Mohon tunggu...
Widya Granawati
Widya Granawati Mohon Tunggu... Administrasi - I Love Freedom

Tertarik pada isu pendidikan, wanita, sosial dan hukum.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pernah Dihina karena IPK Pas-pasan?

16 Juni 2018   14:46 Diperbarui: 16 Juni 2018   15:03 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa saat yang lalu saya itu sedang bergabung dikomunitas hits kumpulan anak-anak yang terkenal "Wew", iya "Wew" saya gunakan disini mengungkapkan kespeechless-an saya. Tentu jadi kehormatan untuk saya, sebagai butiran debu ini bisa bersama dengan mereka. Minimal mendompleng popularitas lah.

Tapi ya begitulah, jadi teringat quotes yang pernah diucapkan mantan gebetan saya di SMA yang sekarang kalo di DM di ig cuma di R aja menyatakan bahwa "Hidup itu sepaket, kamu harus terima manis dan pahit. Pilihanmu, mau menghabiskan yang manisnya dulu atau pahitnya dulu atau seimbang manis dan pahit?" Iya tragedi itu muncul ketika ada kertas sialan yang terpampang di mading ruang transit. Pengumuman IPK tertinggi. 

Dari 8 orang disitu 7 diantara pemegang IPK tertinggi angkatan, luar biasa bukan komunitas ini? Diantara semuanya hanya satu orang yang tidak mendapatkan predikat itu. Coba tebak siapa?

Iya, siapa lagi kalo bukan saya wkwkwkwwk

Saat itu saya merasa kasta saya langsung turun, bukan lagi Sudra. Tapi Paria (Gembel). Harkat martabat saya yang dikenal anak hobby argumentasi langsung patah karena pengumuman itu. Anggapan orang pun langsung melabel "wah berarti selama ini dia omong kosong tanpa dasar".

Kalo masalah IPK sih jujur saya gak begitu peduli nama saya terpampang atau enggak. Sedari kecil Papa yang notabene seorang guru matematika bersabda "Jangan pernah mendapatkan nilai bagus untuk pujian, belajar karena kamu tahu kamu butuh belajar dan jadi pintar, papa gak akan kasih hadiah untuk kamu karena nilaimu bagus, atau hukuman karena nilaimu jelek. Lakukan untuk dirimu sendiri."

Sedari diri saya diajarkan konsekuensi hidup, bahwa kenapa saya harus melakukan sesuatu? Apa motivasinya? Papa saya menasihati, bangku pendidikan itu bukan kompetisi, tapi ibarat minum. Kamu harus menjadikan dia sebagai proses nikmat untuk melepaskan dahaga akan ilmu pengetahuan. Indah sekali menjadi tahu banyak hal tuhhh (I love you full papaku yang bijak dan galak)

Jadi sedari kecil, saya terbiasa berfikir logis untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak tahu apa tujuannya? Seperti berjuang untuk orang yang tidak mencintai saya #eaaaaa

IPK itu penting, penting banget, siapa yang ngomong gak penting? Cariin golok aja (suruh ngupas kelapa muda maksudnya).

Tapi yang salah adalah ketika seseorang cuma mementingkan formalitas dan mengabaikan substansi.

Kok Formalitas? Bukannya IPK itu artinya bahwa kita sudah belajar sungguh-sungguh?

Iya, memang. Tapi bukan berarti jaminan kalo dia ahli kan? Selain IPK, harus diuji dengan ujian yang lain. Contohnya anak hukum, harus dilihat apakah dia punya skill menganalisis kasus, argumentasi, penelitian dll.

Jika memang nilai adalah segalanya harusnya saya disebut Ahli Matematika sekarang, karena nilai raport matematika saya gak pernah dibawah angka 90.

Tapi saya mahasiswa jurusan hukum, masak iya disebut ahli matematika hanya karena perihal raport?

Tulisan ini bukan untuk menghina siapapun. Tulisan ini hanya bentuk ke prihatinan saya atas Ejakulasi intelektual yang belakangan ini terjadi. Dari puluhan ribu anak hukum masuk per tahun diseluruh universitas di Indonesia hanya sebagian kecil yang bertahan dan mengabdikan ilmunya dibidang hukum. Sisanya? Entah kemana?

Bukan cuma jurusan hukum, jurusan lain pun seperti itu. Kita ini sibuk dicetak sebagai mesin fotokopi, bukan pemikir.

Bahwa kebanggaan tersendiri mendapatkan nilai bagus tanpa tahu substansinya, makanya saya sebut Ejakulasi Intelektual. Puas, tapi sendirian. Gak ada perasaan mencintai orang lain dengan memanfaatkan ilmunya,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun