Pendidikan Karakter Dimulai dari Bel
Oleh: Widodo,S.Pd.
Karakter merupakan hal mendasar sebagai bentuk ekspresi perilaku anggota masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan anak. Masyarakat menaruh kepercayaan kepada sekolah sekalipun dihadapkan pada pasca  pandemik covid19 seperti sekarang ini.
Cepat-cepat saya mengganti handphone ( HP ) dengan fasilitas terkoneksi dengan internet, WhatsApp ( WA ), InstaGram ( IG ), dan google. Guru oemar bakri  seperti lagunya Iwan Fals perlu berubah cepat. Tanggap terhadap perubahan dan cepat mengambil keputusan, supaya terhindar dari kemungkinan bagi orang yang kuat menguasai orang yang lemah, bagi orang yang besar mengalahkan orang yang kecil, melainkan orang yang tercepat itulah yang akan menguasai orang yang lambat. Hp baru pun saya beli. Bel tanda WA masuk mulai berbunyi. "Crung...Crung....Crung....!"
" Pak, minta tolong dikirim foto tugas untuk hari Rabu besok."
 "Pak, tolong ingetin anak saya ya, jangan sampai lupa pakaian olah raganya untuk dibawa pulang."
"Pak, tolong simpenin botol minum anak saya ya, ketinggalan di atas meja."
"Pak, minta tolong dikirim foto catatan pelajaran hari ini, anak saya tidak selesai mencatat."
"Pak tolong fotoin buku tugas untuk  besok, anak saya ketinggalan buku tugasnya."
"Pak tolong tahun depan anak saya Abi ( bukan nama sebenarnya ) jangan disatukan sekelas dengan Bima" ( bukan nama sebenarnya ).
"Pak tolong diselesaikan masalah anak saya yang dipukul temannya."
Pesan -- pesan seperti ini sering terjadi di group WA kelas. Ada beberapa reaksi dari beberapa orang tua murid, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Begitu dahsyatnya perkembangan teknologi sehingga kejadian -- kejadian seperti di atas mudah dishare melalui group WA, sehingga banyak orang mudah mengetahui.Â
Sepintas lalu permasalahan di atas amat sederhana. Namun akibatnya bisa luar biasa jika tidak segera diatasi oleh guru sebagai wali kelas. Misalnya sesama orang tua saling bersi tegang bahkan pernah kejadian sampai ke pengadilan berakar dari persoalan sederhana antar anak-anaknya, walaupun anaknya sudah berdamai dan rukun. Anak-anak pun menjadi manja dan kurang berdaya juang.Â
Agar permasalahan menjadi jernih, ada beberapa langkah. Langkah pertama, bagi saya bel merupakan awarenness ( penyadaran ) bahwa ada sesuatu yang baru untuk ditanggapi dan cepat-cepat mengambil keputusan. Minimal orang tua yang sering mengirim WA permintaan ini dan itu saya arahkan untuk japri ( jawaban pribadi ) yang memang bersifat pribadi. Sedangkan permasalahan atau informasi umum diarahkan share ke WA group.
Langkah ke-dua, memasukkan inspirasi mendidik melalui WA. Â Inspirasi ini sesuai dengan artikel Mgr. Ignasius Suharyo ( Buku Kenangan HUT ke-40 MPKAJ 1975-2015: 20 ) menurut cerita, pada waktu kanak-kanak, Rabindranath Tagore mempunyai cacat penglihatan. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Keadaan ini dianggap biasa karena ia berasal dari kalangan keluarga miskin. Ia tidak mengeluh, tidak mengatakan hal ini kepada siapa pun karena mengira memang demikianlah seharusnya hidup ini. Pada suatu hari ia bermain-main dengan temantemannya, salah seorang di antaranya berkacamata. Ia merebut kacamata itu, ia bisa melihat dunia sekelilingnya dengan amat jelas.Â
Inilah kiranya yang menjadi tantangan bagi pelayanan pendidikan : memberi " kacamata" kepada para peserta didik, agar ia mampu melihat realita kehidupan yang amat kompleks ini, mengambil sikap yang benar terhadapnya dan mengalami pembebasan. Kaca mata merupakan kemampuan melihat dan mencerna informasi penting untuk pendidikan kepada orang tua dan juga merambah kepada sikap sebagai seorang guru dan murid berupa inspirasi-inspirasi mendidik melalui WA. Inspirasi bahwasanya seorang murid perlu memiliki sikap mandiri, tidak semua hal diurus guru dan orang tua, mulai dari buku tugas, botol minum, kotak pensil, perlakuan temannya, dan lain sebagainya.
Berkomunikasi humaniora adalah langkah ke-tiga. Menurut Fidelis Waruwu ( Majalah Hidup 6 Januari 2019 : 50 ) untuk meningkatkan kualitas SDM ( terutama guru-guru ) diperlukan peningkatan tiga literasi: literasi digital, teknologi, dan humaniora ( kemampuan berkomunikasi efektif, penuh penghargaan sesuai nilai-nilai dan etika ). Komunikasi adalah pintu gerbang memasuki diskusi, sharing, dan kesepakatan bersama atas solusi yang terbaik dalam menghadapi suatu permasalahan, baik siswa maupun orang tua yang diinformasikan melalui WA. Â
Langkah ke-empat dimulai dari bel. Seperti dikisahkan oleh Agus Dermawan ( Kompas 9 Januari 2018 : Opini halaman 7 ) . Syahdan, adalah seorang pemuda miskin yang sangat ingin punya sepeda. Karena profesinya hanya seorang pengarang, ia harus mencari akal untuk mencapai cita -- citanya. Akal pun mulai ditemukan : ia mengumpulkan berbagai onderdil sepeda.
Onderdil itu bisa ia temukan di pinggir jalan, ia minta dari orang yang dikenal dan tidak dikenal, atau dibeli dengan uangnya yang cuma sejimpit. Dalam kurun waktu yang panjang, onderdil terkumpul lalu dirakitnya menjadi sepeda.
Pemuda itu bangga atas sepeda hasil menabungnya. Namun dianggap belum komplit lantaran belum ada bel. Untuk membeli bel yang mengkilap, ia membuat karangan yang isinya mengenai upaya menabung onderdil sepeda tersebut. Karangan itu pun dimuat dan ia mendapat honorarium yang dikirim melalui wesel pos. Dengan gembira ia mengayuh sepeda menuju kantor pos . Ketika uang honorarium di tangan, bunyi kring krang kring krang dirasakan sudah berkumandang.Â
Ia pun bergegas menuju halaman kantor pos. Apa mau dikata sepeda yang belum dikunci raib digondol pencuri! Ia menangis dalam hati. Namun tekad mempunyai sepeda tidak pudar. Ia mulai mengumpulkan onderdil lagi dimulai dari sebuah bel. Permasalahan dikelola dan dibangun menjadi bahan pendidikan yang baru, walaupun suasana mendidik  yang telah kita lakukan seolah -- oleh hilang atau tidak berarti seperti pengalaman seorang pemuda bernama Syahdan. Untuk mendidik karakter siswa dan orang mengenai hal-hal baru lagi, maka kita akan memulai lagi dari bel ilustrasi sebagai bentuk awareness.Â
Karakter merupakan hal mendasar sebagai bentuk ekspresi perilaku anggota masyarakat yang berkecimpung di dunia pendidikan anak. Masyarakat menaruh kepercayaan kepada sekolah sekalipun dihadapkan pada pasca pandemik covid19 seperti sekarang ini.
Â
Bahan Bacaan:
Mgr. Ignasius Suharyo ( Buku Kenangan HUT ke-40 MPKAJ 1975-2015: 20 )
Fidelis Waruwu ( Majalah Hidup 6 Januari 2019 : 50 )
Agus Dermawan ( Kompas 9 Januari 2018 : Opini halaman 7 )
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI