Mohon tunggu...
Widi
Widi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - mahasiswa tingkat akhir

pengamat seni dan film

Selanjutnya

Tutup

Film

Film Bumi Manusia yang Mengecewakan (Review Mendalam Tujuh Divisi Produksi)

15 September 2019   18:04 Diperbarui: 16 September 2019   19:31 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai "pena" dari seorang sutradara, divisi kamera juga berhasil membawa bentuk visual yang indah secara color pallet. Tetapi hal tersebut tidak diiringi kegagalannya dalam membentuk jaman era tahun 1898an dari sisi visual. Coba kita bandingkan visual "Boemi Manusia" dengan gambar yang tajam, berwarna (saturated), dan kontras, bandingkan dengan film lain yang memperlihatkan era jaman dulu, hampir bisa dipastikan bahwa visual membentuk jaman, dengan cara low saturation, atau low contrast, atau bermain dengan fade, dan banyak lagi metoda untuk menciptakan era, secara visual. Hal-hal tersebut tidak terlihat di film ini. Jadi fungsi divisi kamera untuk menciptakan look and mood hanya sebatas mood saja, sacara look hanya mengandalkan dari divisi penataan artistik. 

Divisi suara sebenarnya cukup berhasil membawa penonton ke era 1898an, tapi hal yang cukup mengganggu bagi penulis adalah adanya vokal dari pemuda selain suara dari Iwan Fals pada lagu di film, yang memiliki nilai jual tetapi malah kurang kuat untuk dikenali secara karakter suara, sedikit saran, Iwan Fals saja yang menyanyi di lagu film ini. 

Suara Iwan Fals pada lagu di film juga menjadi nilai jual bagi divisi produksi, fans dari Iwan Fals bisa jadi adalah calon penonton potensial. Kekurangan berikutnya adalah penggunaan gamelan yang sangat minim sebagai penanda wilayah, lokasi terjadinya peristiwa film. Selain itu untuk mengiringi penonton yang sedang mengalami "latah-nasionalisme" malah menggunakan banyak music orkestrasi dan piano daripada gamelan yang merupakan orkestra dalam negeri. Tapi hal yang patut diapresiasi adalah dialog, ambience, dan efek suara berhasil diwujudkan dengan sangat baik.

Divisi penataan artistik terlihat adalah divisi yang peling berat pekerjaannya, karena harus menciptakan suasana di era tersebut secara visual. Apalagi dibantu dengan adanya Computer Generated Imagery (CGI) tepuk tangan dengan berdiri saya berikan untuk divisi artistik yang terlihat berat pekerjaannya. Walaupun begitu mereka tidak lepas dari kritik yaitu karena rumah Nyi Ontosoroh yang terlihat sekali dari tripleks, dan kereta api yang dibuat terlihat seperti mockup sangat artifisial.

Selain itu warna dari rumah tersebut yang merupakan warna pastel yang tidak mungkin bisa terwujud di tahun 1898an. Warna pada tahun tersebut sangat tegas dan kontras, warna pastel untuk cat rumah memasuki Indonesia pada tahun 1970an. Hal tersebut menunjukkan keberhasilan kerjasama antara divisi artistik dan divisi kamera akan tetapi malah menjadi kegagalan dari film. Selain itu kostum yang digunakan oleh beberapa pemeran pembantu untuk karakter Belanda menggunakan dasi yang tidak jelas bentuknya dan tidak sesuai dengan kostum harian pada tahun tersebut. 

Editor menjadi pihak yang paling berhasil menyelamatkan film ini dengan membuang shot-shot yang tidak penting, dan menggunakan dimensi ritmis yang terasa untuk meningkatkan dramatik cerita. Meskipun sangat terlihat sebagai penyampai cerita secara visual kemampuan editor disunat oleh produser karena harus memotong cerita menjadi tiga jam, padahal cerita mungkin cerita harusnya lebih dari itu dan sudah layak untuk dibagi menjadi dua bagian.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah penggemar dari novel sudah pasti kecewa dengan film "Boemi Manusia" karena banyak alasan. Cerita yang terlalu singkat. Denagn adanya novel yang dijadikan film seperti "Boemi Manusia" seharusnya bisa belajar mengadaptasi seperti keberhasilan "Harry Potter" yang tidak jauh dari novelnya. 

Produser dan Eksekutif Produser seharusnya bisa lebih percaya kepada sutradara dan kru-krunya, untuk membuat sebuah karya yang bisa memuaskan penonton. Dari marketing juga tepat karena di bulan Agustus, untuk mengingatkan kembali jiwa patriotism penonton. Walaupun begitu film ini sangat layak untuk ditonton di bioskop untuk hiburan, pembelajaran, dan inspirasi agar film-film Indonesia berikutnya bisa lebih baik daripada "Boemi Manusia". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun