Health isn't valued till sickness comes, benar ya? Sering kali kita lalai dalam menjaga kesehatan sebelum benar-benar merasakan yang namanya sakit. Kurangnya waktu dan menumpuknya kesibukan kerap menjadi alasan terabaikannya kesehatan. Meski demikian, banyak juga kok orang yang tetap memperhatikan kesehatannya meski sibuk. Saya sering melihat orang-orang di kantor membawa bekal berupa sayuran dan potongan buah-buahan. Entah sedang diet atau memang menghindari makanan berlemak, yang jelas itu merupakan sebuah kebiasaan baik.
Menjaga kesehatan fisik memang penting, selain memenuhi gizi tubuh, hal ini juga akan membuat tubuh lebih kuat dan tidak mudah sakit. Namun, bukan hanya kesehatan fisik saja, lho yang perlu dijaga. Kesehatan jiwa juga.
Kesehatan jiwa cenderung kerap disepelekan karena tidak menimbulkan rasa sakit secara fisik. Padahal, jiwa kita malah rentan terganggu lho. Perasaan sedih, galau karena putus, memikirkan masalah yang tak kunjung rampung, dan sederet aktivitas emosional lain tanpa disadari bisa mengganggu kesehatan jiwamu.
Hari ini, 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa sedunia. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran akan masalah kesehatan jiwa di seluruh dunia, sekaligus menggerakkan dukungan akan kesehatan jiwa.Â
Dilansir dari CNNIndonesia, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat setidaknya sekitar 300 juta orang di seluruh dunia mengidap depresi dan 50 juta lainnya mengalami demensia. Selain itu, sekitar 23 juta orang mengalami skizofrenia dan 60 juta orang mengalami gangguan bipolar. Fantastis!
Skizofrenia sendiri adalah penyakit mental kronis yang menyebabkan gangguan proses berpikir. Gejalanya adalah delusi dan halusinasi. Mereka yang menderita skizofrenia cenderung sering mendengar suara-suara dari dalam pikirannya yang mengajaknya bicara. Selain itu mereka juga kerap melihat sesuatu yang tidak nyata.
Data statistik tersebut sudah cukup membuktikan bahwa kesehatan jiwa tak boleh disepelekan. Tak hanya orang dewasa, gangguan kesehatan jiwa juga mengancam generasi milenial. Ancaman kesehatan jiwa tak hanya muncul dari respons emosional akibat suatu masalah seperti putus cinta, namun juga bisa timbul akibat teknologi.Â
Kecanggihan teknologi komunikasi memang mempermudah konektivitas dan mobilitas, namun disisi lain, konektivitas tersebut juga berpotensi menghadirkan tekanan bahkan mengganggu waktu tidur.Â
Selain itu, media sosial juga menjadi pemicu yang tak kalah berpengaruh bagi kesehatan jiwa. Hal ini berkaitan erat dengan cyber bullying yang kerap terjadi di dunia maya. Ungkapan kebencian dan diskriminasi melalui cyber bullying sangat mungkin untuk membuat jiwa seseorang terganggu.
Saya sendiri kerap melihat komentar-komentar berisi ujaran kebencian yang biasanya selalu nangkring di kolom komentar selebgram. Walaupun hanya berupa kata-kata, komentar tersebut bisa membebani pikiran orang yang menerimanya. Selain membuat seseorang menjadi insecure, komentar negatif tersebut bisa menganggu kesehatan jiwa. Tak hanya pada selebgram, komentar berisi ujaran kebencian juga sering dilontarkan untuk presiden. Presiden, loh! Apa attitude dan tata krama tidak berlaku di media sosial? Saya sampai geram sendiri melihatnya. Sangat memprihatinkan.
Jangankan ujaran kebencian, komentar berupa body shamming pun kerap membuat seseorang terbawa pikiran. Saya pernah mengunggah sebuah foto di Instagram dan dikomentari 'gendut' oleh salah seorang teman. Awalnya saya masih biasa saja, namun karena komentar itu dilakukan berulang-ulang, saya jadi kepikiran juga. Entah memang berimbas demikian, atau saya saja yang baperan. Yang jelas it's really not funny, dude.
Data resmi WHO mencatat bahwa separuh dari gangguan kesehatan jiwa dimulai dari usia 14 tahun. Usia tersebut adalah usia dimana seseorang mulai menemukan hal-hal baru. Peralihan fase dari anak-anak menuju remaja terkadang membuat seseorang kurang siap menghadapinya.  Pada masa ini seseorang cenderung mencoba mengeksplorasi hal-hal baru tanpa mau tahu dampak buruknya. Oleh karena itu, komunikasi yang baik antara anak dan orang tua sangat perlu dilakukan untuk membiasakan anak bersikap terbuka atas segala permasalahan yang dialaminya. Dengan begitu, orang tua juga bisa mengontrol dan berperan untuk membantu  pemecahan masalah yang mungkin sulit dipecahkan oleh anak seumuran mereka.
Berbagi cerita tentang suatu permasalahan kepada teman bisa menjadi salah satu upaya untuk menghindari gangguan kesehatan mental. Saat sedang sedih, seseorang cenderung tidak bisa berpikir jernih. Menyimpannya sendiri hanya akan membuatnya berlama-lama larut dalam kesedihan. untuk itu, peran seorang teman cukup penting karena dia bisa memberikan masukan yang netral tentang permasalahan yang sedang kamu hadapi. Selain itu, selalu tanamkanlah sikap positif dalam menghadapi suatu masalah. Ingat, bukan hanya kamu yang punya masalah, dan kesedihan itu tidaklah bersifat selamanya. Semua akan kadaluwarsa pada waktunya.Â
The only thing more exhausting than having a mental illness is pretending Iike you don't. Hati-hati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H