China yang selama ini punya brand sebagai negara yang tidak suka menjajah atau turut campur urusan negeri lain, Â berubah jadi agresif saat berurusan dengan Laut China Selatan (LCS). Kenapa? Banyak alternatif jawaban. Bill Hayton, mantan jurnalis BBC di Vietnam dan saat ini menjadi Associate Fellow di Program Asia-Pasifik di Chatham House di London dan editor jurnal 'Asian Affairs', dalam bukunya " The South China Sea: the struggle for power in Asia", mengungkapkan bahwa ambisi besar Tiongkok di Laut Cina Selatan tidak jauh dari kepentingan strategis Tiongkok dalam hal pertahanan dan ekonomi.Â
Sama seperti negara lain yang merasa besar dan punya pengaruh, meski sering mengesankan diri sebagai "teman akrab" yang suka membantu dengan investasinya, Tiongkok tetaplah negara besar yang tidak bisa mengingkari sifat alamiahnya sebagai sebuah negara besar yang mendambakan hegemoni. Bill Hayton juga menuliskan tindakan Tiongkok mengkampanyekan "Nine Dash Line" juga didasarkan pada rasa kepemilikan nasional atas pulau-pulau, terumbu karang, dan perairan di Laut Cina Selatan berdasarkan pemahaman nasionalis yang berakar pada keyakinan bahwa sejak jaman dahulu LCS adalah milik Tiongkok secara kultural.Â
Buku Putih China pada 13 Juli 2016 menyebut bahwa China telah memanfaatkan LCS sejak dua ribu tahun lalu. Maka, bila China berhasil menguasai LCS, legitimasi Partai Komunis China (PKC) di negeri yang menganut asas politik 'partai-tunggal' itu akan makin kuat. Apalagi, PKC saat ini tengah menghadapi perlambatan laju pertumbuhan ekonomi China dan sejumlah skandal dalam kabinet President Xi Jinping.Â
Hal lain yang perlu dicermati adalah LCS adalah bagian dari strategi pertahanan laut Tiongkok. Ambisi negara dengan kekuatan militer terbesar kedua; kemungkinan akan menjadi yang nomor satu, terhadap LCS tentu saja karena Tiongkok ingin menggunakan wilayah LCS sebagai benteng strategis menghentikan Amerika yang hampir pasti akan ikut campur jika nanti mainland menginvasi Taiwan.Â
Maka cara untuk menghadapinya adalah dengan menguasai LCS. Serangan atau pendudukan China atas Taiwan membutuhkan penguasaan LCS terlebih dahulu. Sebagian armada AS dan negara sekutu seperti Australia, bila mereka bertekad membantu Taiwan, diyakini akan melintasi LCS dari Samudra Hindia (arah selatan) ke medan pertempuran di Selat Taiwan dan sekitarnya.Â
Oleh sebab itu, penguasaan laut dan ruang udara LCS sangat diperlukan karena penguasaan itu memungkinkan China untuk memutus jalur lintasan armada AS dan sekutunya dalam perjalanan mereka menuju Taiwan. Dan jangan melupakan nilai ekonomi LCS bagi Tiongkok.Â
Mengutip dari CSIS dan World Maritime Council, Lebih kurang 25% arus pelayaran dunia melewati laut ini dengan valuasi barang mencapai US$ 5,3 triliun. Tiongkok juga mengandalkan penuh akses jalur perairan ini sebagai kunci ekspor mereka. Di tahun 2016 saja, 40% dari total ekspor mereka melalui jalur lautan ini, membuat wilayah ini sangat krusial bagi perekonomian ekonomi terbesar kedua dunia itu.
Sudah Tidak Mungkin Lagi Bersikap Netral ?
Dari uraian fakta diatas, masihkah Indonesia bersikap netral? Tidak mudah menjawabnya. Jakarta  tidak mungkin memandang masalah ini dengan cara pandang hitam putih. Tapi yang harus disepakati dulu adalah fakta bahwa kedaulatan Indonesia di Natuna sedang terancam. Bagi negeri yang pernah berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan tiap jengkal tanah Indonesia, kedaulatan bukanlah hal yang bisa dinegosiasikan. Kita harus memastikan jika Beijing paham jika Indonesia siap berperang apapun resikonya.
 Memaksakan diri bersikap netral bukanlah pilihan bijak. Beijing tidak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda akan mengubah  kebijakannya perihal "Nine Dash Line" yang menurut mereka sudah final. Jadi, memaksakan diri bersikap netral malah membuat kita terlihat lemah. Memang, perang terbuka masih jauh api dari panggang. Namun sumbu pemicunya sudah memanjang di sepanjang pantai Laut Cina Selatan.
       Â