Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Para Pahlawan Energi yang Terabaikan

20 Juni 2024   21:14 Diperbarui: 20 Juni 2024   21:39 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merindu transportasi massal umum yang nyaman dan aman (foto: widikurniawan)

Seorang ibu tunanetra tampak berada di tengah kerumunan orang yang tengah menunggu KRL Commuter Line tiba di Stasiun Bojonggede. Ia berdiri di tepian peron sambil membawa tongkat bantu jalan miliknya.

Pagi itu, sekira pukul 7 kurang 5 menit, masih termasuk jam sibuk dan perlu usaha ekstra untuk bisa naik kereta yang datang.

Namun, saat kereta datang, ibu tersebut bisa naik dengan bantuan beberapa orang penumpang. Beliau pun sepertinya sudah terbiasa menggunakan KRL setiap harinya untuk pulang pergi mencari nafkah di Jakarta.

Sebagai perempuan penyandang disabilitas, ibu tersebut termasuk dalam kelompok rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih khusus sesuai dengan kebutuhannya. Hal tersebut berdasarkan pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Sebagai pengguna transportasi umum massal KRL Commuter Line ia tak sendiri. Setiap hari, khususnya pagi dan petang, penyandang disabilitas tunanetra baik laki-laki mapun perempuan banyak dijumpai menggunakan moda kereta listrik seperti halnya para pekerja penglaju pada umumnya.

Penumpang disabilitas tunanetra di moda KRL Commuter Line (foto: widikurniawan)
Penumpang disabilitas tunanetra di moda KRL Commuter Line (foto: widikurniawan)

Satu hal yang selama ini seolah terabaikan adalah kenyataan bahwa pengguna transportasi umum massal berbasis listrik, terutama di kota-kota besar seperti di wilayah Jabodetabek, sesungguhnya telah berperan sebagai pahlawan energi. Mereka tidak ikut "membakar" BBM yang menciptakan polusi, serta tidak turut atau tidak banyak menikmati subsidi yang melekat pada BBM.

Sektor transportasi menjadi salah satu yang mudah disorot dalam transisi energi yang sedang dilakukan Indonesia. Penyebabnya tak lain adalah perkara kian menipisnya ketersediaan BBM dari fosil yang diprediksi bakal segera habis.

Maka transisi energi dari fosil ke energi terbarukan berwujud listrik menjadi salah satu prioritas dalam rangka ketahanan energi nasional. Beruntung kita memiliki jaringan kereta listrik di Jabodetabek dan jalur Solo-Yogyakarta, meskipun harus diakui masih terbilang terbatas dan perlu peningkatan di berbagai hal.

Sayangnya, pengguna transportasi massal umum, khususnya yang berbasis listrik, nyaris tak dianggap sebagai pihak yang berjasa dalam transisi energi. Mereka tetap dipandang sebagai pengguna yang "terpaksa" naik moda transportasi tersebut dengan alasan harga murah dan keterbatasan pilihan transportasi jenis lainnya.

Padahal dari sisi perencanaan penggunaan energi untuk transportasi, mereka memulainya dari saat memilih hunian. Menjamurnya hunian yang berlokasi di dekat stasiun-stasiun di daerah pinggiran Jakarta, dari mulai kos-kosan, rumah petak, kontrakan, hingga perumahan, menunjukkan bahwa moda transportasi berbasis listrik itu memang diandalkan untuk mobilitas.

Mereka yang memilih hidup mendekat dengan stasiun kereta listrik memiliki kesadaran bahwa transportasi paling efisien saat ini, khususnya di Jabodetabek, adalah KRL Commuter Line.

Jika dirunut sejak era belum tersedianya moda transportasi kereta seperti saat ini, kelompok miskin dan rentan dulunya mengandalkan alat transportasi darat seperti sepeda, becak, cikar, hingga gerobak. Bagi yang secara ekonomi tak naik kelas, kehadiran teknologi kereta listrik menjadi angin segar dari era KRL kelas ekonomi hingga Commuter Line di masa sekarang.

Terdapat hubungan saling membutuhkan antara penyedia jasa transportasi massal berbasis listrik dengan penumpang, termasuk kelompok rentan seperti lansia, perempuan hamil, hingga disabilitas.

Sebagai gambaran, silakan saja amati pola pergerakan masyarakat penglaju dari arah Bogor ke Jakarta setiap harinya. Jika kaum laki-laki punya pilihan menggunakan kendaraan pribadi termasuk sepeda motor dan mobil, maka pilihan bagi perempuan, lansia dan penyandang disabilitas memang lebih terbatas.

KRL Commuter Line menjadi moda yang diandalkan, khususnya mereka yang tak berdaya dan tidak memiliki akses kendaraan pribadi. Jika dihitung secara kasar, jumlah penumpang dari kalangan perempuan dan kelompok rentan menjadi mayoritas di dalam KRL Commuter Line saat jam sibuk.

Hitungannya jelas, ada dua gerbong khusus wanita di paling depan dan paling belakang. Sedangkan di gerbong lainnya perempuan pun mendominasi.

Situasi yang masih jauh dari ideal dalam rangka pemenuhan kebutuhan sektor transportasi (foto: widikurniawan)
Situasi yang masih jauh dari ideal dalam rangka pemenuhan kebutuhan sektor transportasi (foto: widikurniawan)

Namun, situasi kepadatan di dalam kereta listrik tersebut menjadi permasalahan tersendiri. Kelompok rentan dan perempuan kerap menjadi korban dari situasi tidak menguntungkan di dalam KRL Commuter Line.

Hampir tiap hari di jam sibuk ada saja pemandangan saat penumpang perempuan pingsan karena berdesakan. Juga bukan pemandangan asing lagi ketika perempuan hamil berjalan tergopoh-gopoh menyibak kepadatan penumpang sambil setengah berteriak dengan nada mengiba.

"Permisi! Saya hamil, bisa minta bangkunya!"

Kalimat tersebut bisa terucap berkali-kali sampai ada penumpang yang terketuk hatinya untuk memberikan tempat duduk. Masalahnya, kerap terjadi situasi saat para penumpang yang duduk memang termasuk sesama penumpang prioritas. Entah itu sesama perempuan hamil, lansia, disabilitas, orang tua dengan anak balitanya, hingga mereka yang memang tengah dalam kondisi tidak sehat.

Belum lagi risiko terjadinya kejahatan yang menyasar perempuan dan kelompok rentan. Dari mulai copet, pencuri tas, hingga kejahatan seksual. Menjadi ironi jika penyediaan transportasi massal umum justru menjadi sasaran empuk para pelaku kejahatan.

Posisi lemah kelompok rentan yang berada di kepadatan kereta listrik setiap harinya seolah tak pernah tersuarakan ke dunia luar. Padahal terjadi tidak jauh dari pusat pemerintahan dan pusat informasi di negeri ini.

Realitas ini menjadi tanda tanya besar dalam rangka transisi energi adil yang menjunjung hak asasi manusia. Sektor transportasi menjadi salah satu infrastruktur pokok dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia. Tentu saja menjadi PR besar bagi negara untuk memenuhi dan menyediakan layanan transportasi umum yang layak, aman, nyaman, dan merata.

Ketersediaan transportasi umum sejauh ini dapat kita rasakan mampu mendorong peningkatan ekonomi hingga pemenuhan hak dasar manusia seperti kesehatan, pendidikan, hingga pekerjaan.

Kawasan Jabodetabek memang sudah tersedia layanan KRL Commuter Line, MRT Jakarta, LRT, hingga bus transjakarta yang berbasis energi listrik. Tetapi harus diakui, khususnya KRL yang menjadi andalan kelompok rentan dan kalangan menengah ke bawah, masih jauh dari ideal dan berkeadilan untuk memberikan keamanan dan kenyamanan bagi penumpangnya.

Pemenuhan transportasi umum massal berbasis listrik serupa di Jabodetabek, bahkan terasa masih jauh jika diharapkan dapat hadir di daerah-daerah lain di Indonesia, khususnya di luar Jawa.

Ya, memang demikianlah keadaan saat ini.

Kesetaraan, keamanan, dan kenyamanan nyatanya masih jauh untuk bisa dinikmati pengguna transportasi massal umum di negeri ini. Faktor kemiskinan juga menjadi salah satu pendorong.

Perempuan dan kelompok rentan tak akan jauh-jauh ke Jakarta, misalnya, andai di dekat tempat tinggalnya tersedia lapangan pekerjaan lokal yang memadai. Jakarta masih menjadi magnet untuk mencari nafkah, walaupun itu sekedar mengamen bagi penyandang disabilitas.

Dilansir dari website indonesia.oxfam.org, sejatinya perempuan bersama dengan anak muda dapat menjadi pelopor perubahan dalam kehidupan, keluarga, dan lingkungan mereka, serta masyarakat secara keseluruhan.

Hal itu menjadi salah satu visi dari Oxfam Indonesia, di samping cita-cita agar masyarakat Indonesia akan hidup setara dan bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan, menikmati hak-hak mereka dan tangguh pada saat terjadi bencana.

Termasuk para pahlawan energi yang seolah terabaikan perannya. Semoga ke depan, akan semakin terlihat peran besar mereka, mendorong arti penting transportasi massal umum bagi masyarakat luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun