Jum'at, 28 September kemarin sepertinya menjadi hari yang tidak akan pernah terlupakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Sore itu, seketika explore Instagram penuh dengan postingan video mencekamnya gempa yang melanda wilayah Palu dan Donggala lengkap dengan seruan panik orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri sambil tetap merekam kejadian tersebut dengan tangan gemetar.
Tak sampai situ saja, gulungan ombak tinggi datang menyusul seolah murka dan ingin menyapu apa saja yang ada di dekatnya. Semuanya terjadi tanpa permisi, tanpa firasat.
Awalnya saya tak begitu mengikuti perkembangan berita ini. Yah, hanya sekedar melihat instastory berisi ucapan bela sungkawa yang membanjiri timeIine dan postingan-postingan yang kebetulan lewat di explore Instagram saya.
Saya menyesal sempat beranggapan bahwa ini hanyalah gempa kecil yang beberapa tahun terakhir ini kerap melanda Indonesia yang memang berada di daratan rawan gempa.
Tapi, hari terus berjalan. Alih-alih mereda, berita tentang bencana ini malah terus disiarkan. Perkembangan demi perkembangan terus dikabarkan. Hingga saat ini, 1400 lebih jenazah telah ditemukan dengan berbagai kondisi yang memprihatinkan.
Kebanyakan telah kaku karena tak selamat dari terjangan air tsunami. Sebagian lainnya ditemukan dalam reruntuhan bangunan yang hancur menjadi puing-puing akibat pergerakan gempa.
Seorang ayah yang menggotong mayat anaknya dan orang-orang yang menyisir puing-puing bangunan menjadi pemandangan yang biasa, sepertinya.
Situasi porak poranda yang terekam jelas dalam layar ponsel saya sukses membuat hati saya turut porak poranda. Bagaimana caranya bangkit? Sementara mereka masih harus bertarung dengan rasa trauma? Bagaimana caranya bangkit? Jika seorang anak pada akhirnya harus menjadi yatim karena kehilangan orang tuanya? Bagaimana caranya bangkit? Jika makan saja mereka harus berebut dengan yang lainnya?
Membandingkan gempa Palu dengan gempa Aceh 14 tahun silam, peneliti geofisika kelautan Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), Nugroho Dwi Hananto yang dikutip dari CNNIndonesia tidak memprediksikan gempa berkekuatan 7,4 SR tersebut bisa mengakibatkan tsunami.
Seharusnya, kekuatan gempa itu belum bisa menimbulkan tsunami. Nugroho mencotohkan gempa Wharton pada tahun 2012 dengan kekuatan 8,5 SR yang menghasilkan tsunami hanya setinggi 30 cm.
Ia juga menambahkan bawa gempa Palu kemarin masih tergolong kecil. Namun, ia pun menjelaskan bahwa tsunami tersebut bisa terjadi karena bentuk geomorfologi teluk Palu hingga Donggala yang mengimplifikasi kekuatan tsunami. Bentuk geomorfologi dasar laut di teluk ini sangat curam, lebih dari 60 derajat sehingga bisa saja mengakibatkan longsor yang pada akhirnya berujung menjadi tsunami.
Selain itu, bentuk teluk Palu terlihat seperti kanal tertutup sehingga bisa mengimplifikasi kekuatan massa air laut yang datang. Jika dilihat di peta, teluk Palu terlihat sangat menjorok.
Gambaran mudahnya seperti selokan yang ujungnya satu terbuka dan ujung lainnya tertutup. Bila dialiri air dari ujung yang terbuka, pada ujung yang tertutup pasti akan memuncratkan air. Belum lagi adanya gerakan vertikal komponen yang bisa mengganggu kolom air diatasnya sehingga menghasilkan bibit gelombang tsunami.
Saat ini, bantuan demi bantuan terus dikucurkan dari berbagai pihak. Bahkan, banyak negara asing yang secara pribadi telah menawarkan bantuan untuk Palu.
Walau demikian, memang masih banyak daerah yang belum mendapatkan bantuan. Berbagai penjarahan juga menambah warna kelam dalam catatan bencana Palu. Bagaimanapun sulitnya, saya percaya Palu akan segera bangkit.
Sedikit menoleh ke belakang, Aceh kita pernah mengalami hal serupa. Gempa berkekuatan 9,1 SR berkolaborasi dengan tsunami setinggi 30 meter telah merenggut kehidupan Aceh kala itu. Tak perlulah dideskripsikan panjang lebar, yang jelas lihat Aceh sekarang. Aceh telah berhasil bangkit. Begitu juga dengan Palu. Segera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H