Mohon tunggu...
Widi Wahyuning Tyas
Widi Wahyuning Tyas Mohon Tunggu... Jurnalis - Menulis kadang sama menyenangkannya dengan nonton mukbang.

Hidup terasa ringan selama masih ada sayur bayam, tempe goreng, dan sedikit sambal terasi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Yakin Mau Minum Obat Diet?

17 Oktober 2018   14:28 Diperbarui: 17 Oktober 2018   15:41 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"kamu kok gendutan sih?" Kalimat sederhana ini jika dilontarkan berulang kali bisa memberikan impact yang besar dalam diri seseorang. Body shamming atau ungkapan celaan tentang bentuk tubuh secara sadar maupun tidak sering kali meluncur begitu saja dari mulut kita. Sepele memang, namun bagi mereka yang menerimanya, hal ini bisa berdampak besar, terutama bagi kejiwaannya. 

Selain mengikis rasa percaya diri, body shamming juga akan meninggalkan perasaan insecure yang membekas.

Semakin sering orang menerima ucapan body shamming, semakin kuat pula mindset 'harus kurus' tertanam dalam dirinya. Mereka akan mulai melakukan berbagai macam usaha untuk menghilangkan image 'gendut' yang disandangnya, sehingga tidak akan ada lagi orang yang mencelanya.

'Memang kenapa sih kalau gendut? Banyak kok orang kurus yang pengen punya badan gendut berisi.' Betul sekali, memang jika dilihat dari kacamata orang lain yang tidak merasakannya, body shamming tentang badan gendut bukanlah masalah besar yang harus dipikirkan siang malam. Namun, lain halnya dengan mereka yang menerimanya. Body shamming adalah momok yang menyakitkan. Hiperbolis, ya? Memang begitulah adanya.

Sedikit cerita, dari kecil saya memiliki perawakan badan kurus dan susah gemuk. Saya termasuk orang yang doyan makan, bahkan makan lima kali dalam sehari adalah hal biasa bagi saya. Tapi badan saya tetap stuck tuh, nggak gendut-gendut. Padahal saya pengen banget gendut. Menginjak usia 20-an, berat badan saya naik cukup drastis, 10 kilo! Berat badan saya yang awalnya hanya 45 kilo, melonjak menjadi 55 kilo. Saya kaget tapi lumayan senang. Toh, inilah yang dari dulu saya inginkan.

Banyak teman bilang saya gendutan. Saya hanya menanggapi dengan senyum dan candaan. Tapi, entah kenapa lama-lama saya kepikiran juga. 'masa sih aku segendut itu?' pikir saya. 

Frekuensi mematut diri di depan cermin saya menjadi bertambah sering. Saya meneliti seinci demi seinci badan saya, mencoba mencari tumpukan lemak yang sukses membuat gelar 'gendut' tersandang dalam image saya. Memilih baju juga kini  menjadi  hal yang harus benar-benar dipersiapkan dengan matang. Saya sedih saat ingin memakai celana skinny yang kini sudah tidak cocok lagi dengan kaki saya.

Begitulah body shamming bekerja. Kalimat itu tidak memiliki wujud, namun tajam seperti senjata yang bisa dengan mudah menembus hingga ke relung hati. Katakanlah saya hiperbolis (lagi), namun memang begitulah kenyataannya.

'petaka' berat badan ini kerap kali memaksa seseorang untuk mengubah dirinya. Selain olahraga, diet menjadi pilihan untuk mewujudkannya. Namun, jika olahraga dirasa terlalu berat sementara diet sering kali lebih 'menyiksa', obat atau suplemen diet banyak dipilih sebagai salah satu jalan pintas yang dianggap lebih bisa membuahkan hasil tanpa harus menyiksa diri sendiri.

Umumnya, suplemen diet banyak dijual di onlineshop yang tersebar di Instagram maupun mobile marketplace. Bersenjatakan ratusan testimoni dari orang-orang yang telah berhasil menurunkan berat badan dalam kurun waktu singkat hanya dengan menelan satu butir pil diet ini setiap harinya, onlineshop tersebut bisa menjual ratusan bahkan ribuan botol setiap bulannya. Padahal, mereka yang menjual obat tersebut tidak memiliki basic dalam bidang kesehatan maupun obat-obatan, bagaimana dengan takaran dosisnya?

Dilansir dari CNNIndonesia, suplemen diet yang banyak beredar di seluruh dunia ternyata mengandung obat ilegal yang tidak disetujui peredarannya. 

Analisis dari badan pengawas obat dan makanan Amerika Serikat atau Food and Drug Administration (FDA) menemukan ratusan suplemen diet yang dijual terbuat dari obat ilegal.

Studi yang dipublikasikan di JAMA Network Open juga menemukan hampir 800 suplemen diet yang dijual pada 2007 hingga 2016 mengandung obat ilegal dan 20 persen diantaranya memuat lebih dari satu obat ilegal. Dalam banyak kasus, 9 persen dari bahan obat ilegal itu tidak dicantumkan dalam label komposisi.

Madhur Kumar selaku peneliti yang menginvestigasi tentang suplemen diet mengungkapkan bahwa produk-produk tersebut memiliki potensi untuk menyebabkan efek buruk pada kesehatan karena penyalahgunaan yang tidak disengaja, penggunaan berlebihan, atau  interaksi dengan obat lain. 

Sebagian besar suplemen diet yang mengandung obat ilegal itu terdiri dari 45 persen untuk peningkatan seksual, 41 persen untuk penurunan berat badan dan 12 persen untuk pembentukan otot. Sehingga tidak murni sebagai obat untuk menurunkan berat badan.

Kebetulan sepupu saya memiliki berat badan 85 kilogram. Dulu, dia pernah mengonsumsi obat penurun berat badan yang dibeli dari salah satu dokter umum (re; bukan dokter khusus gizi). Penurunannya bisa dibilang kurang progresif. Hanya 1 kilo setiap seminggu. Namun, ia sering merasa lemas dan diare berlebih setiap pagi.  Hal itulah yang membuatnya berhenti  mengonsumsi obat tersebut.

Jika obat dari dokter saja kurang memberikan hasil yang maksimal, lantas kenapa obat yang dijual di onlineshop malah bisa mewujudkan impian ratusan customer yang telah mengonsumsinya untuk kurus? Penjelasannya, obat-obat tersebut memang bekerja dengan cara mengembangkan protein dalam tubuh yang bisa menghambat rasa lapar. 

Sehingga, seseorang yang mengonsumsinya akan kehilangan nafsu makan. Kemudian, efek seperti sering buang air kecil akan dirasakan sebagai bentuk peluruhan lemak menjadi air seni. 

Lemak-lemak tersebut sedikit demi sedikit akan hilang seiring dengan seringnya seseorang buang air kecil. Namun, jika dikonsumsi dalam jangka panjang, akan berdampak buruk pada kesehatan hati dan ginjal. Singkatnya, lemak hilang, penyakit lain datang.

Walau demikian, kita tidak bisa serta merta menyudutkan mereka yang memilih untuk mengonsumsi obat diet. Pada dasarnya, jalan yang dipilih ini juga merupakan buah dari body shamming yang kerap diterimanya selama ini. Namun, tetap saja, menurunkan berat badan tidak bisa dicapai dengan cara instan. Butuh usaha dan effort yang tidak mudah untuk benar-benar mencapainya. Semoga kamu senantiasa menjadi orang yang bijak, baik dalam hal memilih sesuatu, maupun mensyukuri apa yang sudah kamu miliki :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun