Masih melekat dalam ingatan, berpuluh tahun lalu almarhum kakak mengajakku dan seorang temannya dari Amerika untuk makan malam bersama di sebuah restoran besar di Jakarta..
Makanan disajikan dalam porsi besar yang rasanya tidak mungkin dapat kuhabiskan semua. Sebelum pulang, teman kakak menanyakan apakah aku butuh "doggie bag". Aku yang saat itu masih bersekolah di bangku SMA berpikir untuk apa "doggie bag", wong di rumah gag punya anjing.
Selang beberapa bulan kemudian, kakak kembali mengajakku dan teman yang sama untuk makan malam bersama di restoran. Lagi-lagi aku tak sanggup menghabisi makanan yang disajikan.
Kali itu giliran teman kakak yang membayar biaya makan malam. Sebelum meminta tagihan kepada pramusaji, ia mengatakan kepadaku yang artinya kira-kira begini:
"Berhubung aku yang membayar makan malam kali ini, kamu harus menghabiskan semua makanan itu atau minta doggie bag".
Dengan spontan aku menjawab,"tapi saya gak punya anjing di rumah".
Mendengar jawaban itu, iapun tertawa dan mengatakan bahwa di Amerika "doggie bag" tidak harus selalu buat anjing.
Tanggapannya itu langsung membuatku mengernyitkan dahi. Ia seperti membaca kebingunganku. Kami yang tadinya bersiap-siap pulang, jadi menunda niat itu untuk mendengarkannya bercerita tentang asal-usul "doggie bag".
Ceritanya dimulai pada zaman Romawi kuno, dimana dalam kode etik "table manner" kala itu, tamu undangan makan malam membawa serbet atau napkin sendiri untuk membersihkan mulut dan tangan mereka terlebih dahulu sebelum mencicipi setiap hidangan yang disajikan.
Dengan kata lain, setelah menikmati makanan pembuka (appetizer) mereka menyeka mulut dan tangan dengan serbet sebelum menyantap makanan berikutnya baik itu hidangan utama (main course/entree) maupun hidangan penutup (dessert).
Ini dilakukan semata-mata untuk menghormati tuan rumah dan para undangan lainnya agar mulut dan tangan selalu terlihat bersih.