Mohon tunggu...
Widi
Widi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - mahasiswa tingkat akhir

pengamat seni dan film

Selanjutnya

Tutup

Film

Film Bumi Manusia yang Mengecewakan (Review Mendalam Tujuh Divisi Produksi)

15 September 2019   18:04 Diperbarui: 16 September 2019   19:31 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Walaupun sudah terlalu banyak yang membahas film "Bumi Manusia" karya sutradara Hanung Bramantyo, akan tetapi ulasan masih seputar cerita dan hanya sedikit membahas tentang tujuh divisi yang terlibat dalam pembuatan film ini. 

Maka dari itu tulisan ini dibuat untuk membahas secara detail tujuh divisi yang terlibat dari perspektif penulis dari sisi kelebihan dan kekurangan serta beberapa impresi yang didapat ketika menonton film "Bumi Manusia". Tulisan akan dimulai dari Triangle System yang meliputi produser, penulis skenario dan sutradara sebagai tiga divisi utama yang bertanggung jawab terhadap film tersebut.

Dari sisi produksi film ini memang sudah pasti ditunggu mengingat bahwa novel yang telah ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dan judul sama adalah salah satu novel yang cukup sering menjadi pembahasan dari para pembacanya sejak lama. Beberapa film sudah menjadikan novel ini sebagai salah satu referensi, salah satunya adalah film berjudul "Nyai" karya Garin Nugroho, akan tetapi belum pernah digarap filmnya. 

Maka dari segi bisnis ini adalah peluang yang baik untuk digarap menjadi Bahasa visual dan audio, dengan harapan akan memperoleh keuntungan yang banyak. Pemilihan pemeran yang disetujui oleh produser juga adalah langkah yang tepat dari sudut pandang seorang produser karena diharapkan dengan diperankannya karakter Minke oleh Iqbaal Ramadhan dan Mawar Eva de Jongh sebagai Annelies, akan ikut mengajak kaum milenial untuk membawa mereka menyaksikan film ini. 

Akan tetapi hal tersebut juga menjadi bumerang bagi divisi penyutradaraan yang akan dibahas nanti. Rilis di bulan Agustus dimana bertepatan dengan bulan kemerdekaan negara Republik Indonesia juga menjadi hal yang perlu diapresiasi mengingat cerita film ini berkaitan dengan perjuangan bangsa, apalagi film diawali dengan meminta penonton bioskop berdiri ketika sebelum film dimulai dengan lagu kebangsaan "Indonesia Raya", hal tersebut membangkitkan rasa nasionalisme penonton yang bagi para pekerja sudah jarang mengalami pengalaman upacara bendera ketika memperingati Hari Kebangsaan Indonesia. 

Akan tetapi dengan dana sebesar (kisaran) tiga puluh miliyar Rupiah, film ini kurang optimal di hasilnya. Seharusnya dengan dana yang tidak sedikit tersebut film bisa lebih maksimal, apalagi sudah dengan menyadari ditunggunya film ini setelah kesuksesan novelnya, dana untuk promosi tidak perlu sebesar perkiraan penulis, yaitu hampir setengah dari dana film.

Sutradara Hanung Bramantyo sebenarnya sudah punya nama besar untuk menggarap film ini, bisa dilihat dari look film yang membawa penonton ke tahun 1898an yang memang tidaklah mudah. Boleh dibilang sutradar cukup berhasil dari segi bisnis, yaitu untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Walaupun begitu harus diakui keberhasilannya menggarap film ini hanya didapat dari segi bisnis saja. Karena dari segi pengadeganan Iqbaal yang harusnya menjadi protagonist kurang mewakili sosok pemuda Indonesia ketika itu. 

Maksudnya adalah pemuda dari suku Jawa ketika itu tidak memiliki kontur wajah yang setampan Iqbaal dengan hidung mancung dagu yang tajam, dan ini cukup signifikan yaitu kulit yang putih, ditambah lagi dengan postur tubuh yang tegap sangat tidak mewakili bentuk fisiologis pemuda Indonesia saat itu. Postur tubuh pemuda Indonesia ketika itu yang masih sering melakukan jalan sambil berjongkok sebagai kebiasaan yang dilakukannya di rumah orang tuanya ketika menghadap ke ayahnya tidak mungkin setegap yang dilakukan Iqbaal di film tersebut. 

Akan tetapi postur dan gestur serta bentuk fisiologis dari Annelies dan kakaknya sudah tepat apalagi pemilihan pemeran Nyi Ontosoroh yg diperankan oleh Ine Febriyanti sangat berhasil meyakinkan penonton bahwa anak-anak Indis yang terjadi dari hubungan Nyi Ontosoroh dengan suaminya yang berkebangsaan Belanda sudah tepat. Yang bisa menjadi catatan adalah karakter Nyi Ontosoroh ketika masih muda sangat jauh dan tidak mirip sama sekali dengan Nyi Ontosoroh sehingga penonton sedikit berjarak dengan film ketika Annelies menceritakan masa lalu ibunya ketika dijual kepada pihak Belanda.

Harus diakui juga bahwa yang dilakukan Iqbaal pada karakter Minke kurang berhasil karena penonton masih bisa melihat karakter "Dilan" pada diri Iqbaal, hal ini terjadi hamper di setiap adegan romantic dengan Annelies, gestur dan ekspresi Minke menjadi sangat "Dilan" dari semua angle. Selain itu pengadeganan Dilan yang tidak berhasil membawa penonton kepada sosok protagonist, karena dari visual terlihat malah yang berhasil diidentifikasi menjadi sosok protagonist adalah karakter Nyi Ontosoroh dibanding Minke. Selain itu para pembaca novel pasti mendambakan sosok Minke di film sebagai sosok pemuda pejuang bangsa dibandingkan pria yang romantis saja. 

Dari divisi skenario malah membuat banyak peristiwa romantis Minke dan Annelies dibandingkan usaha Minke yg bervisi untuk memerdekakan bangsanya dari tindasan Belanda di negerinya sendiri. Padahal di novel sosok Minke adalah sosok yang bisa membaca bahwa bangsanya menjadi tertindas, dirinya menjadi dibedakan dengan masyarakat Belanda walaupun bisa sekolah tinggi. Sifat Annelies sebagai warga Indis campuran Belanda-Indonesia yang memihak kepada kemerdekaan Indonesia cukup berhasil membawa penyeimbang bagi penonton untuk berpikir bahwa tidak semua keturunan Belanda dan dibesarkan dengan cara Belanda selalu berpihak pada Belanda dan perlakuan VOC kepada warga lokal. Kegagalan penulis skenario yang paling besar adalah penonton dibawa untuk menidentifikasi seorang protagonis yang memiliki goal, needs, and desire kepada karakter Nyai Ontosoroh ketimbang Minke. Hal tersebut juga membawa sutradara yang memproduksi hal yang sama, yaitu bukan Minke sebagai protagonis. 

Sebagai "pena" dari seorang sutradara, divisi kamera juga berhasil membawa bentuk visual yang indah secara color pallet. Tetapi hal tersebut tidak diiringi kegagalannya dalam membentuk jaman era tahun 1898an dari sisi visual. Coba kita bandingkan visual "Boemi Manusia" dengan gambar yang tajam, berwarna (saturated), dan kontras, bandingkan dengan film lain yang memperlihatkan era jaman dulu, hampir bisa dipastikan bahwa visual membentuk jaman, dengan cara low saturation, atau low contrast, atau bermain dengan fade, dan banyak lagi metoda untuk menciptakan era, secara visual. Hal-hal tersebut tidak terlihat di film ini. Jadi fungsi divisi kamera untuk menciptakan look and mood hanya sebatas mood saja, sacara look hanya mengandalkan dari divisi penataan artistik. 

Divisi suara sebenarnya cukup berhasil membawa penonton ke era 1898an, tapi hal yang cukup mengganggu bagi penulis adalah adanya vokal dari pemuda selain suara dari Iwan Fals pada lagu di film, yang memiliki nilai jual tetapi malah kurang kuat untuk dikenali secara karakter suara, sedikit saran, Iwan Fals saja yang menyanyi di lagu film ini. 

Suara Iwan Fals pada lagu di film juga menjadi nilai jual bagi divisi produksi, fans dari Iwan Fals bisa jadi adalah calon penonton potensial. Kekurangan berikutnya adalah penggunaan gamelan yang sangat minim sebagai penanda wilayah, lokasi terjadinya peristiwa film. Selain itu untuk mengiringi penonton yang sedang mengalami "latah-nasionalisme" malah menggunakan banyak music orkestrasi dan piano daripada gamelan yang merupakan orkestra dalam negeri. Tapi hal yang patut diapresiasi adalah dialog, ambience, dan efek suara berhasil diwujudkan dengan sangat baik.

Divisi penataan artistik terlihat adalah divisi yang peling berat pekerjaannya, karena harus menciptakan suasana di era tersebut secara visual. Apalagi dibantu dengan adanya Computer Generated Imagery (CGI) tepuk tangan dengan berdiri saya berikan untuk divisi artistik yang terlihat berat pekerjaannya. Walaupun begitu mereka tidak lepas dari kritik yaitu karena rumah Nyi Ontosoroh yang terlihat sekali dari tripleks, dan kereta api yang dibuat terlihat seperti mockup sangat artifisial.

Selain itu warna dari rumah tersebut yang merupakan warna pastel yang tidak mungkin bisa terwujud di tahun 1898an. Warna pada tahun tersebut sangat tegas dan kontras, warna pastel untuk cat rumah memasuki Indonesia pada tahun 1970an. Hal tersebut menunjukkan keberhasilan kerjasama antara divisi artistik dan divisi kamera akan tetapi malah menjadi kegagalan dari film. Selain itu kostum yang digunakan oleh beberapa pemeran pembantu untuk karakter Belanda menggunakan dasi yang tidak jelas bentuknya dan tidak sesuai dengan kostum harian pada tahun tersebut. 

Editor menjadi pihak yang paling berhasil menyelamatkan film ini dengan membuang shot-shot yang tidak penting, dan menggunakan dimensi ritmis yang terasa untuk meningkatkan dramatik cerita. Meskipun sangat terlihat sebagai penyampai cerita secara visual kemampuan editor disunat oleh produser karena harus memotong cerita menjadi tiga jam, padahal cerita mungkin cerita harusnya lebih dari itu dan sudah layak untuk dibagi menjadi dua bagian.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah penggemar dari novel sudah pasti kecewa dengan film "Boemi Manusia" karena banyak alasan. Cerita yang terlalu singkat. Denagn adanya novel yang dijadikan film seperti "Boemi Manusia" seharusnya bisa belajar mengadaptasi seperti keberhasilan "Harry Potter" yang tidak jauh dari novelnya. 

Produser dan Eksekutif Produser seharusnya bisa lebih percaya kepada sutradara dan kru-krunya, untuk membuat sebuah karya yang bisa memuaskan penonton. Dari marketing juga tepat karena di bulan Agustus, untuk mengingatkan kembali jiwa patriotism penonton. Walaupun begitu film ini sangat layak untuk ditonton di bioskop untuk hiburan, pembelajaran, dan inspirasi agar film-film Indonesia berikutnya bisa lebih baik daripada "Boemi Manusia". 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun