"Sebenarnya aku ini anak siapa, Bu?" teriak aku keras di ruang tamu.Â
"Ibu menyesal melahirkan kamu, Nur. Tahu gitu dari dulu kamu ibu bunuh!"
Mendengar itu hatiku hancur, bahkan ucapan itu masih terus terngiang-ngiang di telingaku. Sampai saat ini usiaku sudah 26 tahun, kejadian dan teriakan ibu terus menjadi bayang-bayang mengerikan.
"Bu, dulu ada sepasang suami dan istri datang ingin memungut aku. Kenapa ibu tahan? Kenapa ibu nggak berikan saja! Kanapa, Bu?Â
Ibu langsung menyeret tanganku, menarik masuk ke kamar lalu memukul pundakku dengan gagang sapu yang berbentuk kayu panjang. Sedang dia ayah tiriku hanya diam, seperti menikmati tontonan yang seru. Aku menangis meraung-raung, namun ibu seperti menikmati setan yang terus berbisik untuk menarik rambut panjang ku juga.Â
"Ibu benci dengan bapak kamu, ibu benci setiap melihat wajah kamu ibu melihat wajah bapak kamu yang senang melacur!"Â
Ibu terus berteriak-teriak, sedang tangannya menghantam pundakku berkali-kali.Â
***
Selama dua tahun aku hidup dengan ibu, selama itu pula aku menikmati penyiksaan demi penyiksaan. Dari pukulan balok, dijambak, atau bahkan di kurung dalam kamar tanpa makan sedikitpun. Badanku kurus, bibirku pucat, mataku melingkar biru. Aku tak pernah berani meminta makanan pada siapapun, termasuk Nenek. Aku ketakutan, aku dalam trauma batin yang gelap.Â
"Nek, aku lapar!" tangis ku di dalam kamar.
Saat itu di tengah malam sepi, saat ibu tertidur pulas di kamarnya, aku berjalan pelan ke dapur. Mencari sedikit makanan untuk mengganjal perutku yang sudah lapar tak tertahan. Iya, aku ingat sekali ada nasi sisa yang sudah setengah basi, yang sudah sedikit keras di dalam tumpukan cucian piring kotor. Lapar di perutku sudah tak tertahan aku ambil dan ditaburkan sedikit garam, aku memakannya dengan berlinang air mata.Â