Polusi udara di wilayah Jabodetabek akhir-akhir ini menjadi sorotan karena dalam kondisi buruk dan dinilai kian berisiko. Asap kendaraan bermotor dituding memiliki kontribusi terhadap kualitas udara yang buruk.
Seolah template dari masa ke masa, salah satu seruan untuk mengurangi polusi udara adalah imbauan masyarakat untuk beralih menggunakan transportasi umum sehari-hari.Â
Imbauan yang seolah juga masuk telinga kiri dan keluar dari telinga kanan, sebab masyarakat yang memang kadung enggan menggunakan transportasi umum, bakal sulit diajak berpindah ke transportasi umum.
Salah satu penyebab malasnya seseorang naik transportasi umum adalah keterbatasan feeder atau angkutan pengumpan. Mulai dari rumah ke stasiun KRL, LRT, atau untuk mencapai halte TransJakarta terdekat, bisa saja jaraknya terlalu jauh dan butuh moda penyambung.
Misal, ketika seseorang tinggal di daerah Cikeas, Kabupaten Bogor, dan tiap hari bekerja di Jakarta, maka sudah pasti ia bakal kesulitan untuk mengakses stasiun KRL terdekat mengingat jarak tempuh ke stasiun seperti Stasiun Bogor atau Stasiun Cibinong bisa memakan waktu kurang lebih 1 jam berkendara.
Demikian juga ketika seseorang bekerja di kawasan Barito, Jakarta Selatan, dan rumahnya di daerah Bogor. Maka perlu effort tinggi nyambung-menyambung naik bus TransJakarta, lanjut MRT hingga naik KRL.
Di daerah penyangga Jakarta seperti Depok dan Bogor pun, angkot yang digunakan sebagai feeder ke stasiun lebih banyak berusia uzur dan sebenarnya kurang layak jalan dan tidak menjamin keamanan serta kenyamanan.
Banyak orang bahkan lebih memilih naik ojek untuk menuju stasiun terdekat. Ini juga dikarenakan tiadanya kendaraan umum yang masuk hingga perumahan atau pemukiman warga. Tentu saja opsi ngojek ini butuh ongkos lebih besar daripada naik transportasi umum lainnya.
Meskipun kini banyak digunakan, ojek baik pangkalan (opang) maupun ojek online (ojol) bukanlah termasuk transportasi umum. Harus diakui, meskipun telah berkembang pesat, sistem transportasi massal di Jakarta dan sekitarnya belum semuanya terintegrasi dengan baik, termasuk dalam hal ketersediaan feeder.
Keberadaan ojol, opang, dan bajaj yang kerap nongkrong di sekitar stasiun di Jakarta adalah akibat ketersediaan feeder yang harusnya disediakan sepaket dengan transportasi massal belumlah maksimal.
Transjakarta saat ini memang telah mengembangkan transportasi feeder dari dan ke stasiun-stasiun maupun kawasan transit oriented development (TOD). Tapi itu belum cukup.
Masih terbatasnya armada serta kendala macet, membuat feeder dari TransJakarta dianggap "lelet" dan menjadi pilihan kesekian dibandingkan ojol yang menjadi favorit.
Jika dicermati fenomena ini lebih teliti, maka pengguna transportasi massal bukan berarti tidak berkontribusi terhadap polusi jika untuk menuju dan pergi dari stasiun atau halte justru mengandalkan ojol.
Nah, ketika bicara ojol maka yang ada adalah soal dilema bagi pemerintah dan masyarakat. Saya pernah bertanya kepada para ojol, berapa jam dalam sehari mereka jalan, dan banyak di antara mereka mengaku dari pagi hingga malam menggeber motornya mengasapi Jakarta.
Tentu ada jam-jam istirahat bagi mereka. Tapi yang jelas mereka bukanlah pekerja kantoran yang naik sepeda motor di pagi hari, diparkir sekitar 8 jam, dan sesudahnya digeber untuk perjalanan pulang lagi.
Kontribusi asap lainnya adalah taksi baik konvensional maupun online. Ketika penumpang lebih memilih taksi dibandingkan naik MRT atau transjakarta untuk mobile di dalam kota, berarti memang ada masalah dengan keterjangkauan stasiun transportasi massal di dalam kota beserta feeder-nya.
Membatasi keberadaan ojol atau taksi bukan pula sebuah solusi, mengingat sektor itu juga merupakan lapangan pekerjaan yang cukup membantu perekonomian.
Namun, menjadikan mereka feeder di saat angkot dan minibus belum maksimal perlu perhatian khusus terhadap efek produksi polusi yang dihasilkan. Mengganti kendaraan ojek ke listrik bisa jadi solusi.
Memang penyedia jasa aplikasi ojol sudah memfasilitasi keberadaan ojol listrik, tapi rupanya masih terbatas juga. Andai 80 persen saja ojol di Jakarta menggunaan sepeda motor listrik, mungkin polusi bisa ditekan.
Semalam, saya kebetulan pulang larut malam dari tempat kerja dan terpaksa naik ojol ke stasiun KRL Duren Kalibata. Kebetulan pula dapat ojol dengan sepeda motor listrik.
Kata abang ojol itu, sepeda motor listriknya setiap hari digeber dari pagi hingga malam dan sejauh ini cukup tangguh dan lebih hemat daripada motor BBM.
"Palingan tiap empat jam sekali ganti baterai, yang habis dicas dulu, gitu aja sih," ujarnya.
Sebagai penumpang, saya pun cukup terkesima dengan performa ojol listrik itu. Mesinnya halus minim getaran, nyalip truk pun dijabani dengan lancar.
Saya membayangkan andai ada kebijakan wajib listrik bagi sepeda motor ojol. Dibarengi wajib listrik bagi kendaraan dinas instansi pemerintah. Lalu kian diperbanyak unit TransJakarta listrik yang mengaspal di Jakarta. Tentu polusi tak akan separah ini.
Namun, yang terpenting masalah transportasi harus dibenahi segera. Penyediaan feeder yang nyaman dan murah sangat dinanti masyarakat.Â
Salah satu cara untuk menarik minat para pengguna kendaraan pribadi untuk beralih ke transportasi massal, mutlak dibutuhkan penyediaan feeder-feeder berupa angkot modern, minibus, dan penambahan rute-rute TransJakarta yang menjangkau stasiun-stasiun kereta, MRT, dan LRT.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI