"Karena dia anak aku, makanya aku bebas berbuat apapun." ibu menjawab dengan suara keras.Â
"Sudah pergi sana!" Kakek mengusir ibu.
"Aku mau bawa anak nggak berguna itu, biar suruh mati saja!"Â
Di dalam rumah aku hanya menangis, memeluk Budhe kuat-kuat. Terus ku ucap permohonan agar tidak membiarkan ibu membawa aku lagi.Â
Kenapa pernikahan justru menghancurkan mental seseorang, kenapa pernikahan dan perpisahan hanya menjadi bahan jalan penyiksaan untuk seorang anak yang tak paham apapun. Demi Allah aku tak ingin menikah, aku tak mau menikah dan merasakan tekanan buruk dari sebuah perceraian.Â
"Nur, kamu kok melamun!" panggil Budhe padaku.Â
Kembali kutarik kuat-kuat napas ini, seraya menghapus basah di pipi agar Budhe tak melihatnya. Kenangan buruk itu selalu saja hadir; kadang tiba-tiba saja muncul, lalu terekam jelas setiap siksa yang pernah dirasakan. Iya, trauma itu lah yang sampai saat ini membuat aku enggan percaya pada pernikahan.
"Budhe, aku kangen ibu!" berkata sambil berpindah posisi duduk.
"Sudah, jangan bahas dia!" jawab Budhe masih dengan rasa kecewa.Â
"Sudah berapa tahu aku tak pernah menjumpainya, apa dia sehat, atau mungkin dia lagi butuh aku!"Â
"Nur, orang tua seperti dia nggak perlu dipikirkan. Toh dia pasti bahagia dengan banyak laki-laki!" sahut Budhe jengkel.