Hanya saja, Gopar yang santuy lebih menawarkan pemandangan di luar kereta yang menarik, melewati hamparan sawah hijau, sungai dan pemukiman penduduk yang bagi mata orang Jakarta mungkin terasa langka dan adem.
Perjalanan 2 jam 45 menit pun cukup bisa digunakan untuk memejamkan mata dan tidur.
Sedangkan Whoosh? Ah, walaupun tempat duduk lebih nyaman tapi untuk tidur dalam waktu singkat rasa-rasanya menjadi sebuah kerugian. Meskipun juga dengan memandang keluar jendela hanya bakal terlihat bak kilatan yang tak terlihat jelas.
Gopar memang bisa menjadi pilihan pas yang memiliki keluangan waktu dan mager. Titik awal dan akhir stasiun bisa menjadi salah satu pertimbangan pula.
Orang dari Jakarta atau sebaliknya yang lebih nyaman turun atau naik di Stasiun Gambir tentu lebih pas memilih Gopar. Misalnya saja warga Menteng atau Tanah Abang Jakarta Pusat tentu harus effort lebih jika menuju Halim dibandingkan ke Gambir.
Terlebih orang Bekasi, tentu memilih Gopar daripada Whoosh menjadi masuk akal karena Gopar berhenti di Stasiun Bekasi, sedangkan Whoosh tidak. Tapi bila dari atau menuju Bekasi menggunakan Whoosh, sudah ada LRT Jabodebek yang bisa digunakan untuk nyambung karena Stasiun Kereta Cepat Halim juga terintegrasi dengan Stasiun LRT Halim.
Banyak pula yang berpendapat bahwa naik Whoosh ke Bandung yang bikin ribet adalah mesti nyambung kereta feeder di Stasiun Padalarang menuju Stasiun Bandung. Sah-sah saja berpendapat, tetapi pengalaman saya saat itu, proses transit dan kemudian naik lagi kereta feeder tidak terlalu merepotkan. Tapi mungkin memang cukup rempong jika barang bawaan anda terlalu banyak dengan koper-koper besar.
Pada akhirnya Whoosh memang menang dari sisi kecepatan dan kenyamanan. Lebih cocok bagi orang-orang yang mementingkan efektivitas waktu, seperti mereka yang memiliki urusan bisnis atau pekerjaan PP Jakarta-Bandung.