Provokasi. Tindakan ini nampaknya sudah tak asing lagi dalam dunia olahraga. Provokasi tak hanya muncul di lapangan hijau, tetapi juga di lapangan berbentuk kotak lainnya, di lintasan lari, di kolam renang, dan banyak tempat olahraga lainnya.Â
Dalam olahraga, pelaku provokasi tak hanya pemain, tetapi bisa juga pelatih, anak gawang, penonton, pengelap bola, petugas pergantian shuttlecock, hakim garis, petugas pencatat skor, petugas timer, wasit, hingga tukang parkir yang berjaga di luar stadiun atau gelanggang olahraga! Pada zaman sekarang, provokasi bahkan bisa datang dari media massa, media elektronik, atau media online yang sekilas tak terkait langsung dengan pertandingan yang dilangsungkan.
Nah, dari lapangan hijau, kita tak mungkin lupa dengan insiden tendangan kungfu yang dilakukan oleh Eric Cantona, akibat tak tahan dengan provokasi pendukung Crystal Palace. Pada laga yang berlangsung 25 Januari 1995 silam itu, Cantona yang baru saja mendapat kartu merah dari wasit meledak dalam kemarahan setelah kata-kata makian keluar dari seorang pendukung tuan rumah. Hukuman kerja sosial selama 120 jam pun harus dijalani Cantona, juga larangan bertanding selama 8 bulan akibat insiden "lepas kendali" tersebut.
Beralih ke ajang Piala Dunia 2006 antara Italia dan Perancis. Perkataan kasar berunsur provokatif dari Marco Materazzi berhasil "meledakkan" emosi Zinedine Zidane, yang langsung menanduk dada palang pintu timnas Italia tersebut. Dalam pembelaannya, Materazzi mengaku bahwa insiden itu juga dipicu oleh perkataan Zidane ketika dia tanpa sengaja menarik baju Zidane. "Jika kamu menginginkan baju saja, akan saya berikan setelah pertandingan," begitu ujaran bernada provokatif yang diterima oleh Materazzi.
Sedikit menyeberang ke dunia tepok bulu, tindakan provokatif juga pernah dilakukan oleh Mathias Boe beberapa waktu lalu. Pemain ganda putra Denmark merayakan kemenangan dengan bergoyangdi lapangan, seolah hendak mengejek pada penonton yang terlebih dahulu memprovokasinya dengan perkataan yang menurut Boe kurang pantas, termasuk lewat media sosial sebelum pertandingan berlangsung. Namun, tak ada hukuman yang diberikan oleh federasi bulu tangkis dunia dari aksi Boe, kecuali gempuran komentar pedas dari para netizenasal Indonesia di akun media sosial milik Christian Boe.
Definisi "provokasi" menurut KBBI
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan "provokasi" (pro-vo-ka-si) sebagai berikut: perbuatan untuk membangkitkan kemarahan; tindakan menghasut; penghasutan; pancingan. Sementara, orang yang terkena provokasi itu diartikan: terpancing atau terpengaruh untuk melakukan perbuatan negatif. Jadi, tujuan dan maksud dari aksi provokasi sebenarnya sudah jelas, yakni agar orang yang "digoda" oleh aksi provokasi itu akan melakukanperbuatan negatif.Â
Tindakan provokatif bisa berupa perkataan yang menusuk hati, gesture yang dapat dianggap menantang, menghina, mengejek, atau merendahkan orang lain, siulan tertentu (seperti menirukan suara binatang), atau pelanggaran (kontak fisik) yang berniat mencederai lawan.
Dalam olahraga, khususnya sepak bola, tindakan provokasi biasanya dilakukan untuk memancing reaksi dari pemain lawan, lalu membuat lawannya melakukan tindakan negatif atau tindakan yang bisa dicap bodoh. Harapan minimalnya, aksi provokasi itu dapat merusak konsentrasi pemain lawan, membuatnya diacungi kartu kuning, dan harapan terbesarnya, mendapat kartu merah. Hukuman diberikan bisa karena aksi balasan (seperti balas menendang, menyikut, mendorong, atau memukul), mengucapkan makian (misuh-misuh), atau malah memprovokasi wasit, yang lantas berbuah hukuman kartu merah.
Namun, aksi provokasi yang dapat merusak konsentrasi permainan juga tak dapat diabaikan, karena bisa berdampak signifikan terhadap permainan sebuah tim. Jika yang diprovokasi seorang playmaker misalnya, diharapkan pemain ini tak lagi bisa konsentrasi bermain, sehingga tugasnya mengatur ritmen permainan dan membagi bola tak dapat dilakukan dengan maksimal.
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa seorang atlet yang bertanding dalam kondisi emosi tak stabil, permainannya cenderung kacau, ngawur, hingga bermain kasar, yang dapat berimbas pada kekalahan tim yang dibelanya. Seorang pemain bahkan bisa mendapatkan larangan bertanding akibat hukuman dari komisi disiplin, yang tentu saja akan merugikan timnya.
Aksi provokasi jelas dapat mengubah hasil pertandingan, jika tak bisa ditangani dengan baik. Pilihan untuk membalas setimpal, atau membalas dengan lebih "jahat" lagi tentu bukanlah tindakan bijaksana. Sebaliknya, ketika seorang pemain memilih untuk mengabaikan, membalas dengan senyuman, membalas dengan permainan ciamik, atau (jika memungkinkan) mengampuni pelakunya dapat menjadi tindakan yang cerdas karena aksi provokasi terbukti tak mempan bagi dirinya.Â
Apakah membalas provokasi dengan elegan mudah dilakukan? SAMA SEKALI TIDAK MUDAH! Saya pun terkadang dibuat jengah dengan perilaku sedikit kasar dari teman sepermainan di lapangan basket. Saya bahkan pernah hampir menendang sesuatu, seandainya ada di sekitar saya, karena sikap terlalu egois yang ditunjukkan oleh pemain yang masih satu tim dengan saya!
Dibutuhkan pengendalian diri dan kecerdasan emosi supaya aksi provokasi tak membuat amarah meledak. Pengendalian diri juga tak selalu (tak pasti) dimiliki pemain yang sudah senior (berusia dewasa)---seperti pemain muda juga tak selalu berarti mudah terbakar amarah karena pengaruh jiwa muda yang masih labil dan mudah meledak.
Tak mudah merespons provokasi dengan positif, tetapi juga tak mustahil untuk dipraktikkan dalam sebuah pertandingan. Dalam olahraga tim, peran pelatih dan para pemain lain yang sama-sama berada di atas lapangan sungguh penting dalam meredam setiap aksi provokasi dari pemain lawan, pelatih, hingga pendukung tuan rumah. Peran sang kapten juga sangat penting, sebagai pemain yang diharapkan dapat meredam amarah rekan-rekannya ketika tensi pertandingan memanas, atau lecutan api provokasi nampak mulai terlihat dalam diri rekan-rekannya. Nah, kalau sang kapten itu sendiri yang justru terprovokasi di atas lapangan, masalah bisa semakin runyam!
****
Nah, aksi Saddil Ramdani dalam pertandingan semifinal Piala AFF U-18 kemarin sore sebenarnya hanyalah "secuil" buah dari aksi provokasi pemain Thailand yang kali ini mengenai Saddil Ramdani, yang gagal direspons dengan positif oleh pemain asal Persela Lamongan itu. Kebetulan pula, akhirnya Timnas Garuda Nusantara kalah pada adu tos-tosan sehingga gagal melangkah ke partai puncak.Â
Seandainya kemarin Indonesia menang, mungkin Saddil akan lebih bisa dimaafkan, sekalipun mungkin aksi sikutnya tetap dianggap keliru oleh sebagian masyarakat kita. Saya tak bermaksud menyalahkan Saddil, sekalipun tetap menyayangkan respons kilat yang mungkin dilakukan tanpa berpikir jernih. Saya pun berharap agar kelak dia dapat belajar banyak dari peristiwa ini, begitu pula dengan para pemain lainnya, tanpa perlu terlebih dahulu mendapatkan kartu merah.
By the way... ibarat pepatah kuno yang berkata, "Nasi sudah menjadi bubur"Â mau tak mau harus kita terima. Terkhusus untuk pertandingan semifinal Piala AFF U-18 yang kita saksikan bersama, hasil akhir tak bisa diubah. Peluit berbunyi tanda berakhirnya pertandingan untuk kemenangan Thailand juga tak bisa ditelan lagi (peluitnya). Mau protes bagaimana pun, mau menangis selama apa pun, Timnas Garuda Nusantara tetap dinyatakan kalah dan selanjutnya wajib bertanding memperebutkan tempat ketiga melawan Myanmar besok Minggu (17/9).Â
Hanya, peristiwa terbakarnya amarah pemain tim nasional sepak bola kita, pada berbagai tingkat usia, diharapkan dapat direspons dengan perbaikan serius, yang dimulai pada kompetisi lokal di Tanah Air. Perbaikan dari sisi cara bermain, terutama mendefisiikan ulang takling-takling yang masih dianggap aman dan bisa diterima oleh peraturan sepak bola di seluruh dunia, nampaknya harus kembali dipelajari dan diterapkan dalam kompetisi resmi di berbagai tingkatan.Â
Ingatlah bahwa dalam pertandingan internasional, hukuman bisa lebih keras diberikan pada tindakan yang terkait kemarahan dan aksi balasan, yang mungkin hanya mendapat senyuman, perkataan, "Jangan diulangi lagi, ya!" atau sedikit pelototan dari wasit yang memimpin laga, sekalipun ketegasan komisi disiplin PSSI akhir-akhir ini juga mulai tegas terhadap aksi kekerasan untuk beberapa laga.
Akhirnya, mari berharap ke depan agar Timnas Garuda kebanggaan kita, dalam berbagai eventresmi yang diikuti oleh levelusia junior maupun senior, dapat lebih baik lagi dalam merespons setiap aksi provokasi di lapangan hijau. Kerugian akibat "kartu merah yang tidak perlu"kita harapkan jangan sampai terjadi lagi pada masa mendatang. Menyikut boleh, selama yang disikut hati seseorang yang sedang ditaksir, atau kalau berani menyikut hati putri kesayangan wasit atau pelatih dari tim lawan, hingga jatuh hati kepada si penyikutnya. Kalau sikutan yang ini mungkin akan berbuah manis.
Bisakah?
Salam olahraga.
-wsp-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H