"Tadinya pengen ikut ekskul futsal tapi cewek nggak ada yang daftar," curhatan anak perempuan saya malam itu cukup menggelitik saya.
Ia menceritakan soal kegiatan di awal tahun ajaran baru, yaitu pemaparan dari pihak sekolah tentang seluruh kegiatan ekstra kurikuler (ekskul). Salah satunya adalah olahraga futsal.
"Padahal tadi pelatihnya bilang boleh cowok dan cewek, tapi aku malu mau ikut karena temen-temen aku nggak ada yang mau ikut," ujar si kecil yang baru naik kelas 3 SD itu.
"Udah gitu Yah, ngeselin banget ada temen cowok yang bilang ngapain cewek main bola, mending main barbie aja," lanjutnya.
Ternyata stigma bahwa sepak bola dan futsal hanya cocok dimainkan oleh kaum pria, masih melekat kuat di masyarakat kita. Sepak bola kerap diidentikan sebagai hal berbau maskulin, khas cowok, dan bukan olahraga yang pas bagi wanita.
Anak perempuan saya memang terlihat memiliki ketertarikan dengan dunia sepak bola. Belakangan ini ia antusias dan kerap menemani ketika saya nonton live pertandingan Timnas sepak bola Indonesia di berbagai ajang.
Tak ketinggalan pula ia ikut menonton di televisi kiprah Timnas sepak bola wanita ketika berujicoba melawan Hongkong beberapa waktu lalu.
Kesehariannya saat pulang sekolah atau libur juga sering bermain bola plastik dengan anak-anak sebayanya di kompleks yang rata-rata adalah laki-laki.
Sebagai orangtua tentu saya enggan melarangnya menyukai dan bermain sepak bola. Sepanjang itu masih positif, bermain sepak bola bagi perempuan seharusnya tidak menjadi masalah.
Saya sempat bertanya, apakah ia punya keinginan menjadi pemain sepak bola wanita seperti halnya pemain Timnas? Ia menjawab tidak, dirinya hanya ingin bersenang-senang dan tidak memiliki cita-cita menjadi pemain sepak bola profesional seperti layaknya Zahra Musdalifah, Claudia Scheneumann atau Shafira Ika Putri dan kawan-kawan.