Mohon tunggu...
Widodo Saptyanto
Widodo Saptyanto Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Bookworm, introvert, freedom

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kenapa Tiongkok Jadi Agresif di Laut Cina Selatan?

31 Mei 2024   23:19 Diperbarui: 31 Mei 2024   23:52 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kenapa Tiongkok Jadi Agresif  Di Laut Cina Selatan ?

Nine Dash Line Sebuah Ancaman?

Apakah kedaulatan Indonesia di Natuna sedang terancam oleh Tiongkok? Sebenarnya, jika mengacu pada Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1982 (UNCLOS 1982), tidak ada klaim tumpang tindih. Indonesia juga bukan negara pengklaim dalam ketegangan di Laut Cina Selatan. 

Dikutip dari Kompas, 6 Juli 2020, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyatakan, posisi Indonesia dalam isu Laut China Selatan sangat jelas dan berulang kali dinyatakan pada publik: di bawah Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1982 (UNCLOS 1982), tidak ada klaim tumpang tindih.

 Artinya, jika kita mengacu pada konvensi tersebut kita tidak perlu khawatir kedaulatan Indonesia diganggu Tiongkok. Namun saat Tiongkok mengkampanyekan Nine Dash Line, garis imajiner berbentuk Sembilan Garis Putus-Putus yang membentang dari lepas pantai Pulau Hainan Cina, dan terus mendekati pantai Vietnam, jauh ke dalam Laut Cina Selatan, dan menutupi Kepulauan Spratly. 

Di bagian utara Pulau Kalimantan, dekat pantai Malaysia dan Brunei, garis itu berbelok dan membentang ke arah barat Filipina dan berakhir tepat di selatan Taiwan. Luasnya sekira 2 juta kilometer persegi. Jelas, ini adalah klaim teritorial yang membuat marah negara-negara yang wilayah lautnya tercakup kedalam area garis putus-putus tersebut. Meski dibanjiri investasi milyaran dollar dari Tiongkok, Vietnam, Malaysia, Filipina bergerak melawan klaim teritorial ini. Indonesia?

Tentu saja ikut. Soal kedaulatan, hampir semua negara bersikap seragam, melawan. Dan memang sewajarnya seperti itu. Indonesia akan kehilangan lebih kurang 83.000 km persegi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna jika klaim Tiongkok ini tidak direspon. Apalagi, kampanye Nine Dash Line Tiongkok ini diikuti oleh agresi. 

Meski pada aksi itu belum secara terbuka menggunakan peralatan militer (hanya menggunakan kapal penjaga pantai /coastguard), namun sudah menciptakan situasi tegang yang menjurus ke aksi militer.  Pada Maret 2016 kapal Tiongkok menghalangi Kapal Patroli Pengawas Hiu 11 saat akan menangkap kapal ikan illegal KM Kway Fey yang sedang mencuri ikan di patrpengawas perikanan Hiu 11 gagal menangkap kapal ikan ilegal KM Kway Fey 10078 saat melakukan pencurian ikan di kawasan laut natuna. 

September 2021, seperti dikutip dari Kompas.id, sekelompok nelayan Natuna melaporkan bertemu enam kapal China. Mirisnya, kali ini Tiongkok tanpa sungkan menggunakan kapal militer. Menurut laporan,  salah kapal tersebut adalah kapal militer jenis perusak Kunming-172 di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Bahkan China sudah pernah memprotes pengeboran minyak dan gas alam di lepas pantai natuna yang notabene, secara hukum internasional, masuk wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Jadi jelas,kampanye Nine Dash Line Tiongkok mengancam kedaulatan Indonesia. 

 

Kenapa China Jadi Seperti Itu? 

China yang selama ini punya brand sebagai negara yang tidak suka menjajah atau turut campur urusan negeri lain,  berubah jadi agresif saat berurusan dengan Laut China Selatan (LCS). Kenapa? Banyak alternatif jawaban. Bill Hayton, mantan jurnalis BBC di Vietnam dan saat ini menjadi Associate Fellow di Program Asia-Pasifik di Chatham House di London dan editor jurnal 'Asian Affairs', dalam bukunya " The South China Sea: the struggle for power in Asia", mengungkapkan bahwa ambisi besar Tiongkok di Laut Cina Selatan tidak jauh dari kepentingan strategis Tiongkok dalam hal pertahanan dan ekonomi. 

Sama seperti negara lain yang merasa besar dan punya pengaruh, meski sering mengesankan diri sebagai "teman akrab" yang suka membantu dengan investasinya, Tiongkok tetaplah negara besar yang tidak bisa mengingkari sifat alamiahnya sebagai sebuah negara besar yang mendambakan hegemoni. Bill Hayton juga menuliskan tindakan Tiongkok mengkampanyekan "Nine Dash Line" juga didasarkan pada rasa kepemilikan nasional atas pulau-pulau, terumbu karang, dan perairan di Laut Cina Selatan berdasarkan pemahaman nasionalis yang berakar pada keyakinan bahwa sejak jaman dahulu LCS adalah milik Tiongkok secara kultural. 

Buku Putih China pada 13 Juli 2016 menyebut bahwa China telah memanfaatkan LCS sejak dua ribu tahun lalu. Maka, bila China berhasil menguasai LCS, legitimasi Partai Komunis China (PKC) di negeri yang menganut asas politik 'partai-tunggal' itu akan makin kuat. Apalagi, PKC saat ini tengah menghadapi perlambatan laju pertumbuhan ekonomi China dan sejumlah skandal dalam kabinet President Xi Jinping. 

Hal lain yang perlu dicermati adalah LCS adalah bagian dari strategi pertahanan laut Tiongkok. Ambisi negara dengan kekuatan militer terbesar kedua; kemungkinan akan menjadi yang nomor satu, terhadap LCS tentu saja karena Tiongkok ingin menggunakan wilayah LCS sebagai benteng strategis menghentikan Amerika yang hampir pasti akan ikut campur jika nanti mainland menginvasi Taiwan. 

Maka cara untuk menghadapinya adalah dengan menguasai LCS. Serangan atau pendudukan China atas Taiwan membutuhkan penguasaan LCS terlebih dahulu. Sebagian armada AS dan negara sekutu seperti Australia, bila mereka bertekad membantu Taiwan, diyakini akan melintasi LCS dari Samudra Hindia (arah selatan) ke medan pertempuran di Selat Taiwan dan sekitarnya. 

Oleh sebab itu, penguasaan laut dan ruang udara LCS sangat diperlukan karena penguasaan itu memungkinkan China untuk memutus jalur lintasan armada AS dan sekutunya dalam perjalanan mereka menuju Taiwan. Dan jangan melupakan nilai ekonomi LCS bagi Tiongkok. 

Mengutip dari CSIS dan World Maritime Council, Lebih kurang 25% arus pelayaran dunia melewati laut ini dengan valuasi barang mencapai US$ 5,3 triliun. Tiongkok juga mengandalkan penuh akses jalur perairan ini sebagai kunci ekspor mereka. Di tahun 2016 saja, 40% dari total ekspor mereka melalui jalur lautan ini, membuat wilayah ini sangat krusial bagi perekonomian ekonomi terbesar kedua dunia itu.

Sudah Tidak Mungkin Lagi Bersikap Netral ?

Dari uraian fakta diatas, masihkah Indonesia bersikap netral? Tidak mudah menjawabnya. Jakarta  tidak mungkin memandang masalah ini dengan cara pandang hitam putih. Tapi yang harus disepakati dulu adalah fakta bahwa kedaulatan Indonesia di Natuna sedang terancam. Bagi negeri yang pernah berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan tiap jengkal tanah Indonesia, kedaulatan bukanlah hal yang bisa dinegosiasikan. Kita harus memastikan jika Beijing paham jika Indonesia siap berperang apapun resikonya.

 Memaksakan diri bersikap netral bukanlah pilihan bijak. Beijing tidak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda akan mengubah  kebijakannya perihal "Nine Dash Line" yang menurut mereka sudah final. Jadi, memaksakan diri bersikap netral malah membuat kita terlihat lemah. Memang, perang terbuka masih jauh api dari panggang. Namun sumbu pemicunya sudah memanjang di sepanjang pantai Laut Cina Selatan.

               

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun