya sebagai manusia dimasa depan bisa digantikan teknologi karena gak punya ciri khas manusia "berfikir kritis".
  • Tipe berdebat. Saya juga benci sama si kampret ini, biang kerok tipes saya kumat dari semester 1 sampai semester 4 ngabisin ber juta-juta obat. Bayangin rapat dari jam 19.00 samapai 04.00. Gendeng gak tuh? Orang manusia model gini biasanya suka ngomong 5 jam gak kelar ngomonginnya hal-hal gak substansi. Contoh ngedebatin suatu tujuan acara menggunakan kata "tempe" atau menggunakan kata "kedelai yang difermentasinya"? Nahhhhh definisi dua kata ini dikaji dengan teori Marxisme dan Das Kapitalis selama 5 jam. Iya, biar keliatan dia baca buku gitu. Awal semester saya kagum sama manusia tipe ini, "wih bacaannya banyak ya" makin lama temen saya nyeletuk "suamimu itu kok kalo ngomong lama kali sih wid? Capek aku dengernya, suruh berhentilah", dan saya makin sadar omongannya banyak yang gak penting. Gak ada yang penting! Saya pernah kencan ama orang tipe ini dari jam 21.00-00.00 percaya atau enggak saya Cuma dijinin ngomong separagraf aja, sisanya dia. Kurang bacot apa coba?
  • Tipe penggerak. Pasti ingat dengan kartu kuning yang diajukan mahasiswa UI. Nah itu sebagian contoh orang-orang yang terobsesi sama revolusi. Biasa anak model gitu.  Bagus kok. Tapi gak pas momentumnya. Sama seperti cinta sejati yang mempunyai ciri "datang dari orang tepat dan keadaan yang tepat". Revolusi pun juga harusnya seperti itu. Kenapa tiap saat pengen revolusi sih? Karena sukanya nyeletukin hal-hal baru, sementara ilmu lama aja gak ada yang dikuasain. Menurut saya sejak reformasi 98, bawa impact luar biasa. Akhirnya sebagian besar dari mahasiswa terobsesi jadi reforman-reforman baru. Cuma ya sekali lagi. Enggak tepat waktunya. Dan keadaannya udah gak bisa disamain kaya 98. Monggo dikaji lagi.
  • Tipe Penulis. Kalo dari semuanya orang bertanya "kamu masuk model yang mana?" ya sepertinya paling mendekati tipe penulis. Ya model ini, penulis ini sebenarnya gak begitu kelihatan "wah dia sok-sokan pinter dia". Kenapa? Karena skill menulis masih jarang di Indonesia karena minat baca yang rendah, apalagi untuk kajian hukum. Sehingga memang kebanyakan memang cerdas dan pasti diakui, tapi kalo perhatikan organisasi jurnalistik. Kebanyakan dari mereka Cuma sedang pamer bahwa mereka bisa menulis. Esensinya? Gatau. Informatif? Enggak. Tipe masturbasi intelektual model kaya gini biasanya, memonopoli ilmunya dengan menggunakan peristilahan sulit yang sengaja disisipkan supaya menimbulkan kesan "hanya anak yang pintar yang paham tulisan saya" bukan bertujuan untuk menyampaikan informasi untuk membantu orang lain. Padahal sama seperti bicara, tulisan itu tujuannya ngajak ngobrol atau sebagai media menyampaikan informasi(fungsi bahasa). Ngapain pakai hal yang orang lain gak paham? Informasinya kan gak akan sampai? Terush?
  • Tipe cita-cita masuk jurusan kedokteran. Dari tipe 1-4 saya menemui mereka dikampus. Tapi tipe orang ini saya temuin di SMA. Semua anak gengsi banget masuk jurusan kedokteran. Karena kedokteran itu keren. Entah SMA lain gini atau enggak. Tapi di SMA saya hampir 100% murid IPA yang perempuan ingin mengambil jurusan kedokteran, terutama kedokteran umum. Pas ditanya mama saya "Kenapa kamu ngeyel banget pengen sekolah di kedokteran sih sampe nyoba semua universitas", teman saya itu jawab dengan lugunya "saya suka nyeset-nyeset tante (membedah dengan pisau)". Kurang psikopat apa coba dia? Masuk sekolah kedokteran Cuma buat nyeset. Kadang saya suka nyindir anak mahasiswa kedokteran ini "wah untung ya kak, masih ada yang masuk jurusan basis teknologi, kalo semua orang masuk kedokteran, kita gak akan nikmatin jaringan 4G sekarang hehe"
  • Tipe UN 100. Nah ini yang paling bermasalah dengan saya. Dan keselnya masih sampai ubun-ubun. Saya sudah bersumpah saya gak akan pernah nginjekin kaki di SMA itu lagi dan gak akan mau ketemu mereka lagi. Terakhir masalahnya saya dikick grup sana sini karena gak mau beli kunci jawaban UN karena mereka kerjasama dengan Dinas dan Kepala sekolah ikut membantu, jadi seinget saya di bidang IPS hanya ada 5 orang yang gak beli kunci jawaban UN dari 150 siswa. Empat orang ini gak banyak masalah karena mereka dongkol yang kalem. Sementara saya dongkol yang banyak bacot. Ya gimana gak dongkol, anak-anak yang beli kunci ini adalah anak-anak OSN biologi internasional, matematika nasional, kimia provinsi. Tanpa beli kunci, mereka belajar pun bisa dapet 100. Terus kunci itu buat apa?
    Toh UN sudah gak menentukan kelulusan, jalur SBMPTN dan UM sama sekali gak melirik nilai UN. Terus buat apa?Kadang manusia model gini ngeselin nyetatus "kenapa banyak anak mencontek? Karena nilai lebih di hargain dari kejujuran" pengen komen rasanya "MAKANYA JANGAN IKUT HARGA PASAR!!! LO AJA IKUTIN HARGA PASAR!" Pas UN pun ekonomi awak dapet 66, it's no problem. Hidup gak berakhir. Mama terutama. Reaksi gimana? Ya jelas kecewa. Orang pas SMP dia pamer kesemua orang UN saya rata-rata 9 lebih. Tapi kalo waktu itu nilai UN saya 9, itu masuk akal karena saya masuk SMA harus menggunakan NEM. Tapi pas masuk kuliah saya jelaskan lagi "saya Cuma butuh masuk dan keterima di universitas dengan passing grade yang tersedia, bukan nilai 100 UN".

Dari tipe 1-6 arogansinya berbeda-beda, tapi mereka punya satu kesamaan. "Pamer pintar". Akhirnya pendidikan dijadikan kompetisi, bukan menjadikan "dari yang tidak tahu menjadi tahu". 

Dalam teori psikologi anak yang disebutkan oleh Pak Dono(Lupa nama panjangnya) disuatu acara seminar "yang paling bahaya itu ketika anak kita dididik untuk mendapatkan Pujian, akhirnya dia gak paham kenapa nilai baik harus dijalankan dan kenapa nilai buruk tidak boleh dijalankan, karena semata-mata dia melakukan sesuatu demi Pujian. Jadi orang tua, berhenti intervensi anak".

Teman saya pun pernah bertanya "Wid, mending IP pas-pasan tapi tahu substansi yang dipelajarin atau enggak tahu substansi dipelajarin". Saya jawab "ya mending tau substansi lah", "tapi kamu akan lebih salah klo IPmu pas-pasan dan gak tahu substansi, hidupmu sia-sia banget meurutku"

Jadi disini, saya gak memojokkan siapapun. Karena tipe mahasiswa dan siswa itu saya benci semuanya. Tapi saya pernah diposisi semuanya, siapa yang gak pengen UN 100? Siapa yang gak pengen cumlaude? Siapa yang gak pengen jadi penggerak(saya juga tukang demo kok dulu)? Siapa yang gak pengen diakui argumentasinya? Tapi ya sekali lagi ayah saya berkata "kamu harus tau betul kenapa kamu melakukan sesuatu bukan karena ikut-ikutan atau dianggap keren". Dan menjadi diri sendiri itu hal yang menyenangkan asal tetap bermanfaat, gausah ikutin harga pasar.

Dan suatu ketika ada obrolan di warung kopi teman saya bertanya "Lo suka demo wid?", "Suka kok, Cuma harus tau substansinya dulu sama tujuannya". Dia bilang "Gue Cuma heran kenapa mahasiswa sekarang gatau fungsinya sebagai mahasiswa agent of change". Saya pun dengan nyablaknya jawab "Lo mau triak sekarang capek pemerintah gak denger, atau belajar yang bener kembangin ilmu lo dan tampar pemerintah lalu pemerintah tertekan dan nurut? Bro, kita hidup pake strategi. Kalo memang tujuannya output kesejahteraan rakyat, strateginya benerin jadi yang top cer dan pikirin jangka panjangnya buat berjuang".

Kata seorang alumni yang nasihatnya dalem banget buat saya berkata gini "aku pikir dengan aku ikut organisasi, sertifikatku banyak, mengabaikan nilai, buka channel sana sini, aku cari kerja itu gampang. Ternyata gak segampang itu. Aku lupa sama ilmuku. Dalam dunia kerja 70% teori+30% soft skill. Bukan 100% teori+soft skill 0% atau teori 0%+soft skill 100%. Teori tetep dipakai, tapi managemen waktu, leadership, tahan tidaknya suatu tekanan kamu dapatkan diorganisasi dan komunitas diluar kelas." 

Kita gak diciptakan jadi EO, atau demonstran selamanya kan? Tapi juga buku teori bejipun tanpa tahu aplikasiin di dunia yang keras ini gak akan maksimal hasilnya. Jadi kesimpulannya, semuanya harus seimbang. Ada teori dan harus ada praktis dan tahu kenapa kita harus cerdas?

Dianggap pintar itu menyenangkan pake banget. Temennya banyak, gak gampang diremehin orang. Bersaing ilmu adalah bentuk feodalisme kekinian. Siapa yang ilmunya paling tinggi akan dihargai, tapi lebih bijak lagi, bahwa ilmu itu bukan piala pamer dan membodoh-bodohi orang yang gak tahu tapi sesuai dengan tujuan ilmu itu lagi. Bermanfaat bagi hidup orang banyak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun