Ada yang jawab 1 sendok, 2 sendok, 3 sendok dan seterusnya, karena memang takaran sambalnya adalah sendok makan. Lumayan lega ketika menerima pertanyaan seperti itu, artinya pesanan bubur saya hampir selesai.
Sebenarnya mungkin bisa lebih cepat selesai, tapi karena yang namanya pembeli maunya beragam jadi
Hampir 30 menit saya berdiri mengantre sebelum akhirnya seporsi bubur ayam itu berada di tangan saya dan siap santap. Menatap tampilannya, sepertinya agak sulit bagi orang yang beraliran "bubur ayam diaduk" untuk mengaduknya sebelum dimakan.
Untungnya, saya termasuk aliran normal, nggak usah diaduk yang penting pelan-pelan dinikmati dari mulai krupuk, emping, baru bagian tengahnya akan berkolaborasi dengan sendirinya tanpa diaduk-aduk paksa.
Seporsi bubur ayam Landmark dengan topping "barbar" seperti itu harganya 15 ribu rupiah. Sayangnya saat saya datang pagi itu, lauk pelengkap berupa sate-satean yaitu sate usus, sate ampela, dan telur puyuh sedang absen.
"Lagi kosong Pak dari kemarin, belum buat lagi," ucap si Mamang.
Okelah, bisa dimaklumi, barangkali karena akhir tahun harga-harganya lagi naik. Tapi tanpa lauk sate-satean pun seporsi bubur ayam Landmark sudah mengenyangkan dan memang cocok untuk sarapan bagi pekerja yang bakal berjibaku dengan rutinitas pekerjaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H