Kita tahu bersama bahwa Presiden Indonesia saat ini Ir. Joko Widodo atau akrab disapa Jokowi berasal dari Surakarta atau Solo Jawa Tengah. Karena dari Jawa, banyak hal-hal yang berkaitan dengan Jawa yang akrab kita dengar di sekitarnya.
Salah satunya adalah adanya filosofi Jawa yang mungkin untuk tujuan meraup suara disandingkan dengan Sang Mantan Wali Kota Solo tersebut saat maju pada gelaran Pilpres 2014. Apa gerangan? Ada sementara orang yang menyebut Jokowi kala itu sebagai Satrio Piningit.
Satrio Piningit adalah tokoh yang diramalkan oleh peramal kondang dari tanah Jawa, yakni Prabu Jatabaya. Prabu Jayabaya meramalkan akan datangnya seorang pemimpin yang keluar saat zaman memasuki masa kerusakan dan menjadi Ratu Adil.
Ramalan Prabu Jayabaya begitu terkenal dalam budaya Jawa, karena ada beberapa ramalannya yang disebut benar-benar terjadi saat ini. Misalnya adanya kreta tanpa jaran (kereta tanpa kuda, yang diartikan kendaraan bermotor atau mobil), tanah Jawa kalungan wesi (Tanah Jawa berkalung besi, yang diartikan rel kereta api), dan prahu mlaku ing nduwur awang-awang (kapal bergerak di atas angkasa, yang diartikan sebagai kapal terbang).
Pada akhirnya Pilpres 2014 dimenangi oleh Presiden Jokowi. Bahkan pada tahun 2019 Sang Mantan Gubernur DKI terpilih kembali untuk yang kedua kalinya.
Lalu pertanyaannya, apakah Presiden Jokowi termasuk pemimpin yang sangat berhasil? Atau bagi yang mempercayai tentang ramalan Satrio Piningit dalam Jangka Jayabaya, termasuk Ratu Adil yang dinanti-nantikan?
Pada periode pertama, yang sangat terlihat dari kacamata awam adalah pembangunan infrastruktur, mulai dari jalan tol, bendungan, pelabuhan, bandara, perumahan rakyat, sampai pada pembangunan-pembangunan yang disalurkan lewat dana desa di daerah-daerah.
Berikutnya adalah adanya banyak bantuan sosial mulai dari Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Program Keluarga Harapan. Adanya program sertifikat tanah gratis. Juga kebijakan harga BBM satu harga.
Tetapi ada beberapa kekurangan juga yang mencederai istilah Ratu Adil untuk disematkan. Yakni adanya kesan bagi-bagi kekuasaan untuk para partai politik dan relawan pendukungnya. Baik dalam kabinet maupun dalam komisaris BUMN misalnya.
Lalu bagaimana dengan periode kedua?
Sepertinya berat untuk mengatakan bahwa masa ini adalah masa Ratu Adil yang dinanti-nantikan. Indikasinya secara ekonomi bahkan Indonesia mengalami resesi, terlepas hal itu terjadi karena adanya Pandemi Covid-19 dan banyak negara yang juga mengalami hal serupa.
Tetapi jika dilihat penanganan Covid-19 di Indonesia menunjukkan birokrasi yang kurang bagus pada pemerintahan saat ini. Salah satu yang terlihat adalah adanya ketidakselarasan langkah antara pusat dan provinsi atau daerah, seperti yang terjadi pada DKI Jakarta misalnya.
Dari jumlah total kasus dan kematian akibat Covid-19, Indonesia juga mengkhawatirkan. Menurut catatan Worldometers.info, diakses 5 Nopember 2020, saat ini Indonesia menjadi negara dengan total kasus dan kematian tertinggi di Asia Tenggara. Sedangkan di Asia, untuk total kasus berada pada urutan ke empat, sedangkan kematiannya pada urutan ketiga.
Meski demikian ada juga hal positif yang layak diapresiasi menurut penulis dari kacamata awam pada saat pandemi ini. Yakni Pemerintahan Presiden Jokowi yang banyak memberikan bantuan sosial untuk masyarakat saat ekonomi sulit.
Tetapi selain Covid-19, ada lagi masalah pelik lain yang harus dihadapi Pemerintah saat masa pandemi ini. Yaitu adanya penolakan UU Cipta Kerja yang dinilai sementara pihak tidak pro buruh atau pekerja. Gelombang demo pun sempat meledak di barbagai kota menyikapi adanya pengesahan UU Cipta Kerja.
Penolakan UU Cipta Kerja dari ribuan buruh dan beberapa elemen masyarakat menunjukkan bahwa pemerintahan saat ini belum bisa mewadahi aspirasi dari semua elemen masyarakat dengan baik. Memang semua kebijakan ada pllus minusnya dan tidak mungkin bisa menyenangkan sekitar 267 juta warga Indonesia, tetapi adanya polemik UU Cipta Kerja yang berkepanjangan menunjukkan indikasi yang kurang bagus undang-undang tersebut.
 Adanya demo besar-besaran tersebut, bagi yang percaya ramalan Jayabaya, juga menunjukkan indikasi lain yang bisa ditafsirkan sebagai masa di mana Tikus Pithi Anata Baris. Tikus pithi merupakan tikus kecil, anata baris berarti menata barisan. Jadi Tikus Pithi Anata Baris bisa diartikan sebagai masyarakat kecil yang menata barisan. Dalam ramalan Jayabaya masa Tikus Pithi Anata Baris ini datang sebelum masa Ratu Adil.
Sebagian orang menafsirkan Tikus Pithi Anata Baris itu adalah ketika adanya demo besar-besaran pada 1998 yang berhasil menggulingkan orde baru yang telah berkuasa selama 1998. Sejak saat itu, berbagai demo dari berbagai elemen masyarakat bermunculan untuk menyatakan aspirasinya.
Pada masa pemerintahan Jokowi Jilid II sudah ada dua kali gelombang demo besar-besaran. Pertama ketika berkaitan dengan revisi UU KPK pada saat menjelang pelantikannya. Dan yang kedua pada saat UU Cipta Kerjaj.
Bagi yang tidak percaya dengan Ramalan Jayabaya, munculnya banyak gerakan masyarakat yang berlawanan dengan pemerintah menunjukkan bahwa pemerintah belum bisa dikatakan sangat berhasil dalam menjalankan pemerintahan sehingga dapat diterima oleh mayoritas warganya.
Tidak ada satu manusia pun yang mengetahui apa yang terjadi di masa depan dengan pasti, termasuk Jayabaya, Sang Raja Kediri. Manusia hanya bisa berusaha dan Tuhan Sang Pencipta lah yang akan menentukan. Apakah era Presiden Jokowi akan tercatat sejarah sebagai salah satu masa keemasan Indonesia? Masih ada masa selama tiga tahun lagi, waktu akan menjawabnya...I]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H