Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jalan Tengah Acara Wisuda Sekolah

17 Juni 2023   19:25 Diperbarui: 18 Juni 2023   19:00 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Unsplash.com/Mufid Majnun

"Besok anakku wisuda SD, asli bingung banget mau izin cuti, bos bakal marah nggak ya?" ucap seorang rekan kerja beberapa hari lalu.

Buat dia, bukan masalah biaya wisuda seperti yang tengah heboh di media sosial. Tapi soal kehadirannya sebagai orangtua siswa. Cuti memang jadi hak pekerja, tapi meminta izin soal itu rasanya perlu tebal muka dan mental kuat.

"Kalau cuti alasannya anak wisuda sarjana sih pasti dikasih plus ucapan selamat, lha ini anak SD wisuda kok kayaknya gimana gitu," lanjutnya.

Sebagai seorang ibu sekaligus pekerja, ia memang sadar dilema dan konsekuensinya. Lebih susah juga meminta suaminya hadir saat wisuda karena suaminya bekerja di luar kota.

"Lagian aneh-aneh saja sih, wisuda gitu kan mestinya hari Sabtu atau Minggu biar kasih kesempatan orangtua yang kerja bisa datang."

Saya hanya tersenyum mendengarnya. Ya, saya sendiri tahun lalu mengalami hal serupa. Bahkan dua momen sekaligus, anak pertama wisuda SD, anak kedua wisuda TK. Keduanya dihelat di hari kerja.

Terpaksa dua-duanya saya tidak bisa hadir karena tempat saya bekerja bukanlah "kantor milik nenek saya", jadi hanya istri saya yang bisa hadir. Tapi hal itu sempat membuat anak saya cemberut melihat teman-temannya lebih banyak ditemani kedua orangtuanya, komplit dan naik panggung segala difoto satu per satu.

Lain lagi dengan cerita seorang ibu yang bekerja sebagai tukang seterika baju panggilan dan juga kadang ojek antar jemput anak sekolah. Saya tahu betul latar belakang ekonomi keluarganya karena sesekali menggunakan jasanya.

Ia pernah mengeluhkan pihak SMK tempat anaknya menamatkan sekolah tahun lalu. Ijazah atau tanda kelulusan anaknya sempat tertahan berbulan-bulan karena ia belum sanggup melunasi uang sekolah, termasuk yang digunakan sebagai biaya wisuda lulus SMK.

Memang tak sampai tembus 1 juta rupiah, tapi bagi dia sungguh memberatkan, terlebih masih ada anak bungsu yang juga butuh biaya di bangku SMP. Sedangkan suami ibu itu juga tak memiliki penghasilan tetap, kadang jadi kuli bangunan dan pekerjaan upahan lainnya jika ada orang membutuhkan.

Gara-gara ijazah belum keluar itulah, si anak sulungnya kerepotan mencari pekerjaan. Selama berbulan-bulan ia pun hanya bergantian peran dengan ibunya untuk ngojek dengan motor pinjaman, termasuk antar jemput anak saya ke sekolah.

Syukurlah, usai lebaran lalu banyak rezeki mengalir sehingga ijazah itu bisa diambil setelah tunggakan uang sekolah dan berbagai iuran lainnya dibayarkan lunas.

Dari dua cerita nyata di atas, bisa dikatakan bahwa acara wisuda sekolah, dari TK hingga sekolah lanjutan atas, memang bisa menimbulkan ekses-ekses yang beragam. Dari soal waktu pelaksanaan, hingga masalah biaya yang kini tengah jadi sorotan.

Ada kemudian pihak yang menyuarakan agar wisuda anak sekolah sebaiknya ditiadakan oleh Kemdikbud. Tepatkah usulan ini?

Ada yang berpendapat bahwa setidaknya orangtua bisa bangga melihat anaknya mengenakan toga karena belum tentu sanggup menyekolahkan hingga wisuda dari bangku kuliah.

Menilik pendapat ini justru tidak tepat menurut saya. Buktinya banyak kisah sukses anak yang berhasil lulus sarjana meskipun dari keluarga yang tidak mampu. Banyak jalan untuk bisa sampai ke jenjang kuliah, antara lain karena beasiswa hingga menembus sekolah kedinasan yang gratis.

Soal perhelatan wisuda anak sekolah, sebenarnya sah-sah saja jika pelaksanaannya memang tidak memberatkan orangtua. Faktanya memang, meskipun difasilitasi oleh komite sekolah atau POMG (persatuan orangtua murid dan guru), komunikasi orangtua murid bisa saja tidak menyeluruh dan kerap timbul miskomunikasi serta suara minoritas yang tak terdengar.

Komite sekolah sebagai wadah komunikasi orangtua terkadang tak selamanya bisa menjadi perwakilan yang menyuarakan kesepakatan atas suatu hal, misalnya penyelenggaraan acara wisuda dengan nominal biaya tertentu.

Tak jarang ada satu atau dua orang yang sebenarnya tidak setuju, tapi terpaksa ikut dengan kesepakatan yang diambil komite sekolah. Riak-riak hubungan antar orangtua siswa sudah menjadi rahasia umum tak selalu berjalan mulus dan kompak.

Selalu ada yang terpaksa ikut kesepakatan karena enggan berdebat dan enggan disisihkan dari kelompok. Ujung-ujungnya, selalu saja ada suara-suara tidak enak di belakang. Menghindari hal demikian tidaklah mudah, karena menyangkut isi kepala dan suara hati yang berbeda-beda.

Tak bijak pula ketika muncul saling iri dan membanding-bandingkan dengan acara wisuda sekolah swasta elite dan sekolah yang bertaraf internasional.

Jalan tengah penyelenggaraan wisuda

Wisuda sekolah sejatinya versi upgrade dari acara perpisahan sekolah yang dulu dikenal oleh anak-anak generasi X dan Y, termasuk saya dulu. Tak ada toga, tak ada kebaya, tak ada pula jas.

Tak ada pula tukang foto yang menjual jasa cetak foto wisuda dengan nominal sekian puluh ribu rupiah.

Sebenarnya dari sudut pandang pihak sekolah dan pihak yang mendukung, pada umumnya melihat sisi manfaat acara wisuda sebagai ajang silaturahmi sekaligus puncak dari pencapaian hasil belajar selama ini.

Idealnya memang, wisuda menjadi momen terakhir ketika anak-anak di kelas terakhir berkumpul, menjadi momen untuk dikenang. Juga ketika adik-adik kelasnya menjadi terpicu untuk menyajikan penampilan terbaik sebagai persembahan bagi kakak-kakaknya yang lulus.

Jadi sama saja, andai wisuda anak sekolah dilarang, acara serupa bertajuk perpisahan, pelepasan atau pentas seni bakal tetap ada. Hanya bedanya mungkin tak bakal ada baju wisuda, toga, kebaya, dan jas.

Hal yang menjadi inti persoalan adalah tingginya biaya yang tidak semua orangtua rela untuk memenuhinya. Tak bijak pula menyamaratakan dan menyimpulkan dengan anggapan "sanggup sekolah di sini harusnya sanggup dong iuran buat wisuda".

Tingkat ekonomi seseorang tak bisa dilihat semata dari status sekolah anaknya, khususnya jika menilik sekolah swasta. Bisa jadi saat kelas 1 SD orangtua siswa itu masih punya pekerjaan bagus, eh tak tahunya saat kelas 6 terkena PHK dan tak memiliki penghasilan pasti. Padahal ia harus memikirkan kelanjutan studi di jenjang selanjutnya.

Soal biaya inilah yang menjadi isu sensitif dalam pro dan kontra terhadap acara wisuda.

Ada baiknya di awal saat masuk sekolah, pihak sekolah dan komite terbuka dalam memaparkan acara apa saja serta pembiayaan per tahunnya.

Saat ini di sekolah anak saya, sebuah SD swasta biasa-biasa saja (bukan sekolah elite), hanya menggunakan biaya kegiatan dari biaya daftar ulang per tahunnya. Jadi tak ada yang namanya iuran tambahan dadakan di tengah jalan untuk acara tertentu.

Pola semacam itu lebih fair dan orangtua bisa merencanakan biaya yang dibutuhkan tiap tahunnya.

Bisa juga anak-anak sekolah sejak awal didorong untuk melakukan kegiatan kewirausahaan di lingkungan sekolah, yang hasil keuntungannya bisa ditabung bersama untuk acara puncak wisuda atau perpisahan sekolah.

Saat ini bukan menjadi hal asing ketika anak-anak sekolah menyelenggarakan market day, bazar, hingga memasarkan hasil keterampilannya. Kegiatan-kegiatan seperti itu bisa menjadi sumber pendanaan acara wisuda, selain juga sebagai praktek pembelajaran.

Berapapun hasil tabungan yang diperoleh dari kegiatan wirausaha tersebut, itulah yang digunakan untuk perhelatan acara. Kalau memang hanya cukup untuk acara sederhana dan minimalis, ya terima saja.

Jadi tidak perlu memaksakan penyelenggaraan acara dengan budget sangat tinggi yang nantinya bakal memberatkan beberapa orang. Makna dari perpisahan sekolah itulah yang harus dikedepankan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun