Mohon tunggu...
Widuri Melati
Widuri Melati Mohon Tunggu... Penulis - BMI

Widuri Melati Penulis Cerpen Perawat Lansia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibuku Bukan Monster

1 Mei 2019   11:17 Diperbarui: 1 Mei 2019   13:36 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Widuri Melati

Yang paling sempurna dalam hidup ini adalah ketika kita tak membutuhkan apapun, selain tersenyum. Sayangnya sering kali kita berkata kurang, sehingga untuk bisa sedikit tersenyum pun rasanya enggan sama sekali. 

Usiaku kini menginjak 26 tahun, usia yang lumayan setengah tua, dan harusnya lebih mantap untuk segera menikah. Tapi sayangnya tidak dengan pikiran ku saat ini. Kecewa yang berkali-kali sering dialami membuat imajinasi tentang menikah itu lenyap. Apa sih menikah itu? Untuk apa? Hanya agar populasi manusia di dunia ini tidak akan habis? Atau mungkin cuma untuk terus berkembang biak saja. Mungkin kurang lebihnya begitu.

Seseorang sering menasehati tentang bab menikah, mencintai dengan sederhana, atau apalah itu aku tak ingin mendengar panjang lebar nasehat seseorang yang belum pernah mengalami banyak masalah dalam hidupnya.

Iya, ibu bercerai. Saat usiaku masih satu bulan. Lalu menikah lagi saat aku duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar. Lalu bercerai saat aku berumur 21 tahun. Dan menikah lagi saat aku berusia 23 tahun, dengan menjadi istri simpanan. Lalu berpisah lagi dan pada saat usiaku menginjak 24 tahun ibu menikah lagi, dengan laki-laki yang menurutku tak lebih dari sampah hidup. Lalu apa yang mau dicontoh dari sebuah pernikahan yang ku saksikan sendiri sejak dini? Menikah bagiku nampak seperti sebuah permainan, asal tak menjadi haram, menikah bisa dilakukan sesuka hati. 

"Nggak semua laki-laki sama, Nur!" 

Budhe sering menasehati aku seperti itu, tapi kembali lagi. Aku tidak ingin hidup dengan laki-laki yang cintanya tak akan pernah pasti. Sebentar datang, lalu lain hari pergi dengan wanita pengganti. 

"Budhe, yang sudah-sudah kan begitu. Aku nggak mau nasib aku nanti kaya ibu!" 

Budhe mengelus kepalaku lembut, hanya dengan Budhe saja aku bisa bercerita segalanya, namun tak pernah sedikit pun aku bisa bercerita atau bermanja-manja dengan ibu. Dia selalu fokus dengan dunianya, dunia bersama banyak laki-laki. 

Sering sekali di dalam dadaku tumbuh benci, atau sering sekali di dalam dada ini ada gerutu yang perih. Apa gunanya aku dilahirkan ke dunia ini, jika untuk mendengar atau merasakan lembut tangan seorang perempuan yang melahiran kan aku, justru tak sanggup.

Pernah waktu itu aku bertengkar hebat dengan ibu, hanya karena masalah sepele ibu tega menampar keras wajahku. Saat itu juga hatiku sakit, aku tak mengerti aak siapa aku ini? 

"Sebenarnya aku ini anak siapa, Bu?" teriak aku keras di ruang tamu. 

"Ibu menyesal melahirkan kamu, Nur. Tahu gitu dari dulu kamu ibu bunuh!"

Mendengar itu hatiku hancur, bahkan ucapan itu masih terus terngiang-ngiang di telingaku. Sampai saat ini usiaku sudah 26 tahun, kejadian dan teriakan ibu terus menjadi bayang-bayang mengerikan.

"Bu, dulu ada sepasang suami dan istri datang ingin memungut aku. Kenapa ibu tahan? Kenapa ibu nggak berikan saja! Kanapa, Bu? 

Ibu langsung menyeret tanganku, menarik masuk ke kamar lalu memukul pundakku dengan gagang sapu yang berbentuk kayu panjang. Sedang dia ayah tiriku hanya diam, seperti menikmati tontonan yang seru. Aku menangis meraung-raung, namun ibu seperti menikmati setan yang terus berbisik untuk menarik rambut panjang ku juga. 

"Ibu benci dengan bapak kamu, ibu benci setiap melihat wajah kamu ibu melihat wajah bapak kamu yang senang melacur!" 

Ibu terus berteriak-teriak, sedang tangannya menghantam pundakku berkali-kali. 

***

Selama dua tahun aku hidup dengan ibu, selama itu pula aku menikmati penyiksaan demi penyiksaan. Dari pukulan balok, dijambak, atau bahkan di kurung dalam kamar tanpa makan sedikitpun. Badanku kurus, bibirku pucat, mataku melingkar biru. Aku tak pernah berani meminta makanan pada siapapun, termasuk Nenek. Aku ketakutan, aku dalam trauma batin yang gelap. 

"Nek, aku lapar!" tangis ku di dalam kamar.

Saat itu di tengah malam sepi, saat ibu tertidur pulas di kamarnya, aku berjalan pelan ke dapur. Mencari sedikit makanan untuk mengganjal perutku yang sudah lapar tak tertahan. Iya, aku ingat sekali ada nasi sisa yang sudah setengah basi, yang sudah sedikit keras di dalam tumpukan cucian piring kotor. Lapar di perutku sudah tak tertahan aku ambil dan ditaburkan sedikit garam, aku memakannya dengan berlinang air mata. 

"Ya Allah, sadar kan ibu aku!" 

Sambil terus mengunyah nasi basi, di tengah linangan air mata perih aku merajuk pada Allah. 

Tepatnya pada saat Idul Fitri, aku kabur dari rumah. Melintasi jalanan setapak pesawahan, aku berjalan dengan tersedu-sedu menuju rumah Budhe. Sampai di rumah Budhe ia menangis, melihat tangan dan wajahku biru dengan bekas pukulan. 

"Ya Allah, Nur. Terbuat dari apa hati ibu kamu?" 

Budhe memeluk tubuh kecilku, menangis mengelap seluruh luka lebam dalam tubuh ku. Tidak berapa lama Kakek dan Nenek pun datang, mereka ikut menangis meraung-raung. Mengutuk setiap perbuatan yang telah ibu lakukan. 

"Nur! Nur!" panggil seorang perempuan dari luar rumah. 

"Budhe, itu ibu. Nur takut, Budhe!" 

Aku ketakutan dan terus memeluk tubuh Budhe. 

Kakek dan Nenek langsung keluar rumah, menemui ibu yang berteriak-teriak memanggil namaku. 

"PPPLAAKK!" Kakek menampar pipi ibu ku.

"Mau jadi orang tua seperti apa kamu, dia anak kamu. Bukan binatang!" 

"Karena dia anak aku, makanya aku bebas berbuat apapun." ibu menjawab dengan suara keras. 

"Sudah pergi sana!" Kakek mengusir ibu.

"Aku mau bawa anak nggak berguna itu, biar suruh mati saja!" 

Di dalam rumah aku hanya menangis, memeluk Budhe kuat-kuat. Terus ku ucap permohonan agar tidak membiarkan ibu membawa aku lagi. 

Kenapa pernikahan justru menghancurkan mental seseorang, kenapa pernikahan dan perpisahan hanya menjadi bahan jalan penyiksaan untuk seorang anak yang tak paham apapun. Demi Allah aku tak ingin menikah, aku tak mau menikah dan merasakan tekanan buruk dari sebuah perceraian. 

"Nur, kamu kok melamun!" panggil Budhe padaku. 

Kembali kutarik kuat-kuat napas ini, seraya menghapus basah di pipi agar Budhe tak melihatnya. Kenangan buruk itu selalu saja hadir; kadang tiba-tiba saja muncul, lalu terekam jelas setiap siksa yang pernah dirasakan. Iya, trauma itu lah yang sampai saat ini membuat aku enggan percaya pada pernikahan.

"Budhe, aku kangen ibu!" berkata sambil berpindah posisi duduk.

"Sudah, jangan bahas dia!" jawab Budhe masih dengan rasa kecewa. 

"Sudah berapa tahu aku tak pernah menjumpainya, apa dia sehat, atau mungkin dia lagi butuh aku!" 

"Nur, orang tua seperti dia nggak perlu dipikirkan. Toh dia pasti bahagia dengan banyak laki-laki!" sahut Budhe jengkel.

Ku pandangi daun pepohonan yang bergoyang-goyang tertiup angin. Iya, dia orang tua yang jahat, untuk apa aku harus peduli dengan keadaannya. Namun dia tetaplah seorang perempuan yang mempertaruhkan nyawanya demi membiarkan aku hidup di dunia ini. Sakit hati dan kebencian ini sampai kapanpun tidak akan pernah usai, selama aku tak pernah berusaha memperbaiki hubungan dengannya. 

Aku yakin dengan kasih sayang, ibu akan kembali luluh dan menjadi seorang ibu yang menyayangi anak-anaknya. Hanya butuh kesabaran, dan keikhlasan. Ibu bukan monster yang mengerikan, hanya saja tekanan batin yang dia alami semasa menikah justru menjadi trauma yang berakibat kekerasan. 

Bu, pulang lah.

Indramayu, 01 Mei 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun