Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Terima Kasih Tim Olimpiade Indonesia, yang Nyinyir Silakan Minggir

12 Agustus 2024   16:19 Diperbarui: 12 Agustus 2024   16:30 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gregoria Mariska Tunjung (Kompas.com/ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww.)

"Bro, elu yang payah, olahraga aja nggak bisa, main badminton aja nggak pernah, pakai ngatain atlet nggak becus," balas saya.

Kawan itu hanya terkekeh dan berkilah bahwa penonton bebas berkomentar. Menurutnya sudah biasa orang cuma komentar dan menyalahkan saja.

Mungkin bagi atlet kita, seperti Jorji, sudah kenyang dicaci melalui medsos. Tapi cacian, bullyan, beda dengan kritik. Komentar bernada menyerang pribadi bahkan bisa menjatuhkan mental seorang atlet, karena fokusnya menjadi terganggu.

Bahkan kritik pun rasanya kurang pas kalau ditujukan ke atletnya langsung. Bagi saya, masyarakat sah-sah saja mengritik jika itu ditujukan pada sistem pembinaan yang kurang maksimal, turnamen atau kompetisi yang seadanya, hingga fasilitas yang tidak mendukung atlet meraih potensi maksimalnya.

Sepertinya masih banyak masyarakat yang belum terbuka pandangannya terhadap perjuangan seorang atlet. Untuk bisa menjadi atlet yang lolos Olimpiade, butuh kerja keras dan prestasi yang tidak main-main.

Jangankan kelas Olimpiade. atlet kelas kabupaten hingga nasional pun melalui perjalanan berliku yang tidak mudah untuk bisa meraih label sebagai seorang atlet. Ada banyak hal yang mesti dikorbankan, misalnya sekolah hingga momen masa remaja yang tidak seperti orang pada umumnya.

Saya pernah satu sekolah yang sama dengan seorang atlet kaliber nasional yang pernah berjaya d SEA Games hingga kejuaraan Asia. Meskipun statusnya sama-sama pelajar di sekolah itu, saya sangat jarang melihatnya masuk sekolah.

Hanya momen seperti ujian yang mengharuskan ia datang ke sekolah. Selebihnya ada dispensasi khusus yang diberikan padanya.

Kurang lebih, demikian pula yang dialami oleh banyak atlet lainnya. Tanpa disiplin, kemauan kuat, dan pengorbanan, bakal mustahil mereka mencapai level yang diinginkan.

Demikian juga para orangtua atlet. Tak mudah untuk mendukung dan mendampingi anak-anaknya untuk bisa menjadi atlet berprestasi.

Maka, ketika ada orangtua yang ogah mengarahkan anaknya menjadi atlet, lebih memilih memasukkan les mata pelajaran dibandingkan les renang, bulutangkis, sepakbola, dan sebagainya, tetapi justru sering berkomentar miring kepada prestasi atlet, rasa-rasanya ada empati yang kurang terasah di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun