Keberadaan ojol, opang, dan bajaj yang kerap nongkrong di sekitar stasiun di Jakarta adalah akibat ketersediaan feeder yang harusnya disediakan sepaket dengan transportasi massal belumlah maksimal.
Transjakarta saat ini memang telah mengembangkan transportasi feeder dari dan ke stasiun-stasiun maupun kawasan transit oriented development (TOD). Tapi itu belum cukup.
Masih terbatasnya armada serta kendala macet, membuat feeder dari TransJakarta dianggap "lelet" dan menjadi pilihan kesekian dibandingkan ojol yang menjadi favorit.
Jika dicermati fenomena ini lebih teliti, maka pengguna transportasi massal bukan berarti tidak berkontribusi terhadap polusi jika untuk menuju dan pergi dari stasiun atau halte justru mengandalkan ojol.
Nah, ketika bicara ojol maka yang ada adalah soal dilema bagi pemerintah dan masyarakat. Saya pernah bertanya kepada para ojol, berapa jam dalam sehari mereka jalan, dan banyak di antara mereka mengaku dari pagi hingga malam menggeber motornya mengasapi Jakarta.
Tentu ada jam-jam istirahat bagi mereka. Tapi yang jelas mereka bukanlah pekerja kantoran yang naik sepeda motor di pagi hari, diparkir sekitar 8 jam, dan sesudahnya digeber untuk perjalanan pulang lagi.
Kontribusi asap lainnya adalah taksi baik konvensional maupun online. Ketika penumpang lebih memilih taksi dibandingkan naik MRT atau transjakarta untuk mobile di dalam kota, berarti memang ada masalah dengan keterjangkauan stasiun transportasi massal di dalam kota beserta feeder-nya.
Membatasi keberadaan ojol atau taksi bukan pula sebuah solusi, mengingat sektor itu juga merupakan lapangan pekerjaan yang cukup membantu perekonomian.