"Duh, serbasalah asline Mas, sebenarnya hati kecilku ya nggak setuju, tapi kalau aku nggak tanda tangan kasihan juga, katanya butuh buat macem-macem."
Curhatan tersebut pernah terlontar dari seorang pejabat menengah di sebuah instansi pemerintah. Dia menyoal kegalauan saat harus menandatangani persetujuan pengajuan kredit di bank bagi para anak buahnya. Sebagai atasan, dia pun mau tidak mau selalu mengiyakan jika ada yang menyodorkan surat persetujuan semacam itu.
Kehidupan PNS sejak dulu memang identik dengan tergadainya SK atau surat keputusan sebagai jaminan kredit di bank. Istilahnya, nyekolahin SK.
Seorang kerabat saya, yang kebetulan PNS, pernah bercerita bahwa dia nggak bakal bisa membeli rumah jika SK PNS miliknya tidak sekolah ke bank. Bahkan, SK yang "sekolah" itu nggak "lulus-lulus" selama bertahun-tahun, dan diprediksi baru bisa "lulus" menjelang masa pensiunnya.
Atas nama kebutuhan hidup yang beragam dan semakin mencekik, mengambil kredit atau pinjaman, atau bahasa lugunya hutang, menjadi solusi yang tak jarang diambil.
Beruntunglah para PNS, setidaknya ada SK dan penghasilan bulanan yang tetap, sehingga pihak bank dan penyedia jasa kredit lainnya berlomba-lomba merayu dan menggoda mereka untuk mengambil pinjaman atau kredit.
Kini, ketika ada wacana sistem single salary bagi PNS, apakah berpengaruh terhadap pola "penyekolahan" SK mereka?
Pemerintah memang tengah menggodok sistem penggajian PNS dengan single salary. Artinya, PNS hanya akan menerima satu jenis penghasilan saja yang merupakan gabungan berbagai komponen penghasilan. Jika sebelumnya gaji dan tunjangan kinerja terpisah, dengan single salary bakal digabung jadi satu, termasuk komponen penghasilan lainnya jika ada.
Jika menilik konsep single salary yang telah beredar di berbagai pemberitaan, Â dalam sekali penghasilan, bisa jadi seorang PNS akan terima sekali dengan nominal yang cukup besar.
Ini berbeda dengan sistem saat ini yang masih terpisah-pisah dan bisa diberikan dalam waktu yang berbeda, misal gaji diberikan awal bulan, sedangkan tunjangan kinerja dibayar di tengah bulan.
Nah, ketika single salary sudah berlaku, dan seorang PNS bisa terima penghasilan sekali sebulan dalam jumlah yang lebih besar daripada sebelumnya, hal ini tentu terlihat lebih "menggiurkan" dan lebih mudah bagi pihak bank untuk berlomba-lomba menarik nasabah kredit dari kalangan PNS.
Katakanlah nantinya seorang PNS menerima single salary sebesar Rp 10 juta per bulan. Padahal, sebelumnya di sistem gaji lama ia menerima gaji pokok bulanan sebesar Rp 4 juta ditambah tunjangan kinerja Rp 4 juta dan tunjangan lain-lain sebesar Rp 1,5 juta.
Jika dirinci, sebenarnya tak beda jauh, dan mungkin ada kenaikan sedikit saja. Tetapi ketika menerimanya dalam bentuk single salary di awal bulan, bisa jadi terasa banget lebih "wow" diguyur penghasilan langsung Rp 10 juta dibandingkan menerima penghasilan secara terpisah-pisah.
PNS pun seolah-olah menerima nominal besar sekali terima. Alhasil, bisa jadi banyak yang merasa lebih percaya diri untuk mengambil pinjaman di bank atau ke lembaga pembiayaan lainnya.
Dalam sistem saat ini seorang atasan akan melihat sisa gaji pokok anak buahnya tinggal berapa sebelum memberikan persetujuan pengajuan kredit. Sedangkan tunjangan lainnya, terutama tunjangan kinerja kerap tak dilihat, agar si PNS ini punya semacam dana cadangan atau tabungan agar gajinya tak habis untuk "sekolah".
Maka ketika single salary diterapkan, yang terlihat dan dihitung hanyalah satu jenis penghasilan. Jika tak hati-hati, sisa penghasilan si PNS bisa terseret mendekati habis jika dia tak bisa mengendalikan diri.
Okelah, kalau bank biasanya ikut menghitung juga sisa penghasilan si peminjam agar tetap bisa bernapas, misal hanya mau memberikan pinjaman dengan angsuran tak lebih dari 50% penghasilan PNS tiap bulannya.
Masalahnya, jika si PNS ini merasa masih memiliki sisa penghasilan dan tergiur untuk mengambil kredit lain yang bersifat konsumtif dan lebih mudah diurus, semisal kredit kendaraan bermotor, di sinilah bahayanya. "Setan" kredit sedang beraksi rupanya.
Single salary, berapa pun banyaknya itu, sebaiknya tidak membuat mata PNS jadi silap. Tertipu oleh fatamorgana nominal yang ternyata tak beda jauh dari penghasilan di sistem penggajian sebelumnya.
Berawal dari tergiur memiliki ini dan itu, kredit menjadi langkah yang diambil. Tetapi terbirit-birit karena kredit kemudian tercekik karenanya, tentu patut diwaspadai karena bibit-bibit kelakuan tercela bisa jadi tumbuh dari situ.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI