"gemah ripah loh jinawi"Â bisa jadi menjadi seutas kalimat familiar yang pantas untuk menggambarkan Indonesia. Kekayaan alamnya yang melimpah berkolaborasi dengan tanahnya yang super subur membuat negeri ini layak menyandang semboyan tersebut.
Negeri seluas 1,905 juta km2Â ini sangat beruntung memiliki lautan dengan milyaran ikan didalamnya yang cukup untuk menghidupi masyarakatnya. Selain itu, bentangan sawah seluas 8,19 juta hektar dengan padi-padi yang menguning menjelang panen juga lebih dari cukup untuk menghindarkan anak-anak negeri ini dari kelaparan.
Bahan pangan begitu mudah didapatkan di negeri ini. Saking banyaknya, tak sedikit dari  bahan-bahan tersebut yang diekspor ke luar negeri. Salah satunya adalah beras. Pada 2017 saja volume ekspor beras Indonesia mencapai 3.433 ton dalam kategori premium. Jumlah yang terbilang sangat besar.
Melimpahnya jumlah beras di Indonesia tentu tak lepas dari peran petani sebagai pihak yang secara langsung melakukan kegiatan penanaman hingga pemanenan padi. Mereka lah yang merawat bibit padi dari kecil hingga bisa dipanen dan digiling menjadi beras untuk kemudian diolah menjadi nasi sebagai makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia.
Saya tumbuh di desa kecil yang mayoritas penduduknya mengggantungkan nasib dengan bertani. Umumnya, masyarakat pedesaan memiliki sawah sendiri yang dikelola secara mandiri. Tak hanya padi, daerah saya juga menghasilkan tembakau, jagung, dan bawang merah.
Pemilik sawah biasanya dibantu oleh pekerja sebanyak 2-6 orang dalam sekali pengerjaan. Pengerjaan tersebut bisa berupa menanam, menyiram, mencabut rumput, mencari ulat, hingga memanen. Mereka yang tidak memiliki sawah ya paling-paling hanya menjadi buruh tani yang membantu pengerjaan sawah tersebut. Upahnya terbilang kecil, hanya sekitar Rp20 ribu setengah hari, dan Rp40 ribu sehari. Itupun tidak setiap hari mereka bekerja.
Jumlah upah tersebut mau tidak mau harus dicukup-cukupkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada musim tanam, atau dalam bahasa Jawa disebut musim tandur, buruh tani bisa bekerja setiap hari. namun, selama masa-masa menunggu panen, dalam seminggu mereka paling hanya bekerja 1-3 hari saja. Sementara kebutuhan mereka tak hanya seputar kebutuhan perut, namun juga uang sekolah, tagihan listrik, dan masih banyak lagi.
Kondisi ini membuat banyak buruh tani memilih untuk merantau ke luar pulau ketimbang harus bertahan dalam bayang-bayang 'irit-iritan' uang belanja. Sayangnya, tak semua dari mereka yang sukses di perantauan. Sebagian ada yang pada akhirnya memilih pulang kampung karena tak mendapat pekerjaan atau mendapat pekerjaan dengan gaji yang tak wajar.
Ujung-ujungnya, hal ini berakibat pada naiknya tingkat pengangguran di desa. Melansir CNNIndonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka atau TPT berada di angka 5,34 persen per Agustus 2018. Jumlah ini terbilang menurun 5,5 persen dibanding tahun lalu. Penurunan tingkat  pengangguran terjadi di tengah lonjakan angkatan kerja dari 128,06 juta orang menjadi 131,01 juta orang. Dengan kata lain, penyerapan tenaga kerja sebanding dengan pertambahan jumlah tenaga kerja.
Kendati demikian, tingkat pengangguran di desa malah bisa dibilang naik. Menurut data BPS, tingkat pengangguran di desa naik dari 4,01 persen pada tahun lalu menjadi 4,04 persen per Agustus tahun ini. Kepala BPS, Suhariyanto, mengungkapkan bahwa kenaikan ini disebabkan oleh jumlah pekerja pada sektor pertanian yang menyusut. Tahun lalu, pekerja di sektor pertanian tercatat sebanyak 35,7 juta jiwa, padahal tahun lalu jumlahnya mencapai 35,9 juta jiwa.
Suhariyanto berpendapat bahwa ini merupakan hal yang wajar mengingat para pekerja sektor pertanian ingin mencari penghidupan yang lebih layak selain bertani. Namun, memang tak semuanya berhasil mendapatkan pekerjaan baru, sehingga masih ada yang menganggur.
Ia juga menambahkan bahwa tingginya angka pengangguran di desa bukan merupakan indikasi gagalnya program padat karya tunai dari dana desa, lantaran program tersebut menitikberatkan pada pekerjaan konstruksi, bukan penggarapan sawah.
Menurut saya, perlu adanya terobosan baru perihal kesejahteraan pekerja di sektor pertanian. Upah tersebut bisa dibilang masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi jika pekerja tersebut telah berkeluarga. Lama kelamaan, akan semakin banyak pekerja yang memutuskan untuk merantau lantaran upah yang didapat tidak cukup untuk membeli kebutuhan yang harganya semakin naik.
Hal ini bisa saja berujung pada semakin berkurangnya tenaga kerja di bidang pertanian. Mungkin impactnya tidak terlalu terlihat mengingat petani juga bisa mengerjakan sawahnya sendiri meski memakan waktu lebih lama. Namun, ini hanya hitungan setahun, bukan? Beberapa tahun kemudian entah apa yang terjadi.Â
Bisa jadi jumlah petani di desa yang menyiapkan bahan pangan untuk masyarakat Indonesia semakin menurun hingga bisa dihitung jari, bisa jadi buruh tani yang memutuskan untuk merantau telah sukses dan mampu membeli sawah sendiri, bisa jadi mereka enggan kembali bertani karena sudah merasakan kesuksesan, atau paling parahnya adalah petani memutuskan menjual lahan sawahnya pada perusahaan swasta lantaran sulitnya mencari pekerja yang bersedia membantunya.
Tentu saja itu hanya 'seandainya'. Sudah sepatutnya mereka yang berjuang di balik sepiring nasi yang kita santap malam ini dibayar dengan kesejahteraan, karena tidak ada orang yang ingin berlama-lama hidup dalam kemiskinan.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H