Mohon tunggu...
Widya Arumsari
Widya Arumsari Mohon Tunggu... Guru - GURU SEJARAH SMA AL ISLAM 1 SURAKARTA

Saya seorang guru sejarah di salah satu SMA swasta di kota Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mengenal Sosok Ki Ageng Selo dan Ajarannya

21 Mei 2024   12:07 Diperbarui: 21 Mei 2024   12:18 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inpuhttps://nasional.okezone.com/read/2409591/kisah-ki-ageng-selo-menangkap-petirt sumber gambar

Profil Ki Ageng Selo

Dalam Babad Tanah Jawa menyebut Ki Ageng Selo adalah keturunan Raja Majapahit terakhir, Prabu Brawijaya V. Ayahnya bernama Ki Ageng Getas Pandowo memiliki tujuh anak antara lain Ki Ageng Selo, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, dan Nyai Ageng Adibaya. Ki Ageng Selo lahir di Kota Gede, Yogyakarta. Ki Ageng Selo juga dikenal dengan nama Ki Ageng Ngabdurrahman. Ki Ageng Sela memiliki nama kecil Bagus Songgom. Ia hidup di masa Kesultanan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad-15 atau awal abad ke-16.

Prabu Brawijaya melalui pernikahannya dengan putri Wandan Kuning melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Bondan Kejawen. Berdasarkan ramalan, Bondan Kejawen disebut-sebut bakal berperan dalam keruntuhan Kerajaan Majapahit. Maka, sang Prabu lantas menitipkannya kepada Ki Ageng Tarub. Oleh Ki Ageng Tarub, nama Bondan Kejawen diganti menjadi Lembu Peteng. Ki Ageng juga mengajari ajaran Islam dan ilmu kesaktian kepada Lembu Peteng. Lembu Peteng lantas dinikahkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih. Setelah pernikahan ini, Ki Ageng Tarub meninggal sehingga Lembu Peteng didaulat menjadi Ki Ageng Tarub II. Lembu Peteng dan Dewi Nawangsih kemudian dikaruniai dua orang putra dan putri yang diberi bernama Ki Ageng Getas Pandawa dan Nyai Ageng Ngerang.

Ki Ageng Sela bertempat tinggal di sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan.Ki Ageng Selo menikahi istri seorang dalang bernama Ki Bicak. Dari pernikahannya tersebut, ia dikaruniai tujuh anak antara lain Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba (Wanasaba), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki -- laki bernama Kyai Ageng Enis.

Ki Ageng Sela pernah ditolak menjadi anggota prajurit tamtama Kesultanan Demak. Karena dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat. Penolakan itu membuat Ki Ageng Sela kecewa. Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannya nanti menjadi seorang pemimpin yang pemberani.

 Ia hidup berprofesi sebagai petani yang gemar memperdalam ilmu agama dan tumbuh sebagai seorang yang religius. Di kemudian hari ia benar-benar menjadi orang yang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal bernama desa Sela. Nama Sela berkaitan dengan keberadaan bukit/gunung berapi, dan merupakan sumber banyak garam dan api abadi yang terdapat dari wilayah Grobogan. Di desa tersebut juga Ki Ageng Sela meninggal dan dimakamkan.

 Dia merupakan sosok guru bagi tiga serangkai Ki Pemanahan, Ki Juru Martani, dan Ki Penjawi. Selain guru bagi ketiganya, Ki Ageng Selo juga guru bagi Mas Karebet alias Jaka Tingkir, alias Sultan Hadiwijaya, sosok pendiri Kesultanan Pajang. 

Kisah Kemampuan Ki Ageng Selo Menaklukan Petir

Ki Ageng Selo gemar bertapa di gua, hutan, dan gunung. Kegiatannya itu ia lakukan sambil menggarap sawah. Kesaktian menangkap petir itu didapati saat ia pergi ke sawah. Saat turun hujan deras, petir pun menyambar di sekitarnya. Namun Ki Ageng Sela tidak menghiraukan hal tersebut. Ia tetap melanjutkan mencangkul di sawah.  Ki Ageng Sela menantang petir yang berusaha mengganggunya untuk menampakkan wujudnya.

Tak lama kemudian petir tersebut berubah menjadi naga dan berubah wujud berkali-kali menjadi makhluk mengerikan. Ki Ageng Sela yang merasa kesal karena dirinya diganggu oleh makhluk tersebut maka terjadi perkelahian antara keduanya diiringi petir yang menggelegar. Pada akhirnya, Ki Ageng Sela berhasil mengalahkan makhluk tersebut dan mengikatnya di sebuah pohon Gandri dan makhluk tersebut berubah menjadi kakek tua.

Ki Ageng Sela pun membawa kakek tua yang terus berubah-ubah wujud tersebut ke Demak untuk dilaporkan kepada sultan. Sang Sultan Demak lantas memasukan si kakek bledheg ke jeruji besi dan diletakkan di tengah alun-alun. Kakek tua itu pun menjadi tontonan banyak orang. Suatu saat datang nenek tua membawa air kendi. datanglah seorang nenek yang menyiramkan air ke tubuh kakek tersebut. Lalu, suara petir menggelegar, mendadak kakek dan nenek tersebut menghilang.

Ornamen Lawang Bledeg

Kemampuan Ki Ageng Selo dalam menangkap petir tersebut diabadikan dalam sebuah ornamen yang dikenal dengan nama Lawang Bledeg. Ornamen tersebut berwujud ukiran pada daun pintu berbahan kayu jati dengan model kupu-kupu, simetri-setangkup, saling berhadapan. Motif utama berupa dua kepala naga dengan mulut menganga dan mata melotot. Motif pendukung berupa dua jambangan, dua mahkota berbentuk stupa, dan motif tumpal. Terdapat pula motif simbol Surya Majapahit yang digubah menjadi mata naga. Motif tumbuhan menjalar (sulur-suluran) menjadi pengisi bidang (isen-isen). Setiap motif tersebut memiliki fungsi simbolis konstitutif yaitu simbol yang terbentuk sebagai kepercayaan dan terkait ajaran agama tertentu. Secara estetis, perwujudan ornamen Lawang Bledheg menunjukkan citra ngrawit, ngremit, dan werit, yang mencerminkan nilai adiluhung. Dalam konteks kesejarahan, ornamen lawang bledheg merupakan prasasti. Secara ikonografis keberadaan motif-motif tradisi seni hias pra-Islam pada ornamen lawang bledheg merupakan pernyataan simbolis tentang toleransi terhadap pluralitas budaya masyarakat yang berkembang pada masa itu. 

Berdasarkan filosofi orang-orang Jawa, lukisan pada Lawang Bledheg itu memiliki makna di dalamnya. Pertama, relief mahkota menggambarkan orang-orang pemerintahan, baik itu, raja, ratu atau sultan yang melakukan kegiatan di Masjid Agung Demak. Kedua, gambar relief naga atau ardawalika diartikan bahwa mitologi Jawa mengakui keberadaan ular naga yang berada pada alam. Tepatnya di lapisan tanah paling bawah yang dikenal dengan sebutan saptapratala. Ardawalika ini memiliki tugas untuk menyangga dan menajga kestabilan dunia agar tidak goncang.Ketiga, ada relief berupa lung atau stilasi menggambarkan kemakmuran. Lalu yang keempat, ada relief berbentuk jamban bunga menggambarkan keharuman. Dalam hal ini, raja, ratu atau pemegang kekuasaan harus dapat mengharumkan nama negara/kerajaan yang dipimpin. Relief kelima berupa tumpal yang berarti kecerdasan dimana dalam filosfi ini bermakna tugas para pemegang kekuasaan untuk mencerdaskan bangsa yang dia pimpin.

Ajaran Ki Ageng Selo

Ajaran Ki Ageng Selo dikenal dengan nama Pepali Ki Ageng Selo. Pepali merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang artinya ajaran, sedangkan Ki Ageng Selo merupakan nama dari pencipta Pepali.  Perpaduan antara tasawuf akhlaki dan tasawuf falsafi yaitu Ki Ageng Selo menekankan tentang perilaku manusia. Bagaimana manusia dalam hidup dalam perilaku yang baik agar dapat memperoleh kebaikan baik jiwa maupun raga yang akan mengantarkannya kepada pengetahuan sejati tentang Tuhan.

Pepali Ki Ageng Selo merupakan ajaran lisan yang ditulis dan dikumpulkan oleh murid-muridnya dengan menggunakan bahasa dan tulisan Jawa dalam bentuk tembang macapat. Tembang macapat yang terdapat dalam Pepali yaitu tembang Asmaradhana dan Mijil. Kedua tembang tersebut menjelaskan tentang ilmu yang digunakan untuk mengetahui dan mendekatkan diri pada Tuhan, yaitu Ilmu syariat, tarekat dan hakikat dan ilmu makrifat.

Pepali mengajarkan tentang kesusilaan, kebatinan dan keagamaan bagi keturunanannya dan masyarakat pada umumnya. Filsafat hidup Ki Ageng Selo sebagaimana filsafat hidup Walisongo merupakan ajaran dengan unsur-unsur Islam yang di dalamnya terdapat nilai-nilai tasawuf. Ajaran Ki Ageng Selo berorientasi pada kebudayaan lokal yang menjunjung tinggi kearifan tradisi masyarakat. Ajarannya menitikberatkan pada tata kehidupan mulia di tengah masyarakat Jawa yang berorientasi pada kebahagiaan Tuhan yang Maha Esa pada iri manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun