Gara-gara ijazah belum keluar itulah, si anak sulungnya kerepotan mencari pekerjaan. Selama berbulan-bulan ia pun hanya bergantian peran dengan ibunya untuk ngojek dengan motor pinjaman, termasuk antar jemput anak saya ke sekolah.
Syukurlah, usai lebaran lalu banyak rezeki mengalir sehingga ijazah itu bisa diambil setelah tunggakan uang sekolah dan berbagai iuran lainnya dibayarkan lunas.
Dari dua cerita nyata di atas, bisa dikatakan bahwa acara wisuda sekolah, dari TK hingga sekolah lanjutan atas, memang bisa menimbulkan ekses-ekses yang beragam. Dari soal waktu pelaksanaan, hingga masalah biaya yang kini tengah jadi sorotan.
Ada kemudian pihak yang menyuarakan agar wisuda anak sekolah sebaiknya ditiadakan oleh Kemdikbud. Tepatkah usulan ini?
Ada yang berpendapat bahwa setidaknya orangtua bisa bangga melihat anaknya mengenakan toga karena belum tentu sanggup menyekolahkan hingga wisuda dari bangku kuliah.
Menilik pendapat ini justru tidak tepat menurut saya. Buktinya banyak kisah sukses anak yang berhasil lulus sarjana meskipun dari keluarga yang tidak mampu. Banyak jalan untuk bisa sampai ke jenjang kuliah, antara lain karena beasiswa hingga menembus sekolah kedinasan yang gratis.
Soal perhelatan wisuda anak sekolah, sebenarnya sah-sah saja jika pelaksanaannya memang tidak memberatkan orangtua. Faktanya memang, meskipun difasilitasi oleh komite sekolah atau POMG (persatuan orangtua murid dan guru), komunikasi orangtua murid bisa saja tidak menyeluruh dan kerap timbul miskomunikasi serta suara minoritas yang tak terdengar.
Komite sekolah sebagai wadah komunikasi orangtua terkadang tak selamanya bisa menjadi perwakilan yang menyuarakan kesepakatan atas suatu hal, misalnya penyelenggaraan acara wisuda dengan nominal biaya tertentu.
Tak jarang ada satu atau dua orang yang sebenarnya tidak setuju, tapi terpaksa ikut dengan kesepakatan yang diambil komite sekolah. Riak-riak hubungan antar orangtua siswa sudah menjadi rahasia umum tak selalu berjalan mulus dan kompak.
Selalu ada yang terpaksa ikut kesepakatan karena enggan berdebat dan enggan disisihkan dari kelompok. Ujung-ujungnya, selalu saja ada suara-suara tidak enak di belakang. Menghindari hal demikian tidaklah mudah, karena menyangkut isi kepala dan suara hati yang berbeda-beda.
Tak bijak pula ketika muncul saling iri dan membanding-bandingkan dengan acara wisuda sekolah swasta elite dan sekolah yang bertaraf internasional.