Konon mangut sendiri sudah dikenal selama berabad-abad dan menjadi bagian sejarah peradaban di Jawa. Mangut bahkan tercatat dalam buku Serat Centhini karya RMA Sumahatmaka yang digubah pada 1742 tahun Jawa (1814 Masehi).
Selain ikan manyung dan ikan pe, jenis ikan lain yang biasa diolah mangut antara lain ikan lele, patin, gurame, cakalang atau tongkol, hingga ikan beong.
Beong? Apa pula beong?
Ikan beong termasuk jenis ikan endemik yang hanya dapat ditemukan di sungai. Bentuknya menyerupai ikan lele, tetapi dengan ukurannya lebih besar dan memiliki daging yang cukup tebal dan banyak di bagian kepala.
Karena ukurannya yang besar itu pula, beong lebih cocok jika dimasak mangut. Berbeda dengan lele biasa yang cukup digoreng biasa saja sudah nikmat.
Mangut beong ini cukup populer di daerah Kabupaten Magelang karena ikan beong bisa ditemukan di Sungai Progo yang mengalir melewati daerah Magelang. Tak heran jika banyak rumah makan, terutama di sekitar Kecamatan Borobudur, menyajikan kuliner mangut beong sebagai sajian utama.
Meski sama-sama mangut, antara satu daerah dengan daerah lainnya memang terdapat kekhasan tersendiri. Di daerah Bantul, DIY, misalnya, lebih mengenal mangut lele. Bahkan pecinta kuliner barangkali sudah pernah mendengar atau mencoba rumah makan mangut lele Mbah Marto yang legendaris.
Namun, secara garis besar, walaupun ikannya beda-beda, kuah mangut ikan rasanya berada di perpaduan gurih dan pedas. Lebih nikmat lagi jika muncul aroma asap alias smokey, hasil dari cara masak yang menggunakan tungku kayu bakar atau arang.
Oleh karena itulah, bagi saya, mangut dari dapur modern yang menggunakan kompor gas rasanya kurang nendang. Apalagi nasinya juga dari hasil memasak menggunakan rice cooker listrik. Ah, kurang ndeso bagi saya.
Maka bersyukur banget rasanya ketika masih ada rumah makan atau resto yang menyajikan mangut dengan konsep jadul bahkan open kitchen. Serasa nostalgia kembali ke rumah eyang, makan siang dengan mangut ikan ditemani teh panas wangi kental.