Dua orang Mamang yang melayani pembeli saat itu, terlihat sudah bekerja secepat mungkin meracik bubur, tapi tetap saja saking banyaknya porsi yang harus disiapkan bakal terasa lama bagi pembeli yang antre.
Salah satu yang membuat bubur ayam ini unik dan beda adalah cara penyajiannya. Semua pembeli dilayani dengan bubur yang beralaskan kertas makan coklat.Â
Jika pembeli meminta bungkus dan dibawa ke kantornya, maka Mamang Bubur akan melipat dan membungkusnya dalam kemasan kertas. Tapi jika pembeli berniat makan di tempat, bubur tetap tersaji di atas kertas makan beralaskan mangkuk ayam jago dan silakan menikmatinya secara lesehan di tepian trotoar.
Selain cara penyajian, tampilan bubur ayam Landmark juga berbeda dengan bubur ayam pada umumnya. Topping kerupuknya terlihat melimpah ruah, ditambah remukan emping yang semakin bikin ramai.
Sebelum ditaburi kerupuk dan emping, isian bubur Landmark yang default terdiri dari irisan cakwe, kacang kedelai goreng, suwiran daging ayam, bawang goreng, dan sambal merah. Untuk sajian bubur ayam lengkap, kita tinggal bilang "campur" sebagai kode resmi yang dipahami Mamang penjual.
Sedangkan untuk pesanan khusus seperti nggak pakai kacang, nggak pakai krupuk, nggak pakai lada, kecapnya banyakin, atau nggak pakai emping, biasanya perlu lebih mendekat kepada Mamang penjualnya agar tidak salah penafsiran. Ya, padahal pesanan yang personal seperti itu secara tidak langsung bakal bikin Mamangnya berpikir lebih effort dan menambah durasi penyajian.
Kalau saya mah lebih suka pesan "campur" yang memang sudah setelan pabriknya. Dengan demikian saya bakal tahu keistimewaan rasa dari bubur ayam ini. Kecuali soal sambal, karena memang takaran sambalnya selalu ditanyakan penjual.
"Sambalnya berapa sendok ini?" tanya Mamang penjual kepada satu per satu pembeli yang antre.