Mohon tunggu...
Widya Apsari
Widya Apsari Mohon Tunggu... Dokter - Dokter gigi, pecinta seni, pemerhati netizen

menulis hanya jika mood

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Refleksi 13 Tahun Saya sebagai Dokter Gigi (Part 1)

14 Oktober 2022   17:22 Diperbarui: 15 Maret 2024   06:33 2135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak menyangka pekerjaan saya sebagai dokter gigi ternyata dapat mengaduk-ngaduk perasaan saya.

Sekarang saya sedang sedih. sehingga untuk menyalurkan kesedihan saya akhirnya saya menulis ini. 

***

Ketika saya baru lulus menjadi dokter gigi, saya membayangkan diri saya praktek di klinik gigi bonafit, dengan pasien yang cantik dan ganteng, bersih, wangi, sehat, namun dengan permasalahan gigi, kemudian saya hadir memperbaiki giginya, lalu pasien tersenyum puas karena giginya berhasil saya perbaiki.

Saya membayangkan saya menjadi dokter gigi "cantik" dengan baju yang rapih, dengan rambut tertata rapi dengan sepatu high heels.

Dan saya berpikir saya setelah menjadi dokter gigi akan menjadi dokter "kaya", seperti kata ibu saya dulu, "Tuh dokter giginya ibu waktu dulu, rumahnya besar, mobilnya banyak, pasiennya banyak, antreee" 

 Yap! Menjadi dokter gigi yang "cantik", "rapi" dan "banyak uang" adalah harapan saya dengan menjadi dokter gigi. 

Satu bulan setelah sumpah dokter gigi, ada lowongan menjadi dokter gigi PTT dari Kemenkes, saya mendaftar dan diterima.

Lalu selang 3 bulan setelah saya sumpah dokter gigi, saya berangkat ke Pulau Nias.

Saya tahu menjadi dokter gigi PTT jauh dari impian saya, tapi ini adalah demi saya mendapat surat yang saya pikir adalah surat sakti untuk berkerja sebagai dokter gigi di tempat praktek yang bonafit, yaitu Surat Keterangan Selesai Masa Bakti. 

Saya menjadi dokter gigi PTT di Nias Utara selama 1 tahun, dan menjadi dokter gigi di daerah terpencil. Di mana pada saat itu, tahun 2009, listrik masih on-off, 3 hari listrik nyala, dan 3 hari listrik mati, tinggal di rumah dinas sendirian, yang mana sumber airnya berasal dari mata air yang dialiri ke rumah dengan menggunakan selang. Jauh dari kata dokter gigi "cantik", tapi demi sepucuk surat!

Seselesainya masa bakti saya menjadi dokter PTT, saya pikir saya akan mendapat tempat praktek yang "bonafit" seperti impian saya sewaktu lulus kuliah. namun itu tidak pernah terjadi, ha-ha-ha.

Sepanjang karir saya sebagai dokter gigi umum, praktek saya di klinik pribadi senior saya, di RS kecil di pinggiran Kabupaten Tangerang, yang pada tahun 2010, cabut gigi anak-anak masih 50 ribu.

Penghasilan pertama saya sebagai dokter gigi adalah tiga ratus ribu rupiah. Saya menjalani ini selama 1 tahun, dan saya masih terus berhadap suatu saat saya dapat bekerja di tempat "cantik" dan bikin saya "banyak uang".

Selama 1 tahun praktik sebagai dokter gigi, saya mengikutin berbagai kursus agar dapat bekerja di tempat praktek bonafit, kursus orthodontik (behel), kurus tambal gigi estetik, kursus pembuatan gigi palsu, dan berbagai kursus demi saya dapat praktek di tempat klinik yang bonafit. Tentu saja ini semua bisa saya lakukan karena faktor masih tinggal sama orangtua.

Tapi lagi-lagi praktik di klinik gigi bonafit itu tidak pernah terjadi, membuat saya sedikit frustasi lalu saya memutuskan untuk sekolah mengambil spesialis.

Saya memilih cabang spesialis kedokteran gigi yang jauh dari kata "cantik", dan sama sekali bukan "lahan basah",  yaitu spesialis penyakit mulut. Spesialis yang jumlahnya di Indonesia, di tahun 2011 itu, tahun dimana saya memutuskan sekolah, tidak lebih dari 100 orang se-Indonesia. Harapan menjadi SDM langka yang dicari orang, sehingga nantinya klinik dan RS akan berlomba-lomba mengrekut saya. 

***

Selain alasan itu ada satu kejadian semasa saya di Nias, yang menjadi awal keputusan saya mengambil spesialis penyakit mulut.

Adalah kasus pasien kakek-kakek dengan massa pada gusi, cukup besar, seingat saya sebesar jempol orang dewasa, memiliki keluhan gigi yang goyang-goyang dan membuat beliau tidak bisa makan dengan nyaman. 

Saya tahu di situ ada massa, kalau saya ingat-ingat sekarang mungkin itu kanker pada gusi. Namun ya namanya juga dokter gigi baru lulus ya, saya ambil pinset lalu saya ambil giginya.

Ya, semudah itu saya cabut gigi pasien kakek-kakek ini. Saya ambil giginya pun si kakek tidak berasa apa-apa walaupun tanpa bius.

Satu minggu setelah saya cabut giginya,  si kakek ini meninggal, dan gosip yang beredar karena saya cabut giginya..

Besar kemungkinan memang benar si kakek ini memiliki kanker di gusinya, dan besar kemungkinan juga ketika datang ke saya, kanker sudah menyebar kemana-mana, jadi sebetulnya bukan karena saya cabut giginya juga si kakek meninggal, tapi itulah menurut warga sekitar puskes. 

Alhasil 2 bulan sebelum saya menyelesaikan masa bakti saya sebagai dokter gigi PTT, tidak ada pasien yang datang berobat ke saya sama sekali.

***

Selama saya menjalani pendidikan spesialis, saya terus dengan pikiran saya bahwa dengan saya menjadi sekolah spesialis penyakit mulut, dimana lulusannya masih sedikit, saya memiliki kesempatan untuk memiliki pasien banyak, karena dokter gigi spesialis penyakit mulut adalah SDM langka! Pikir saya waktu itu. Jadi cita-cita saya menjadi dokter gigi kaya bisa tercapai.. 

Tiga tahun saya menempuh studi spesialis penyakit mulut, sambil masih praktik setiap malam di RS kecil dan praktik pribadi, saya berharap setelah saya lulus saya akan lepas dari tempat praktik ini dan praktik di tempat bonafit. 

Lalu setelah saya lulus spesialis, tahun 2014, saya diterima di salah satu RSUD di Jakarta Selatan. Saya bangga luar biasa, benar dugaan saya, bahwa dengan menjadi spesialis penyakit mulut saya mudah mendapat pekerjaan, bisa masuk RSUD.

Pada saat itu RSUD tersebut masih dalam pembangunan, dan saya dijanjikan akan mulai kerja tahun 2015 setelah gedung RSUD jadi. Mereka menawarkan saya take home pay sepuluh juta rupiah. Uang yang menurut saya sangat besar (secara praktek di 3 tempat itu paling-paling cuman dapat dua hingga empat juta rupiah).

Sambil menunggu 1 tahun itu, saya join bareng 2 teman kuliah saya untuk membuat klinik dokter gigi bersama bernama Difa Oral Health Center (Difa OHC).

Klinik gigi saya ini memang pada awalnya dirancang bonafit, namun namanya juga usaha yang mulai dari 0 tentu tidak bisa membuat saya "kaya". 

Namun Difa OHC ini yang membuat saya gak melulu mikir uang dan kaya, tapi jadi jadi idealis, dan juga penuh dengan kebanggaan sebagai seorang spesialis penyakit mulut

***

Tahun 2015 akhirnya tiba, dan saya dipanggil untuk orientasi RS. Namun apa yang terjadi setelah itu?

1 hari setelah orientasi saya didepak! Kata SDM RSUD, tidak butuh spesialis penyakit mulut.

Kebanggaan saya sebagai spesialis penyakit mulut runtuh seketika, hancur bekeping-keping. Saya merasa pendidikan yang saya jalani selama 3 tahun menjadi tidak ada harganya. Saya yang dulu memutuskan mengambil spesialis penyakit mulut karena SDM langka, menjadi SDM tidak berguna di RSUD. 

***

Saya sebel si, sebel banget, tapi ya tidak berlama-lama juga karena saya memiliki kesibukan di DIFA OHC.

Dengan penuh idealis saya membuat DIFA OHC, walaupun banyak pasang surutnya, sampai 2022 ini Difa OHC masih terus eksis, walaupun pada akhirnya ga jadi klinik gigi yang bonafit, dan tidak membuat saya kaya juga, tapi saya bangga bisa menjadi sumber rezeki untuk pegawai dan juga dokter yang berpraktek.  

Lanjut cerita tentang saya, setelah 1 tahun full ngurusin Difa OHC, akhirnya ada lowongan pekerjaan dokter gigi spesialis penyakit mulut di rumah sakit kanker di daerah Jakarta Barat, saya pun mengajukan lamaran.

Saya yang dengan luka pengalaman terluka dan merasa tidak berharga sejak ditolak RSUD, saya tidak punya ekspektasi apapun, Saya bahkan sudah tidak berani bermimpi, berharap, dan sudah hilang kesombongan saya sebagai dokter gigi spesiali penyakit mulut. 

Setelah proses selama 6 bulan, dengan segala tes dari psikotes, wawancara, sampai tes kesehatan, akhirnya September 2016 saya mulai bekerja di RS Kanker Dharmais.

Bagaimana dengan salary?

Sudah tidak saya pikirkan, yang jelas jauh dari 10 juta. Tapi ya ngga masalah. Sudah ada yang mengatur rezeki kita.

***

Di sini perjalanan hidup saya sebagai dokter gigi baru dimulai, ternyata memang sekolah hanyalah awal, dan proses belajar terus berlanjut selamanya, dan memang seperti kata pepatah: Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin menunduk.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun