Suamiku menggenggam erat tanganku dari balik selimut.Â
"Tubuhku masih begitu setia menyimpan luka, trauma dan kebencian yang telah menjadi-jadi. Aku menjadi begitu dingin dengan makhluk sejenis kalian, itu bukan karena aku gila, bukan karena aku tak waras. Tetapi karena bayangan itu merogoh seluruhnya yang aku miliki di dalam tubuh ini!" aku tak tahan membuncah kan air mata.Â
"Jika kalian adalah makhluk yang melindungi, kenapa aku kalian hancurkan tanpa membiarkan aku tumbuh dewasa?"Â
"Kenapa?" kata terakhir yang keluar dari mulutku dengan sangat penuh beban.
"Maafkan aku, Sayang. Maafkan suamimu yang pernah menganggap mu gila. Maaf kan suamimu yang tak begitu paham beban di tubuhmu. Tapi percayalah ini akan menjadi awal dan akhir kamu merasakan dunia ini tak pernah adil.Â
Dia memeluk tubuhku hangat, dan aku lega. Dan ayah, aku tak ingin lagi menatap wajahnya, meski saban hari dia menelepon suamiku untuk menyuruh aku pulang dan menengok keadaannya di rumah.Â
Kalian tahu para wanita, kadang untuk melawat trauma itu butuh waktu yang lama, atau bahkan kita perlu melewati fase-fase setengah gila. Tapi aku percaya; semesta tak pernah menutup mata atas apa yang telah manusia buat di atas tanah milik-Nya.Â
Taipei, 08 Maret 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H