Mohon tunggu...
Widodo Antonius
Widodo Antonius Mohon Tunggu... Guru - Guru SD Tarsisius Vireta Tangerang

Hobi membaca menulis dan bermain musik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Karakter Dimulai dari Bel

11 Juni 2024   23:21 Diperbarui: 11 Juni 2024   23:45 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesan -- pesan seperti ini sering terjadi di group WA kelas. Ada beberapa reaksi dari beberapa orang tua murid, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Begitu dahsyatnya perkembangan teknologi sehingga kejadian -- kejadian seperti di atas mudah dishare melalui group WA, sehingga banyak orang mudah mengetahui. 

Sepintas lalu permasalahan di atas amat sederhana. Namun akibatnya bisa luar biasa jika tidak segera diatasi oleh guru sebagai wali kelas. Misalnya sesama orang tua saling bersi tegang bahkan pernah kejadian sampai ke pengadilan berakar dari persoalan sederhana antar anak-anaknya, walaupun anaknya sudah berdamai dan rukun. Anak-anak pun menjadi manja dan kurang berdaya juang. 

Agar permasalahan menjadi jernih, ada beberapa langkah. Langkah pertama, bagi saya bel merupakan awarenness ( penyadaran ) bahwa ada sesuatu yang baru untuk ditanggapi dan cepat-cepat mengambil keputusan. Minimal orang tua yang sering mengirim WA permintaan ini dan itu saya arahkan untuk japri ( jawaban pribadi ) yang memang bersifat pribadi. Sedangkan permasalahan atau informasi umum diarahkan share ke WA group.

Langkah ke-dua, memasukkan inspirasi mendidik melalui WA.  Inspirasi ini sesuai dengan artikel Mgr. Ignasius Suharyo ( Buku Kenangan HUT ke-40 MPKAJ 1975-2015: 20 ) menurut cerita, pada waktu kanak-kanak, Rabindranath Tagore mempunyai cacat penglihatan. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Keadaan ini dianggap biasa karena ia berasal dari kalangan keluarga miskin. Ia tidak mengeluh, tidak mengatakan hal ini kepada siapa pun karena mengira memang demikianlah seharusnya hidup ini. Pada suatu hari ia bermain-main dengan temantemannya, salah seorang di antaranya berkacamata. Ia merebut kacamata itu, ia bisa melihat dunia sekelilingnya dengan amat jelas. 

Inilah kiranya yang menjadi tantangan bagi pelayanan pendidikan : memberi " kacamata" kepada para peserta didik, agar ia mampu melihat realita kehidupan yang amat kompleks ini, mengambil sikap yang benar terhadapnya dan mengalami pembebasan. Kaca mata merupakan kemampuan melihat dan mencerna informasi penting untuk pendidikan kepada orang tua dan juga merambah kepada sikap sebagai seorang guru dan murid berupa inspirasi-inspirasi mendidik melalui WA. Inspirasi bahwasanya seorang murid perlu memiliki sikap mandiri, tidak semua hal diurus guru dan orang tua, mulai dari buku tugas, botol minum, kotak pensil, perlakuan temannya, dan lain sebagainya.

Berkomunikasi humaniora adalah langkah ke-tiga. Menurut Fidelis Waruwu ( Majalah Hidup 6 Januari 2019 : 50 ) untuk meningkatkan kualitas SDM ( terutama guru-guru ) diperlukan peningkatan tiga literasi: literasi digital, teknologi, dan humaniora ( kemampuan berkomunikasi efektif, penuh penghargaan sesuai nilai-nilai dan etika ). Komunikasi adalah pintu gerbang memasuki diskusi, sharing, dan kesepakatan bersama atas solusi yang terbaik dalam menghadapi suatu permasalahan, baik siswa maupun orang tua yang diinformasikan melalui WA.  

Langkah ke-empat dimulai dari bel. Seperti dikisahkan oleh Agus Dermawan ( Kompas 9 Januari 2018 : Opini halaman 7 ) . Syahdan, adalah seorang pemuda miskin yang sangat ingin punya sepeda. Karena profesinya hanya seorang pengarang, ia harus mencari akal untuk mencapai cita -- citanya. Akal pun mulai ditemukan : ia mengumpulkan berbagai onderdil sepeda.

Onderdil itu bisa ia temukan di pinggir jalan, ia minta dari orang yang dikenal dan tidak dikenal, atau dibeli dengan uangnya yang cuma sejimpit. Dalam kurun waktu yang panjang, onderdil terkumpul lalu dirakitnya menjadi sepeda.

Pemuda itu bangga atas sepeda hasil menabungnya. Namun dianggap belum komplit lantaran belum ada bel. Untuk membeli bel yang mengkilap, ia membuat karangan yang isinya mengenai upaya menabung onderdil sepeda tersebut. Karangan itu pun dimuat dan ia mendapat honorarium yang dikirim melalui wesel pos. Dengan gembira ia mengayuh sepeda menuju kantor pos . Ketika uang honorarium di tangan, bunyi kring krang kring krang dirasakan sudah berkumandang. 

Ia pun bergegas menuju halaman kantor pos. Apa mau dikata sepeda yang belum dikunci raib digondol pencuri! Ia menangis dalam hati. Namun tekad mempunyai sepeda tidak pudar. Ia mulai mengumpulkan onderdil lagi dimulai dari sebuah bel. Permasalahan dikelola dan dibangun menjadi bahan pendidikan yang baru, walaupun suasana mendidik  yang telah kita lakukan seolah -- oleh hilang atau tidak berarti seperti pengalaman seorang pemuda bernama Syahdan. Untuk mendidik karakter siswa dan orang mengenai hal-hal baru lagi, maka kita akan memulai lagi dari bel ilustrasi sebagai bentuk awareness. 

Karakter merupakan hal mendasar sebagai bentuk ekspresi perilaku anggota masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan anak. Masyarakat menaruh kepercayaan kepada sekolah sekalipun dihadapkan pada pasca pandemik covid19 seperti sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun