Sore itu seperti biasa Stasiun Manggarai dipadati oleh para penumpang KRL Commuter Line yang berpindah kereta atau transit. Utamanya bagi penumpang tujuan Depok/Bogor, maka jika ia naik dari Stasiun Sudirman atau Tanah Abang mau tak mau harus turun dan berganti kereta.Â
Proses transit inilah yang selalu berpotensi bikin chaos karena semua orang berebutan untuk segera bisa menuju lantai atas untuk mengejar kereta selanjutnya.Â
Sore itu pula untuk kali pertama, saya merasakan bagaimana rasanya sedang berada di eskalator dan tiba-tiba eskalator itu mati mendadak. Dalam kondisi dipenuhi banyak orang, alhasil banyak pula yang terhuyung dan nyaris kehilangan keseimbangan.Â
Sejak perubahan pola transit kereta di Stasiun Manggarai, fasilitas eskalator atau tangga berjalan memang selalu menjadi sorotan pengguna. Berulang kali eskalator mati dan hidup lagi beberapa saat kemudian.Â
Namun, merasakan sensasi eskalator yang "ujug-ujug" mati tentu tak pernah dirasakan oleh para pemangku kebijakan di bidang perkeretaapian di negeri ini.Â
Ironisnya, saat itu terlihat ada beberapa orang tua, dan juga orang yang terlihat menggunakan tongkat bantu jalan. Ikut berdesakan naik eskalator dan ujung-ujungnya mati mendadak.Â
Berdasarkan pengamatan, salah satu eskalator di peron 8-9 serta satu lagi eskalator yang menghubungkan lantai concourse ke arah peron 12-13, sudah mati lebih dari sebulan lamanya.Â
Rasa-rasanya ini rekor baru eskalator mati di Stasiun Manggarai. Entah apa kendalanya, yang jelas jangan sampai lama-lama eskalator mati itu justru jadi tangga manual atau malah jadi monumen.Â
Di eskalator peron 8-9, sudah sering terjadi insiden saling dorong dan himpit ketika dalam waktu bersamaan keluar dari KRL dan bergegas menuju eskalator. Apalagi saat eskalator tinggal satu yang berfungsi. Maka jangan heran jika ucapan "aduh" hingga umpatan serta sumpah serapah kerap terdengar di sini.
Hingga Senin, 31 Juli 2023 malam, kedua eskalator tersebut belum ada tanda-tanda bakal berfungsi kembali.Â
Namun, ada hal baru yang akhir-akhir ini dilakukan untuk mencoba mengurai kepadatan penumpang yang menumpuk di satu eskalator yang masih berfungsi menuju peron 12-13.
Jika diperhatikan, saat sore hingga malam ketika jam sibuk, ada beberapa petugas security yang sahut menyahut berteriak mengarahkan penumpang agar menuju tangga manual menuju lantai atas.Â
"Bogor Depok silakan memakai tangga manual!"
"Bogor! Depok! Bogor! Depok!"
Karena diucapkan berulang kali, maka situasinya jadi mirip terminal bus yang banyak terdapat orang berteriak menyebutkan jurusan bus. Hmm, calon stasiun sentral terbesar di Asia Tenggara ternyata begini rasanya.
Sayangnya teriakan-teriakan itu tidak terlalu signifikan mengalihkan arus dari eskalator yang tinggal satu yang berfungsi ke arah tangga manual di ujung selatan. Ya wajarlah, jam-jam sore begitu lebih banyak orang sudah kelelahan akibat seharian bekerja, mosok disuruh naik tangga manual lagi?Â
Mereka yang dalam kondisi tidak sehat, bawa anak kecil, serta lansia, faktanya masih lebih memilih berdesakan naik eskalator ketimbang berjubel  dan antre di lift prioritas.Â
Lalu sampai kapan eskalator itu tetap rusak dan berpotensi rusak lagi di masa mendatang? Begitu sulitkah menyediakan fasilitas eskalator yang mumpuni untuk publik?
Menilik begitu seringnya eskalator di Stasiun Manggarai yang rusak, perlu dilakukan evaluasi terhadap pemilihan vendor dan merk eskalator. Jika diperhatikan, merk eskalator yang digunakan di Stasiun Manggarai memang bukanlah merk populer di dunia eskalator dan tidaklah cocok jika dipasang di stasiun atau pusat transit transportasi publik yang teramat padat.Â
Dengan pemakaian untuk sedemikian banyak orang seharusnya dibutuhkan jenis eskalator terbaik yang tidak mudah rusak. Rata-rata stasiun MRT Jakarta, LRT hingga Bandara, menggunakan merk eskalator yang memang sudah dikenal reputasinya.Â
Demikian juga di Stasiun Gambir yang sudah puluhan tahun melayani penumpang KA, eskalatornya bahkan lebih awet dari Stasiun Manggarai yang baru seumur jagung.
Pada intinya, sarana dan fasilitas pendukung transportasi publik semestinya tidak boleh mengabaikan kualitas, karena ini menyangkut kenyamanan dan keselamatan orang banyak.Â
Ketika Stasiun Manggarai diubah pola transitnya menjadi vertikal, maka fasilitas eskalator dan lift adalah ujung tombak. Tidak mungkin juga semua orang disamaratakan kemampuannya untuk menggunakan tangga manual, terlebih dengan kondisi berjubel dengan banyak manusia lainnya.Â
Maka, akan sangat lucu ketika pihak pengelola justru mengampanyekan tangga manual sebagai pembakar kalori. Ah, pembakar kalori apaan? Pembakar emosi sih iyee..Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H