Mohon tunggu...
Widuri Melati
Widuri Melati Mohon Tunggu... Penulis - BMI

Widuri Melati Penulis Cerpen Perawat Lansia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka Itu Masih Ada di Tubuhku

8 Maret 2020   22:47 Diperbarui: 8 Maret 2020   23:02 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

Tak ada lampu malam ini, aku membiarkan kamarku gelap gulita tanpa nyala warna. Mataku terus berkedip, menahan amarah yang sudah mengikat leherku, dan padam di kelopak mataku. Aku masih belum sanggup meluapkan kekecewaan ini kepada siapapun, tapi aku pun benci membiarkan dia meracuni kepalaku sepanjang hidup, atau menjadi akar yang siap mengikat kokoh pertahanan ini. 

Apa kamu ingat bagaimana rasa sakit itu begitu hebat menindih tubuh mungil mu? Kamu masih ingat wajah bajingan itu menikmati kehancuran hidup mu? Kamu, itu aku. Sebuah adegan dalam film yang mempertontonkan seorang anak yang ditindih ayah kandungnya sendiri, seorang anak yang pada akhirnya menjadi perempuan yang tumbuh tanpa perasaan, dan perempuan yang memadamkan sorot matanya karena trauma. 

"Diam, Nak. Ayah akan mengajarimu sesuatu!" bisik bajingan itu ke telingaku, sambil membekap mulut kecilku yang tak sanggup mengartikan ini apa. 

Mataku nanar, dadaku semakin melaju tak tentu. Kebencian ini menjadi benar-benar kutukan di dalam hidupku. Sialnya aku harus terus mengingat semua ini, bahkan sampai aku telah bersuami. 

"Ayah! Sakit!" 

Tapi ucapku hanya ucap seorang bocah, bocah yang tengah belajar dari sang ayah bagaiman menindih dengan benar. 

Inilah enam tahun ku berlalu menjadi anak yang berbakti untuk ayah ku, enam tahun hidup dalam Kungkungan yang tak siapa pun tahu bagaimana telah porandanya tubuhku. Setiap malam, setiap sepi, setiap kali ibu pergi. Ayah begitu menyukai ku untuk bermain menindih kembali, dan lagi. 

Ku lemparkan ludah ke atas celana milik ayah, menginjak atau bahkan membuangnya masuk ke dalam saluran air yang hitam dan bau busik. Mungkin jika aku sanggup aku ingin bukan celana dia yang sanggup ku ludah'i, wajahnya, atau seluruh tubuhnya. 

"Kenapa Tuhan tak membiarkan ia cepat mati?" aku berkata di dalam gelap gulita.

   Suamiku tak pernah tahu beban trauma ini, beban bagaiman istrinya pernah menjadi budak nafsu ayah, mertua dia yang begitu dia segani. Aku bahkan tak ingin dia mengerti, bahkan istrinya yang saban hari ia tiduri ini bekas mertuanya sendiri. 

Di malam-malam yang sepi, aku terus merasa bersalah dengan suami ku, meskipun ini bukan semua kesalahan ku. Tapi sayangnya aku terjebak dalam dunia penuh amarah, aku sering kali berteriak atau memaki suamiku dengan kalimat-kalimat kotor. 

"Bajingan, heh! Kamu itu sama saja kaya ayah bajingan!" 

Suamiku tetap tenang, tanpa paham beban apa yang terjadi pada sang istri. 

"Kalian makhluk laki-laki hanya mau meniduri, semua perempuan di tiduri. Tapi kalian itu bajingan!" 

Aku sadar kalimat-kalimat ini sangat menyakiti suamiku, terlebih dia adalah suami yang sangat bertanggung jawab. Aku sempat dinyatakan tidak waras, dibawa oleh suamiku ke rumah sakit jiwa. Sebelum pada akhirnya dia membawaku pulang kembali dan merawat aku dengan sangat sabar. 

Iya, di dalam kamar tanpa cahaya ini sengaja kami tidur berdua. Tanpa suara apapun, dan pasrah merebah. 

"Mas, luka itu masih ada di tubuhku!" ucapku membuka suasana. 

Aku mendengar suamiku menarik nafas panjang, dan dalam. 

"Katakan saja sayang ku!" balas suamiku. 

"Di atas ranjang kita ini, di atas seluruh perasaan yang tertahan tenggorokan. Aku ingin kamu tetap tenang saat bibirku menceritakan segalanya!" 

"Malam itu, ayah kenindih'i tubuh ku berkali-kali. Satu hari, satu Minggu, satu Bulan, dan enam tahun lamanya!" 

Suamiku menggenggam erat tanganku dari balik selimut. 

"Tubuhku masih begitu setia menyimpan luka, trauma dan kebencian yang telah menjadi-jadi. Aku menjadi begitu dingin dengan makhluk sejenis kalian, itu bukan karena aku gila, bukan karena aku tak waras. Tetapi karena bayangan itu merogoh seluruhnya yang aku miliki di dalam tubuh ini!" aku tak tahan membuncah kan air mata. 

"Jika kalian adalah makhluk yang melindungi, kenapa aku kalian hancurkan tanpa membiarkan aku tumbuh dewasa?" 

"Kenapa?" kata terakhir yang keluar dari mulutku dengan sangat penuh beban.

"Maafkan aku, Sayang. Maafkan suamimu yang pernah menganggap mu gila. Maaf kan suamimu yang tak begitu paham beban di tubuhmu. Tapi percayalah ini akan menjadi awal dan akhir kamu merasakan dunia ini tak pernah adil. 

Dia memeluk tubuhku hangat, dan aku lega. Dan ayah, aku tak ingin lagi menatap wajahnya, meski saban hari dia menelepon suamiku untuk menyuruh aku pulang dan menengok keadaannya di rumah. 

Kalian tahu para wanita, kadang untuk melawat trauma itu butuh waktu yang lama, atau bahkan kita perlu melewati fase-fase setengah gila. Tapi aku percaya; semesta tak pernah menutup mata atas apa yang telah manusia buat di atas tanah milik-Nya. 

Taipei, 08 Maret 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun