Ia juga menambahkan bahwa tingginya angka pengangguran di desa bukan merupakan indikasi gagalnya program padat karya tunai dari dana desa, lantaran program tersebut menitikberatkan pada pekerjaan konstruksi, bukan penggarapan sawah.
Menurut saya, perlu adanya terobosan baru perihal kesejahteraan pekerja di sektor pertanian. Upah tersebut bisa dibilang masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi jika pekerja tersebut telah berkeluarga. Lama kelamaan, akan semakin banyak pekerja yang memutuskan untuk merantau lantaran upah yang didapat tidak cukup untuk membeli kebutuhan yang harganya semakin naik.
Hal ini bisa saja berujung pada semakin berkurangnya tenaga kerja di bidang pertanian. Mungkin impactnya tidak terlalu terlihat mengingat petani juga bisa mengerjakan sawahnya sendiri meski memakan waktu lebih lama. Namun, ini hanya hitungan setahun, bukan? Beberapa tahun kemudian entah apa yang terjadi.Â
Bisa jadi jumlah petani di desa yang menyiapkan bahan pangan untuk masyarakat Indonesia semakin menurun hingga bisa dihitung jari, bisa jadi buruh tani yang memutuskan untuk merantau telah sukses dan mampu membeli sawah sendiri, bisa jadi mereka enggan kembali bertani karena sudah merasakan kesuksesan, atau paling parahnya adalah petani memutuskan menjual lahan sawahnya pada perusahaan swasta lantaran sulitnya mencari pekerja yang bersedia membantunya.
Tentu saja itu hanya 'seandainya'. Sudah sepatutnya mereka yang berjuang di balik sepiring nasi yang kita santap malam ini dibayar dengan kesejahteraan, karena tidak ada orang yang ingin berlama-lama hidup dalam kemiskinan.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H