"Kamu cantik banget, beib!" Spontan Boyke melempar pujian itu setelah Devi melepas maskernya. Ia memonyongkan bibirnya ke arah Boyke.
Boyke tersenyum meraih bahu Devi kedekatnya. Tanpa ragu Devi menyandarkan kepalanya ke dada bidang Boyke sambil terus berjalan menuju kerumunan tamu.
"So, before you go
Was there something I could've said to make your heart beat better?
If only I'd have known you had a storm to weather"
Devi memejamkan mata mengumpulkan serpihan kenangan yang berdansa diiringi alunan lembut Lewis Capaldi. Bibir tipisnya tersenyum lemah, masih terngiang dalam ingatan: Boyke memintanya menjadi pendamping hidupnya di hadapan peserta pesta.
Teman-teman wanitanya memeluk Devi dan meninggalkan rasa turut berbahagia pada pipinya. Kegembiraannya terbang menuju awan, membuat Devi tergagap. Senyum memesona dan bisikan lirih dari kekasihnya menjadi jawaban terindah bagi Boyke.
Devi menghela napas panjang yang memenuhi rongga dadanya. Boyke merunduk lalu mendadak menghentakkan rambut ikalnya. Boyke termangu dalam ruang tunggu, tidak memiliki kepastian.
Waktu dan keadaan memisahkan kedua sejoli saling berjanji dalam ikatan suci. Boyke merasa menyatu dengan jiwa Devi yang sedang lara.
Tanpa disadari, bendungan di mata Boyke pecah. Entah sudah keberapa kalinya ia menyeka sungai di pipi dengan tisu yang ditarik dari kotak hampir kosong.
Ia menyesali semua perbuatannya. Menghadiri pesta ulang tahun Roy dengan mengajak kekasihnya adalah hal terbodoh yang ia pernah lakukan selama hidupnya.
"Rapid test bull-shit," teriakannya memenuhi ruang kosong. Ingin rasanya ia menuntut perusahaan yang membuat alat tes itu. Namun percuma saja, toh semuanya belum tentu dapat mengembalikan belahan jiwanya.
Boyke menundukkan kepala lagi, berdo'a semoga keajaiban itu datang. Ia ingin memanjakan Devi kembali. Menggembirakannya. Segera mengikatnya dalam janji suci untuk selamanya.