Mohon tunggu...
Widya Apsari
Widya Apsari Mohon Tunggu... Dokter - Dokter gigi, pecinta seni, pemerhati netizen

menulis hanya jika mood

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Refleksi 13 Tahun Saya sebagai Dokter Gigi (Part 3A)

15 Oktober 2022   05:28 Diperbarui: 15 Maret 2024   07:22 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebelum saya bercerita mengenai kejadian juli 2022, banyak kejadian pada pasien yang membuat saya merasa ini pekerjaan yang sulit dan jika pekerjaan ini saya lakukan pada saat saya masih dokter gigi umum pasti tidak tau gimana cara menghadapinya. 

Saya akan sedikit berbagai 2 pengalaman saya yang masih saya sangat ingat.

-------------

Pertama, satu waktu pasien saya adalah pasien leukemia, dengan trombosit di bawah 20 ribu, saya melihat adanya gigi yang berlubang pada gigi bungsu kanan dan kiri bawahnya, pikir saya pada saat itu, toh saya mau nambel ini, gak mau cabut juga, udah lah kerjain aja cabutnya. 

Dan apa yang terjadi, saya lupa mempertimbangkan akses masuknya bur, bagaimana saya dapat menjangkau gigi bungsu bawah tanpa melukai kulit di pipi pasien. Dan benar saja, bur saya menyenggol pipi dalam pasien dan pendarahan itu terjadi. saya panik dan dalam kepanikan itu saya memberikan obat berupa vasokonstriktor (menyempitkan pembuluh darah pada area yang terkena cairan tersebut), dengan tujuan awalnya adalah untuk menghentikan pendarahannya. 

------------

Jadi cairan vasokonstrikor ini sifatnya menyempitkan pembuluh darah seperti membakar jaringan, sehingga pembuluh darah menjadi mengecil, sehingga pendarahan berhenti.

------------

Darah memang sukses berhenti, dan gigi pasien sukses saya tambal. Namun ada 1 hal yang saya lupakan. Ini pasien leukemia, bukan pasien sehat.

Alhasil 1 hari setelah saya tambal gigi, daerah kulit pipi dalam yang saya olesi cairan vasokonstriktor menjadi bengkak, muncul luka sariawan, dan pasien sampai tidak bisa membuka mulutnya lebar. 

Saya betul-betul lupa bahwa pasien leukemia itu kalau ada luka, sulit untuk sembuh, saya berikan cairan vasokonstriktor, yang mana itu sifatnya membakar jaringan, sehingga ya luka akibat terkena bur yang sebetulnya kecil, jadi sangat besar karena saya tambahin luka dengan berikan cairan vasokonstriktor ini. 

Sejak saat itu saya belajar bahwa jangan pernah menyepelekan tindakan gigi apapun, mau itu cabut, tambal, skeling atau pembersihan karang gigi bukan hal yang sepele, dan bagaimana kondisi sistemik pasien tetap menjadi hal yang memang harus saya perhatikan sebelum melakukan tindakan gigi apapun.

------------

Saya juga pernah ada di posisi menyepelekan kondisi gigi, dan saya percaya 100% terhadap pandangan mata saya. Sampai ada berhadapan dengan kasus, pasien laki-laki dengan leukemia, seperti biasa saya melakukan evaluasi kondisi gigi, disitu saya ingat betul ada gigi dengan tambalan yang sangat besar, saya bertanya ke pasiennya ada keluhan atau tidak dengan gigi tersebut? Lalu pasiennya menjawab, tidak ada, dan saya meng-acc-kan untuk lanjut kemoterapi agresifnya. 

Gigi 36, gigi geraham bawah kiri, sampai saat ini saya masih ingat tampilan giginya, wajah pasiennya, dan kondisi terakhir pasien sebelum menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. 

Memang tambalan sangat besar, di oklusal gigi (atau di area permukaan kunyah), tambalan dalam kondisi bagus, saya ketok giginya, pasien tidak ada keluhan apapun.

Dan tau apa yang terjadi?

Seselesainya kemoterapi, dimana terjadi masa aplasi, yaitu saat dimana sel darah pasien berada di titik terendahnya, pasien muncul nyeri pada area rahang  kiri, disusul pembengkakan pada arena wajah kiri, sampai ke mata. Saya bingung. 

Sampai saya inget, kasus pasien ini pernah sampai dibahas di rapat timja (tim kerja), semacam rapat yang dihadiri berbagai macam dokter spesialis untuk membahas kasus pasien. 

Dan di rapat itu diputuskan akan dilakukan CT Scan pada area mulut dan leher.

Hasilnya?  pembengkakan wajah ini adalah NANAH.

Saya kemudian teringat tentang gigi dengan tambalan besar itu. 

Kemudian saya menghadap ke dokter hematologi onkologinya  dan meminta ijin untuk mencabut gigi tersebut. 

itu persiapan untuk cabut giginya seingat saya sangat repot, dengan koreksi trimbosit, hemoglobin, dan lain-lain. ternyata memang melakukan tindakan gigi pasca kemoterapi agresif itu lebih sulit dibandingkan sebelum pasien menjalani kemoterapi agresif.

Singkat cerita, gigi dengan tambalan besar tersebut berhasil saya cabut, 1 hari kemudian saya visit, dan pembengkakan pada wajah sudah hilang, dengan luka pencabutan yang juga menutup. 

ALHAMDULILLAH, dalam hati. 

Sampai satu hari, mungkin selang 2 minggu setelah saya mencabut giginya, saya kembali dikonsulkan dengan adanya luka pada area pipi pasien. Pasiennya bercerita bahwa dia makan buah naga, lalu buah naganya keluar ke pipi. 

Bisa dibayangkan muka saya saat itu!!!!

Saya menyentuh area bawah dagu kiri, dan dari situ keluar buah naga. mau pingsan rasanya. luka bekas cabut gigi saya sembuh bagus, lukanya nutup kok, ini bagaimana buah naga ini bisa muncul ke pipi!!!!

Singkat cerita saya memanggil teman saya, seorang dokter THT, dan  ternyata terjadi lubang dari area tonsil kiri, ya daerah kiri, arena di mana gigi malapetaka itu tadinya berada. 

Kemungkinan besar infeksi dari gigi ini sudah membuat kerusakan sampai ke area tonsil dan walaupun giginya sudah saya cabut, proses kerusakan jaringan akibat infeksi ini terus berjalan lalu terjadilah lubang pada tonsil yang menembus ke pipi. 

Langsung teman saya yang dokter spesialis THT memasangkan sonde atau NGT ke hidung pasien sebagai selang makan, dan tidak boleh makan lewat mulut untuk sementara waktu sampai lubang pada tonsilnya menutup.

Saya tidak bisa berkata-kata, bagaimana mungkin masalah gigi bisa jadi masalah seserius ini.

Ini betul-betul menjadi pelajaran untuk saya. Dan menampar saya. Bahwa perkara eliminasi fokus infeksi ini bukan pekerjaan mudah.

Ingin saya kembali ke masa lalu, lalu saya tampar diri saya yang dulu yang menyepelekan dengan "kerjaan hari-harinya cuman eliminasi fokus infeksi".

-------------------

Sejak kejadian itu, dan banyak kejadian pasien lain yang membuat saya mulai merasa memahami bagaimana saya harus berkerja di RS Kanker ini, mulai memahami setiap karakteristik kanker, dan bagaimana saya menyesuaikan ke perawatan giginya, perawatan gigi pada pasien dengan kanker payudara,yang tentu berbeda dengan kanker nasofaring, dan juga berbeda untuk kanker darah. Saya berusaha membaca buku dan jurnal yang terkait dengan "dental and oral management in cancer patients".

-------------------

Jujur, rentan waktu tahun 2019-2022, itu saya mulai sombong. Merasa saya sudah paling tahu. Sampai di bulan Juli 2022 berbagai kejadian bertubi-tubi menimpa saya. 

------------------

Awal saya berjuang dengan rasa tidak berharga, tidak berguna, dan tidak berdaya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun