"Anak ibu lagi jatuh cinta toh!" ledek ibuku.
"Bu! Boleh nggak?" aku kembali bertanya.Â
"Memang hubungan itu ya harus setia, Nak. Makanya ibu nggak mau menikah lagi, dasar utamanya karena setia."Â
"Tapi, kalau dia tidak pasti?" aku bertanya lagi.Â
"Lepas!" ibu menjawab singkat.Â
Aku melirik jam dinding, waktu sudah menunjukan pukul 17:00 WIB. Biasanya jam segini dia menghubungi aku. Sayang, mulut laki-laki memang persis kapas yang tercelup air. Berat, tapi merembes. Apa yang mau dan bisa disaring, janji-janjinya saja bak badan belut licin.Â
"Kenapa laki-laki itu pandai berjanji, pandai pula mengingkari, Bu?"Â
Ibu tersenyum, membelai rambut panjangku.
"Nak, tidak semua laki-laki itu sama. Bahkan terkadang laki-laki pun adalah korban."
"Korban apa, Bu?"Â
"Kadang mereka pun adalah korban janji dari para perempuan. Hanya bedanya sebangsa kaum mereka itu lebih suka diam. Lain dengan perempuan!" Ibu menjelaskan padaku dengan tersenyum.